Pernahkah kita bertanya siapa yang merapikan buku-buku di perpustakaan sekolah, kampus, atau bahkan Perpustakaan Nasional? Siapa yang memastikan buku-buku itu siap dipinjam keesokan harinya, meski pengunjung sudah pulang? Profesi itu bernama pustakawan, sebuah profesi yang selama ini lebih sering dipandang sebelah mata ketimbang diapresiasi.
Pustakawan bukan sekadar penjaga buku. Mereka adalah penjaga ingatan kolektif, penyaring informasi, sekaligus ujung tombak peningkatan literasi bangsa.
Namun ironinya, di tengah tugas besar yang mereka emban, pustakawan justru hidup dalam keterbatasan. Banyak dari mereka yang gajinya jauh di bawah standar hidup layak, bahkan masih berada di bawah upah minimum regional.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang peduli pada pustakawan? Apakah masyarakat yang jarang berkunjung ke perpustakaan, atau pemerintah yang masih belum menjadikan pustakawan sebagai profesi strategis? Pertanyaan ini layak direnungkan ketika kita bicara masa depan literasi Indonesia.
Potret Kesejahteraan Pustakawan
Sebuah survei daring yang dilakukan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas pada 20--29 Agustus 2025 terhadap 616 responden pustakawan membuka kenyataan pahit.Â
Survei dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 3,9 persen ini menemukan bahwa 41,7 persen pustakawan di Indonesia bergaji di bawah Rp 2 juta per bulan, sementara 12,2 persen lainnya hanya memperoleh Rp 2 juta--Rp 3 juta.Â
Artinya, lebih dari separuh pustakawan atau 53,9 persen masih menerima gaji di bawah rata-rata nasional upah minimum provinsi (UMP) 2025.
Gambaran ini semakin suram bila menengok kondisi pustakawan sekolah. Di berbagai daerah, khususnya sekolah kecil, pustakawan hanya menerima honor Rp 500.000--Rp 1,5 juta per bulan yang bersumber dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Besaran itu pun sangat bergantung pada jumlah siswa.Â
Hal ini diakui langsung oleh Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia (ATPUSI), Rachmawati, yang menyebut mayoritas pustakawan sekolah berstatus honorer dengan gaji minim dan kerap tidak diakui sebagai pustakawan.
Dilansir dari Kompas, Cerita Mega, seorang pustakawan sekolah di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menguatkan data tersebut. Sejak dua tahun terakhir, ia menerima gaji Rp 1,6 juta per bulan, jauh di bawah upah minimum kabupaten yang sebesar Rp 2,9 juta.Â