Kedua, penyalahgunaan sirine merusak kepercayaan publik. Dalam survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia tahun 2024, salah satu keluhan terbesar masyarakat terkait lalu lintas adalah "ketidakadilan penggunaan jalan oleh kendaraan berhak istimewa." Meski data ini tidak spesifik menyebut sirine, fenomenanya sejalan dengan keresahan publik tentang hak istimewa di jalan.
Ketiga, muncul efek domino terhadap perilaku berkendara. Karena banyak yang melihat pejabat atau kendaraan tertentu bisa dengan mudah menggunakan sirine, ada sebagian masyarakat yang ikut memasang sirine atau lampu strobo palsu. Fenomena ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga menambah kebingungan di jalan raya.
Keempat, masyarakat menjadi skeptis terhadap tanda darurat. Ambulans yang seharusnya segera diberi jalan sering kali tidak mendapat prioritas karena pengendara sudah lelah dengan bunyi sirine yang datang dari kendaraan non-darurat. Hal ini berpotensi menghambat upaya penyelamatan nyawa, yang ironisnya justru tujuan awal keberadaan sirine.
Kelima, budaya tertib lalu lintas ikut tergerus. Jalan raya yang seharusnya mencerminkan aturan dan kesetaraan berubah menjadi arena demonstrasi status sosial. Masyarakat kecil merasa mereka hanya "figuran" yang harus menyingkir setiap kali kuasa lewat dengan sirine berbunyi.
Keenam, sirine juga berkontribusi pada polusi suara di perkotaan. Menurut penelitian Universitas Indonesia tahun 2023, kebisingan lalu lintas adalah salah satu faktor stres tertinggi bagi warga kota besar. Sirine yang digunakan tanpa alasan darurat menambah beban psikologis masyarakat.
Ketujuh, pada akhirnya, penyalahgunaan sirine memperlemah rasa solidaritas sosial. Alih-alih merasa empati ketika mendengar sirine, masyarakat justru merasa jengkel atau curiga. Solidaritas yang semestinya tumbuh dari rasa ingin membantu sesama berubah menjadi rasa enggan karena trauma akan penyalahgunaan.
Refleksi dan Perbandingan
Jika kita menengok ke negara lain, penggunaan sirine jauh lebih ketat. Di Inggris misalnya, hanya kendaraan darurat tertentu yang boleh mengaktifkan sirine, dan penggunaannya pun harus sesuai dengan standar prosedur yang ketat. Bahkan polisi pun tidak selalu menyalakan sirine kecuali dalam situasi benar-benar darurat. Hal yang sama berlaku di Jerman dan Amerika Serikat, di mana penyalahgunaan sirine bisa berakibat pada sanksi yang berat, termasuk pencabutan izin mengemudi.
Perbandingan ini menunjukkan betapa pentingnya regulasi yang tegas dan konsisten. Di Indonesia, aturan sebenarnya sudah jelas, tetapi penegakan hukumnya yang lemah membuat penyalahgunaan masih marak. Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada regulasi, tetapi pada implementasi dan konsistensi aparat penegak hukum.
Selain itu, pendidikan publik juga menjadi kunci. Di banyak negara, masyarakat dilatih sejak dini untuk memahami makna sirine dan bagaimana meresponsnya. Sosialisasi dilakukan terus-menerus sehingga tidak ada kebingungan di jalan raya. Di Indonesia, sosialisasi semacam ini masih jarang dilakukan, sehingga masyarakat bingung membedakan sirine yang sah dan yang palsu.
Refleksi penting bagi Indonesia adalah bagaimana mengembalikan makna sirine sebagai tanda keselamatan, bukan simbol kekuasaan. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat pengawasan, memberikan sanksi yang tegas, dan memperbanyak edukasi publik.
Jika tidak ada perubahan, kita akan terus hidup dalam ironi: sirine yang seharusnya menyelamatkan justru menimbulkan keresahan. Dan lebih jauh lagi, sirine akan terus menjadi simbol jurang antara rakyat biasa dan mereka yang memiliki hak istimewa di jalan raya.