Polri sendiri menyadari keresahan ini. Pada September 2025, Korlantas bahkan sempat membekukan sementara penggunaan sirine dan rotator untuk kendaraan pejabat yang tidak sedang dalam situasi mendesak. Kebijakan ini lahir karena kritik masyarakat yang semakin keras terkait penyalahgunaan sirine (Liputan6, 22/9/2025). Fakta bahwa kebijakan darurat ini harus diterapkan menunjukkan betapa jauh makna sirine telah bergeser.
Di mata masyarakat, sirine mulai identik dengan privilege. Bunyi melengking itu bukan lagi tanda bahwa ada nyawa yang harus segera diselamatkan, melainkan tanda bahwa "orang penting" sedang lewat. Hal ini menciptakan kesenjangan simbolik: siapa pun yang memiliki hak menggunakan sirine seakan-akan memiliki hak lebih atas ruang publik, sementara pengguna jalan biasa harus rela menyingkir.
Perubahan makna ini membawa dampak psikologis. Masyarakat mulai merasa dipaksa untuk patuh, bukan karena kesadaran, melainkan karena tekanan kuasa. Tentu saja, hal ini merusak nilai keadilan dalam lalu lintas. Jalan raya yang seharusnya menjadi ruang bersama berubah menjadi panggung demonstrasi kekuasaan.
Yang lebih berbahaya, jika masyarakat sudah terbiasa mengasosiasikan sirine dengan privilege, maka pada saat benar-benar ada keadaan darurat, respon mereka bisa melemah. Ambulans yang melaju kencang bisa diabaikan karena masyarakat berpikir, "Ah, paling cuma iring-iringan pejabat lagi." Distorsi makna inilah yang membuat sirine kehilangan otoritas moralnya.
Sirine Sebagai Simbol Kekuasaan
Dalam kacamata sosiologi, sirine bisa dibaca sebagai simbol kekuasaan. Suaranya yang melengking keras adalah bentuk klaim atas ruang dan waktu publik. Ketika sirine berbunyi, semua orang dipaksa berhenti, menepi, dan memberi jalan. Dalam momen itu, sirine bukan hanya sekadar perangkat mekanis, melainkan juga representasi otoritas yang memaksa kepatuhan.
Jika kita melihatnya dari perspektif budaya, sirine bekerja layaknya tanda hierarki. Siapa yang memiliki akses terhadap sirine berarti memiliki posisi istimewa dalam struktur sosial. Tidak semua orang bisa menyalakannya, hanya mereka yang dianggap penting atau berwenang. Maka, bunyinya menjadi penanda status. Inilah yang membuat banyak orang menganggap sirine sebagai simbol privilege.
Namun, simbol ini bermasalah ketika digunakan di luar konteks darurat. Ketika pejabat menggunakan sirine hanya untuk mempercepat perjalanan, pesan yang sampai ke publik bukan lagi "ada nyawa yang harus diselamatkan," melainkan "saya lebih penting daripada kalian." Pesan simbolik ini berbahaya karena memperkuat jurang antara penguasa dan rakyat.
Jalan raya adalah ruang publik yang seharusnya egaliter. Semua orang memiliki hak yang sama untuk menggunakannya. Tetapi dengan adanya sirine sebagai simbol kuasa, kesetaraan itu tercabik. Ia menciptakan stratifikasi: ada yang bisa "menguasai" jalan dengan sekali bunyi, dan ada yang hanya bisa pasrah menepi.
Simbol kekuasaan ini juga menimbulkan resistensi. Tidak sedikit masyarakat yang mengaku kesal, bahkan memilih untuk tidak menepi ketika mendengar sirine. Hal ini sebenarnya berbahaya, karena bisa mengganggu kerja ambulans atau pemadam kebakaran. Tapi resistensi ini lahir sebagai bentuk protes simbolik terhadap penyalahgunaan.
Dari sini terlihat jelas, sirine bukan hanya urusan teknis lalu lintas, melainkan cermin relasi kuasa di masyarakat. Suara kerasnya tidak hanya membelah jalan, tetapi juga membelah rasa keadilan.
Dampak Sosial dan Budaya
Dampak sosial dari penyalahgunaan sirine sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, muncul budaya kepatuhan yang dipaksakan. Masyarakat tunduk karena tidak punya pilihan, bukan karena kesadaran. Ketika sirine berbunyi, mereka menepi bukan karena percaya ada keadaan darurat, melainkan karena takut dianggap melawan kuasa.