Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Siapa Peduli Pustakawan?

16 September 2025   07:01 Diperbarui: 16 September 2025   18:49 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pustakawan Nanda Dwi Pratama sedang mengecek buku di perpustakaan Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Furqon, Palembang. (KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH)

Sebanyak 48 persen menyatakan bersedia menyuarakan dukungan lewat media sosial, sementara 29,7 persen tidak ingin terlibat sama sekali. Hanya sebagian kecil yang bersedia berdonasi untuk gaji pustakawan (9,5 persen) atau menandatangani petisi (8,6 persen).

Kenyataan ini menunjukkan rendahnya rasa empati konkret terhadap pustakawan. Mereka dianggap ada, tapi tidak diperjuangkan. Publik lebih memilih memberi dukungan jarak jauh ketimbang tindakan nyata. 

Dalam konteks demokrasi partisipatif, fenomena ini menandakan profesi pustakawan belum menjadi isu sosial yang penting di mata masyarakat.

Padahal, tanpa pustakawan, perpustakaan tidak lebih dari gudang buku. Buku tidak akan tertata, koleksi tidak akan diperbarui, dan layanan literasi tidak akan berjalan. Namun karena peran ini sering tidak terlihat, pustakawan kerap dipandang hanya sebagai pelengkap, bukan inti dari ekosistem literasi.

Minimnya kepedulian publik pada akhirnya membuat perjuangan pustakawan semakin sunyi. Mereka berjuang sendirian, antara semangat mengabdi dan kenyataan hidup yang pahit.

Harapan dan Perjuangan yang Sunyi

Di tengah keterbatasan itu, pustakawan masih menyimpan harapan. Survei Kompas menunjukkan bahwa 59 persen responden menaruh harapan pada dua hal besar: perbaikan kebijakan profesi termasuk peningkatan kesejahteraan dan jalur karier (28,2 persen), serta perbaikan sarana prasarana dan teknologi perpustakaan (30,8 persen).

Harapan ini menunjukkan bahwa pustakawan tidak semata-mata menuntut gaji, tetapi juga kesempatan untuk berkembang. Mereka ingin profesinya diakui sebagai karier dengan jenjang yang jelas, sebagaimana guru atau dosen. Dengan begitu, pustakawan memiliki motivasi untuk meningkatkan kompetensi, bukan sekadar bertahan hidup.

Rachmawati dari ATPUSI menegaskan pentingnya kebijakan pemerintah untuk mengangkat pustakawan menjadi PPPK. Ia menilai masih banyak sekolah kecil yang tidak mampu menggaji tenaga khusus perpustakaan. Jika kebijakan ini tidak segera diambil, profesi pustakawan sekolah akan terus terpinggirkan.

Ketua IPI, Teuku Syamsul Bahri, juga menyoroti perlunya pemerataan akses pelatihan dan pengembangan diri. Menurutnya, pustakawan di daerah harus diberi kesempatan yang sama untuk berkembang agar tidak selalu tertinggal dari rekan-rekannya di kota besar.

Kepala Perpusnas, Endang Aminudin Aziz, bahkan sudah mengajukan usulan peningkatan tunjangan fungsional untuk pustakawan ASN. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2013, pustakawan fungsional mendapat tunjangan dari Rp 520.000 untuk ahli pertama hingga Rp 1,35 juta untuk ahli utama. 

Namun angka itu sudah 12 tahun tidak berubah. Usulan kenaikan tunjangan kini menunggu keputusan Presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun