Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Usia 30-an dan Dilema Pindah Karier

25 September 2025   07:01 Diperbarui: 25 September 2025   07:05 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: blog.pintarnya.com/Freepik)

Apa rasanya memulai dari awal di usia 30-an? Ada yang mengaku lega karena akhirnya bisa mengejar passion, tetapi ada juga yang justru dihantui rasa cemas. 

Bayangan kehilangan stabilitas, menurunnya penghasilan, hingga harus belajar hal-hal baru dari nol seringkali menjadi beban pikiran yang tidak ringan. Meski begitu, langkah pindah karier tetap banyak diambil orang di fase usia ini.

Usia 30-an memang dianggap sebagai masa yang penuh persimpangan. Setelah hampir satu dekade bekerja, banyak orang mulai bertanya: apakah jalur yang sedang ditempuh sudah benar? 

Apakah karier ini bisa memberi kebahagiaan jangka panjang, atau hanya sekadar rutinitas tanpa makna? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian mendorong sebagian orang mengambil keputusan besar: pindah jalur karier.

Di Kompasiana sendiri, tidak sedikit tulisan yang menceritakan kisah manis maupun pahit soal keputusan berani ini. Ada yang bangga karena berhasil menemukan profesi baru yang sesuai hati, ada pula yang jujur berbagi pengalaman pahit ketika realita tidak sesuai ekspektasi. 

Semua itu memperlihatkan bahwa pindah karier bukan sekadar tentang pekerjaan, melainkan juga tentang perjalanan hidup.

Mengapa Usia 30-an Jadi Titik Kritis?

Usia 30-an sering disebut sebagai fase "quarter-life upgrade". Bukan lagi sekadar masa pencarian jati diri, melainkan masa mempertanyakan ulang arah hidup. 

Di titik ini, seseorang biasanya sudah memiliki pengalaman kerja, tabungan, bahkan mungkin keluarga kecil. Semua itu membuat keputusan pindah karier terasa jauh lebih kompleks dibanding saat usia 20-an.

Banyak faktor yang menjadi pemicu. Sebagian orang merasa stagnan karena sudah terlalu lama berada di posisi yang sama. Promosi jabatan tidak kunjung datang, atau pekerjaan sehari-hari terasa begitu monoton. Perasaan "jalan di tempat" membuat mereka ingin mencari tantangan baru.

Ada pula yang terdorong oleh keinginan mengejar passion. Selama bertahun-tahun, mereka mungkin bekerja di bidang yang tidak sesuai hati, hanya demi stabilitas atau gaji. 

Namun di usia 30-an, muncul kesadaran bahwa waktu terasa semakin cepat berlalu, dan hidup terlalu singkat jika dijalani tanpa rasa cinta terhadap pekerjaan.

Faktor finansial juga tak kalah penting. Ada yang merasa penghasilan saat ini tidak mencukupi kebutuhan, terutama ketika sudah memiliki keluarga. Hal ini memicu dorongan untuk pindah ke bidang yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomi, meskipun penuh risiko.

Sementara itu, ada pula yang terdorong oleh perubahan tren dunia kerja. Menurut laporan McKinsey & Company (2022), lebih dari 40% pekerja global mempertimbangkan untuk pindah kerja dalam 3--6 bulan, sebagian besar karena tuntutan fleksibilitas dan peluang pengembangan diri (sumber: di sini). 

Fenomena ini juga dirasakan di Indonesia, di mana semakin banyak anak muda dan pekerja usia 30-an yang mulai mempertimbangkan jalur karier baru.

Semua faktor ini bertemu di satu titik: usia 30-an menjadi masa evaluasi besar-besaran. Pertanyaannya kemudian, apakah berani mengambil risiko, atau tetap bertahan demi rasa aman?

Dilema Utama yang Sering Dihadapi

Bagi sebagian orang, dilema pertama adalah antara passion dan realita finansial. Bekerja sesuai minat memang terdengar indah, tetapi tidak semua passion bisa langsung menghasilkan. 

Ada orang yang ingin pindah dari pekerjaan kantoran ke dunia kreatif, namun terhambat oleh kebutuhan bulanan yang tak bisa ditunda. Cicilan rumah, biaya sekolah anak, hingga tanggungan orang tua membuat keputusan ini terasa berat.

Dilema kedua adalah stabilitas versus tantangan baru. Pekerjaan lama mungkin terasa membosankan, tetapi sudah memberikan kenyamanan berupa gaji tetap, asuransi, dan jaringan kerja yang luas. 

Sebaliknya, pekerjaan baru menjanjikan tantangan menarik, tetapi penuh ketidakpastian. Memilih salah satunya sama-sama sulit, karena setiap pilihan mengandung risiko besar.

Tak kalah pelik adalah dilema identitas. Setelah bertahun-tahun dikenal sebagai ahli di bidang tertentu, pindah karier berarti membangun citra dari nol. 

Bayangkan seseorang yang selama 10 tahun bekerja sebagai bankir, lalu beralih ke dunia pendidikan atau wirausaha. Ia harus siap kehilangan "label profesional" yang sudah lama melekat.

Selain itu, ada pula dilema sosial. Lingkungan sekitar, keluarga, bahkan teman dekat kadang tidak mendukung. Mereka bisa saja mempertanyakan keputusan tersebut, menganggapnya sebagai langkah nekat atau tidak realistis. 

Tekanan sosial ini sering kali lebih berat daripada tantangan teknis di pekerjaan baru.

Dilema lain muncul dari sisi psikologis. Ada ketakutan akan kegagalan, rasa tidak percaya diri, atau bahkan sindrom "terlalu tua untuk memulai ulang". Padahal kenyataannya, usia 30-an masih sangat produktif, hanya saja persepsi masyarakat sering kali membuatnya terasa lebih menakutkan.

Menariknya, beberapa orang juga menghadapi dilema waktu. Belajar keahlian baru membutuhkan dedikasi, sementara kesibukan hidup di usia 30-an---antara pekerjaan, keluarga, dan tanggung jawab sosial---membuat waktu terasa semakin sempit.

Semua dilema ini menunjukkan bahwa pindah karier bukanlah keputusan sederhana. Ia melibatkan perhitungan rasional sekaligus perasaan yang sulit diabaikan.

Sisi Pahit dan Manis

Pahitnya pindah karier di usia 30-an sering kali dimulai dari soal finansial. Tidak sedikit orang yang rela turun gaji demi memulai profesi baru.

Hal ini bisa menimbulkan tekanan, terutama jika tanggung jawab ekonomi cukup besar. Ada juga yang terpaksa mengurangi gaya hidup karena penghasilan tidak lagi setinggi sebelumnya.

Selain itu, adaptasi menjadi tantangan besar. Dunia kerja baru biasanya memiliki budaya, sistem, bahkan bahasa yang berbeda. 

Proses belajar ini bisa membuat seseorang merasa kembali menjadi "anak magang" setelah bertahun-tahun merasa mapan. Tidak jarang, kondisi ini menimbulkan stres dan menurunkan rasa percaya diri.

Pahit lain datang dari kemungkinan kegagalan. Ada yang setelah pindah karier merasa tidak cocok, lalu kembali ke jalur lama dengan perasaan menyesal. Menurut data Harvard Business Review (2021), sekitar 32% profesional yang pindah karier mengaku kecewa karena ekspektasi tidak sesuai dengan kenyataan (sumber: di sini).

Namun, di balik kepahitan itu ada sisi manis yang tidak bisa diabaikan. Banyak orang merasakan kebebasan setelah meninggalkan pekerjaan lama yang membuat mereka jenuh. Perasaan lega karena bisa mengendalikan arah hidup sendiri menjadi nilai emosional yang sangat berharga.

Ada pula kebahagiaan yang lahir dari kesesuaian antara pekerjaan dan passion. Misalnya, seseorang yang beralih dari profesi korporat ke dunia seni atau pendidikan. 

Meski secara finansial tidak selalu lebih baik, tetapi rasa puas dan makna hidup yang didapatkan bisa jauh lebih besar.

Manisnya pindah karier juga terasa ketika seseorang berhasil membuktikan diri. Setelah melalui masa sulit, akhirnya mereka bisa stabil kembali, bahkan mungkin lebih sukses dari sebelumnya. Cerita-cerita ini sering menjadi inspirasi bagi orang lain yang sedang bimbang.

Selain itu, pengalaman pindah karier sering kali memperkaya diri. Orang belajar banyak hal baru, memperluas jaringan, dan menemukan perspektif yang tidak pernah didapatkan di pekerjaan lama. Hal ini membuat hidup terasa lebih penuh warna dan bermakna.

Dengan demikian, pahit dan manisnya pindah karier di usia 30-an saling melengkapi. Keduanya membentuk pengalaman yang menjadi bagian penting dari perjalanan hidup seseorang.

Refleksi: Apakah Layak?

Pertanyaan besar yang selalu muncul adalah: apakah pindah karier di usia 30-an benar-benar layak dilakukan? Jawabannya tentu berbeda untuk setiap orang. 

Bagi sebagian, langkah ini menjadi pintu menuju kehidupan yang lebih bahagia dan bermakna. Bagi yang lain, mungkin justru meninggalkan penyesalan.

Pindah karier pada dasarnya bukan sekadar soal pekerjaan. Ia lebih mirip dengan memilih jalan hidup. Setiap keputusan akan membentuk identitas, cara berpikir, bahkan nilai-nilai yang diyakini. Karena itu, konsekuensi dari keputusan ini tidak bisa dipandang ringan.

Yang perlu diingat, tidak ada pilihan yang sepenuhnya benar atau salah. Bertahan di pekerjaan lama bisa jadi keputusan bijak jika memang sesuai kebutuhan. 

Begitu pula pindah karier bisa menjadi langkah terbaik jika benar-benar sudah tidak menemukan makna. Kuncinya adalah kesiapan menghadapi konsekuensi dari setiap pilihan.

Refleksi ini juga mengingatkan kita bahwa kesuksesan tidak harus mengikuti jalur yang sama. Ada orang yang sukses karena konsisten di bidang yang sama selama puluhan tahun. Ada juga yang sukses justru karena berani berpindah arah. 

Dua-duanya sama valid, tergantung bagaimana seseorang menjalani dan memaknainya.

Menurut survei dari Robert Walters Indonesia (2024), disebutkan bahwa 82% profesional berencana untuk mencari pekerjaan baru pada tahun 2024, meski harus beradaptasi keras di awal, pindah karier merasa lebih puas dengan hidupnya (sumber: di sini). 

Data ini menunjukkan bahwa kepuasan tidak hanya diukur dengan gaji, melainkan juga dengan rasa bahagia dan pencapaian pribadi.

Dengan demikian, pertanyaan "layak atau tidak" sebaiknya diganti dengan "apakah saya siap menghadapi konsekuensi dari pilihan ini?". Perspektif ini akan membuat keputusan terasa lebih jujur dan realistis.

Akhirnya, pindah karier adalah tentang keberanian dan kesiapan. Keberanian untuk meninggalkan zona nyaman, dan kesiapan untuk menerima apapun hasilnya.

Ajakan Diskusi

Pada akhirnya, dilema pindah karier di usia 30-an bukan hanya tentang pekerjaan, melainkan tentang bagaimana kita memaknai hidup. Setiap orang punya cerita, punya pertimbangan, dan punya konsekuensi yang berbeda-beda.

Kalau Anda sedang berada di usia 30-an, apakah akan tetap bertahan demi stabilitas, atau berani mengambil risiko demi passion? Bagaimana cara Anda menimbang pilihan itu?

Mari berbagi cerita di kolom komentar. Siapa tahu pengalaman Anda bisa menjadi inspirasi, atau bahkan penguat bagi mereka yang sedang ada di persimpangan jalan yang sama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun