Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Siapa Pemilik Masa Depan Pangan?

24 September 2025   12:25 Diperbarui: 24 September 2025   12:25 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Massa petani mulai longmarch dari Simpang Bank Indonesia menuju kantor DPRD Jambi, Rabu (24/9/2025). (Suwandi/KOMPAS.com)

Setiap kali Hari Tani Nasional diperingati, wajah jalanan berubah menjadi panggung jeritan petani. Mereka datang dengan spanduk lusuh, suara serak, dan harapan yang kadang terasa nyaris padam. 

Teriakan mereka sederhana: hentikan perampasan tanah. Namun di balik kalimat singkat itu, tersimpan pertanyaan yang jauh lebih dalam, pertanyaan yang menyentuh hidup kita semua: siapa yang akan menguasai pangan di masa depan?

Indonesia sering disebut negeri agraris, tanah yang subur, dan masyarakat yang hidup dari sawah dan ladang. Tapi ironinya, justru di tanah yang diberkahi ini, para petani harus berulang kali turun ke jalan untuk sekadar mempertahankan hak atas tanah. Di negeri yang katanya lumbung pangan, petani justru hidup dalam ancaman kehilangan lahan.

Ketika tanah petani dirampas atau dialihfungsikan, bukan hanya sepetak sawah yang hilang. Kita sedang menyaksikan hilangnya sumber pangan, hilangnya kedaulatan, dan hilangnya masa depan yang seharusnya menjadi milik rakyat. 

Dari sinilah pertanyaan itu lahir, menohok siapa saja yang mau merenung: apakah masa depan pangan kita akan tetap di tangan rakyat, atau sudah tergadai pada segelintir pemilik modal?

Tanah, Petani, dan Pangan: Ikatan yang Tak Terpisahkan

Bagi petani, tanah adalah segalanya. Tanah bukan hanya tempat menanam padi atau jagung, melainkan identitas dan harga diri. Sebidang sawah bisa menjadi jaminan anak-anak tetap sekolah, dapur tetap berasap, dan komunitas desa tetap hidup. Tanpa tanah, seorang petani kehilangan akar, kehilangan pijakan, kehilangan makna sebagai petani.

Sayangnya, realitas hari ini jauh dari ideal. Sebagian besar petani kita justru hidup di atas lahan sempit. Menurut Sensus Pertanian 2023, lebih dari 21 juta usaha pertanian perorangan di Indonesia menggarap lahan di bawah 1 hektar. 

Angka ini mengerikan bila dibayangkan: bagaimana mungkin sepetak kecil itu bisa menopang keluarga, apalagi memberi kontribusi pada ketahanan pangan nasional?

Ketika lahan yang begitu sempit masih harus berhadapan dengan ancaman alih fungsi, tekanan pembangunan, hingga klaim perusahaan besar, posisi petani makin terhimpit. Mereka ibarat pemilik rumah kecil yang setiap hari diintai tetangga kaya yang ingin membeli atau merampas tanahnya. Jika kehilangan, mereka bukan hanya pindah rumah, melainkan kehilangan seluruh mata pencaharian.

Pangan yang kita nikmati di meja makan hari ini lahir dari keringat petani di lahan-lahan kecil itu. Nasi di piring, sayur di mangkuk, bahkan cabai yang pedas di lidah---semuanya bermula dari tanah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun