Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Siapa Peduli Pustakawan?

16 September 2025   07:01 Diperbarui: 16 September 2025   18:49 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pustakawan Nanda Dwi Pratama sedang mengecek buku di perpustakaan Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Furqon, Palembang. (KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH)

Pernahkah kita bertanya siapa yang merapikan buku-buku di perpustakaan sekolah, kampus, atau bahkan Perpustakaan Nasional? Siapa yang memastikan buku-buku itu siap dipinjam keesokan harinya, meski pengunjung sudah pulang? Profesi itu bernama pustakawan, sebuah profesi yang selama ini lebih sering dipandang sebelah mata ketimbang diapresiasi.

Pustakawan bukan sekadar penjaga buku. Mereka adalah penjaga ingatan kolektif, penyaring informasi, sekaligus ujung tombak peningkatan literasi bangsa.

Namun ironinya, di tengah tugas besar yang mereka emban, pustakawan justru hidup dalam keterbatasan. Banyak dari mereka yang gajinya jauh di bawah standar hidup layak, bahkan masih berada di bawah upah minimum regional.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang peduli pada pustakawan? Apakah masyarakat yang jarang berkunjung ke perpustakaan, atau pemerintah yang masih belum menjadikan pustakawan sebagai profesi strategis? Pertanyaan ini layak direnungkan ketika kita bicara masa depan literasi Indonesia.

Potret Kesejahteraan Pustakawan

Sebuah survei daring yang dilakukan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas pada 20--29 Agustus 2025 terhadap 616 responden pustakawan membuka kenyataan pahit. 

Survei dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 3,9 persen ini menemukan bahwa 41,7 persen pustakawan di Indonesia bergaji di bawah Rp 2 juta per bulan, sementara 12,2 persen lainnya hanya memperoleh Rp 2 juta--Rp 3 juta. 

Artinya, lebih dari separuh pustakawan atau 53,9 persen masih menerima gaji di bawah rata-rata nasional upah minimum provinsi (UMP) 2025.

Gambaran ini semakin suram bila menengok kondisi pustakawan sekolah. Di berbagai daerah, khususnya sekolah kecil, pustakawan hanya menerima honor Rp 500.000--Rp 1,5 juta per bulan yang bersumber dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Besaran itu pun sangat bergantung pada jumlah siswa. 

Hal ini diakui langsung oleh Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia (ATPUSI), Rachmawati, yang menyebut mayoritas pustakawan sekolah berstatus honorer dengan gaji minim dan kerap tidak diakui sebagai pustakawan.

Dilansir dari Kompas, Cerita Mega, seorang pustakawan sekolah di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menguatkan data tersebut. Sejak dua tahun terakhir, ia menerima gaji Rp 1,6 juta per bulan, jauh di bawah upah minimum kabupaten yang sebesar Rp 2,9 juta. 

Mega yang masih tinggal bersama orangtuanya mengaku hanya bisa menggunakan gaji untuk makan siang di sekolah dan sedikit membantu keluarga. Ia bahkan belum mampu membeli sepeda motor untuk keperluan sehari-hari, sehingga masih harus membonceng ayahnya ke sekolah.

Meski Mega sempat diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu, harapannya akan kenaikan gaji pupus. Ia justru mendapati status barunya tidak serta-merta mendongkrak kesejahteraan. "Mungkin karena hanya PPPK paruh waktu, jadi tidak naik gaji. Mungkin tahun depan daftar lagi jadi PPPK full time," ujarnya, seperti dilaporkan Kompas (13/9/2025).

Potret ini bukanlah kasus tunggal. Data survei juga menunjukkan bahwa mayoritas pustakawan merasa gajinya pas-pasan (47,6 persen) atau bahkan tidak cukup (38,7 persen) untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hanya 14,6 persen responden yang menyatakan gajinya cukup dan bisa menabung. 

Fakta ini menunjukkan kesejahteraan pustakawan masih jauh dari ideal, apalagi bila dibandingkan dengan profesi lain yang memiliki beban kerja serupa.

Pustakawan sekolah sejatinya memikul tanggung jawab besar. Mereka harus mengelola koleksi, melayani siswa, mengatur ruang, hingga menutup perpustakaan di jam terakhir. 

Mega, misalnya, mengaku sering pulang paling belakang karena harus menunggu buku-buku yang dipinjam siswa dikembalikan, lalu langsung merapikannya untuk dipakai keesokan hari. Namun kerja keras itu tidak sebanding dengan penghargaan yang ia terima.

Ironi terbesar adalah bahwa pustakawan justru bekerja di sektor yang paling dekat dengan masa depan bangsa: dunia pendidikan. Bila pustakawan sekolah hidup dalam kesenjangan, wajar bila semangat literasi pun terancam terhambat.

Ketimpangan yang Terabaikan

Tidak semua pustakawan bernasib sama. Hasil survei Kompas memperlihatkan adanya ketimpangan kesejahteraan antarjenis perpustakaan. Lebih dari separuh pustakawan sekolah (54 persen) masih bergaji di bawah Rp 2 juta, sementara di perpustakaan daerah angkanya hanya 11,1 persen. 

Di perguruan tinggi, hanya 9,7 persen pustakawan yang menerima gaji di bawah Rp 2 juta. Dan menariknya, di Perpustakaan Nasional RI, tidak ada satupun pustakawan yang bergaji di bawah Rp 2 juta.

Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan serius: mengapa pustakawan sekolah, yang justru berhadapan langsung dengan anak-anak dan remaja sebagai generasi penerus, berada di posisi paling lemah? Bukankah sekolah seharusnya menjadi ruang pertama bagi tumbuhnya minat baca dan budaya literasi?

Ketua Umum Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), Teuku Syamsul Bahri, menegaskan bahwa ketimpangan ini nyata. Menurutnya, banyak pustakawan muda di daerah justru tertarik pindah ke kota besar atau ke Perpusnas karena fasilitas dan kesejahteraan yang jauh lebih baik. 

"Teman-teman di daerah berminat bekerja di Perpusnas atau kota-kota besar karena sarananya bagus," katanya, seperti dikutip Kompas (27/8/2025).

Kesenjangan ini tidak hanya terjadi pada penghasilan. Akses pelatihan, fasilitas, dan peluang pengembangan diri juga sangat berbeda antara pustakawan sekolah dan pustakawan di institusi besar. 

Seorang pustakawan di Perpusnas bisa mengikuti pelatihan teknologi informasi atau seminar nasional dengan mudah, sementara pustakawan sekolah harus berjuang sendiri dengan keterbatasan dana.

Perbedaan ini pada akhirnya memperlebar jurang kompetensi. Pustakawan sekolah terjebak dalam rutinitas administratif tanpa ruang berkembang, sedangkan pustakawan di pusat justru semakin maju dengan dukungan fasilitas modern. Inilah yang membuat profesi pustakawan sekolah seolah-olah tidak pernah naik kelas.

Jika kondisi ini dibiarkan, dampaknya sangat serius. Pustakawan sekolah akan terus tertinggal, sementara anak-anak yang seharusnya mendapat layanan literasi terbaik justru tumbuh dalam keterbatasan akses. Padahal, masa depan literasi bangsa sesungguhnya ada di ruang-ruang kecil sekolah, bukan semata di gedung megah Perpusnas.

Minimnya Kepedulian Publik

Masalah pustakawan bukan hanya soal gaji dan fasilitas. Lebih dalam lagi, persoalan terbesar adalah minimnya kepedulian publik terhadap profesi ini. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 11--14 Agustus 2025 terhadap 506 responden di 38 provinsi menunjukkan bahwa 67,4 persen masyarakat tidak pernah datang ke perpustakaan dalam 12 bulan terakhir. 

Hanya 19,4 persen yang sesekali berkunjung satu-dua kali, sementara mereka yang rutin hadir tiga kali atau lebih tidak sampai 15 persen.

Jika perpustakaan saja jarang dikunjungi, wajar bila keberadaan pustakawan pun semakin kabur dari ingatan publik. Profesi ini perlahan tenggelam, seolah hanya ada ketika dibutuhkan. Padahal pustakawanlah yang menghidupkan ruang-ruang baca itu, menjaga koleksi tetap relevan, dan menghadirkan pengalaman membaca bagi pengunjung.

Kesadaran publik terhadap kesejahteraan pustakawan juga rendah. Survei Litbang Kompas yang sama menemukan bahwa 78,5 persen responden tidak mengetahui masih ada pustakawan non-PNS yang bergaji di bawah upah minimum regional. 

Hanya 21,5 persen yang mengaku tahu kondisi ini. Artinya, sebagian besar masyarakat bahkan tidak sadar ada profesi penting yang hidup dalam keterbatasan.

Ketika ditanya tentang kesiapan mendukung gerakan memperjuangkan nasib pustakawan non-PNS, mayoritas publik lebih memilih cara simbolis. 

Sebanyak 48 persen menyatakan bersedia menyuarakan dukungan lewat media sosial, sementara 29,7 persen tidak ingin terlibat sama sekali. Hanya sebagian kecil yang bersedia berdonasi untuk gaji pustakawan (9,5 persen) atau menandatangani petisi (8,6 persen).

Kenyataan ini menunjukkan rendahnya rasa empati konkret terhadap pustakawan. Mereka dianggap ada, tapi tidak diperjuangkan. Publik lebih memilih memberi dukungan jarak jauh ketimbang tindakan nyata. 

Dalam konteks demokrasi partisipatif, fenomena ini menandakan profesi pustakawan belum menjadi isu sosial yang penting di mata masyarakat.

Padahal, tanpa pustakawan, perpustakaan tidak lebih dari gudang buku. Buku tidak akan tertata, koleksi tidak akan diperbarui, dan layanan literasi tidak akan berjalan. Namun karena peran ini sering tidak terlihat, pustakawan kerap dipandang hanya sebagai pelengkap, bukan inti dari ekosistem literasi.

Minimnya kepedulian publik pada akhirnya membuat perjuangan pustakawan semakin sunyi. Mereka berjuang sendirian, antara semangat mengabdi dan kenyataan hidup yang pahit.

Harapan dan Perjuangan yang Sunyi

Di tengah keterbatasan itu, pustakawan masih menyimpan harapan. Survei Kompas menunjukkan bahwa 59 persen responden menaruh harapan pada dua hal besar: perbaikan kebijakan profesi termasuk peningkatan kesejahteraan dan jalur karier (28,2 persen), serta perbaikan sarana prasarana dan teknologi perpustakaan (30,8 persen).

Harapan ini menunjukkan bahwa pustakawan tidak semata-mata menuntut gaji, tetapi juga kesempatan untuk berkembang. Mereka ingin profesinya diakui sebagai karier dengan jenjang yang jelas, sebagaimana guru atau dosen. Dengan begitu, pustakawan memiliki motivasi untuk meningkatkan kompetensi, bukan sekadar bertahan hidup.

Rachmawati dari ATPUSI menegaskan pentingnya kebijakan pemerintah untuk mengangkat pustakawan menjadi PPPK. Ia menilai masih banyak sekolah kecil yang tidak mampu menggaji tenaga khusus perpustakaan. Jika kebijakan ini tidak segera diambil, profesi pustakawan sekolah akan terus terpinggirkan.

Ketua IPI, Teuku Syamsul Bahri, juga menyoroti perlunya pemerataan akses pelatihan dan pengembangan diri. Menurutnya, pustakawan di daerah harus diberi kesempatan yang sama untuk berkembang agar tidak selalu tertinggal dari rekan-rekannya di kota besar.

Kepala Perpusnas, Endang Aminudin Aziz, bahkan sudah mengajukan usulan peningkatan tunjangan fungsional untuk pustakawan ASN. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2013, pustakawan fungsional mendapat tunjangan dari Rp 520.000 untuk ahli pertama hingga Rp 1,35 juta untuk ahli utama. 

Namun angka itu sudah 12 tahun tidak berubah. Usulan kenaikan tunjangan kini menunggu keputusan Presiden.

Selain kesejahteraan materi, Endang juga menekankan pentingnya kesejahteraan nonmateri. Peningkatan kompetensi melalui pelatihan, pengabdian masyarakat, hingga advokasi literasi dinilai bisa membantu pustakawan naik pangkat dan menambah penghasilan. Dengan kata lain, dedikasi tetap menjadi jalan untuk bertahan.

Meski begitu, perjuangan pustakawan tetap sunyi. Mereka jarang tampil di ruang publik, berbeda dengan guru yang mendapat perhatian luas. Padahal, tanpa pustakawan, dunia pendidikan akan kehilangan salah satu pilar penting dalam menumbuhkan budaya literasi.

Refleksi: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pertanyaan "Siapa peduli pustakawan?" seharusnya menggugah kita semua. Apakah kita rela profesi yang sangat strategis ini terus hidup dalam keterbatasan? Apakah kita hanya akan membiarkan pustakawan sekolah bergaji ratusan ribu rupiah sementara mereka menanggung tanggung jawab besar mendidik generasi penerus?

Kepedulian tidak selalu berarti memberikan dana. Kepedulian bisa diwujudkan dengan mengunjungi perpustakaan, memanfaatkan layanan yang ada, atau menyuarakan pentingnya pustakawan di ruang publik. Semakin sering kita hadir di perpustakaan, semakin kuat pula legitimasi pustakawan di mata masyarakat dan pemerintah.

Masyarakat juga bisa mendorong sekolah, kampus, maupun pemerintah daerah untuk memperhatikan kondisi pustakawan. Petisi, kampanye literasi, atau sekadar menulis di media sosial tentang peran pustakawan bisa menjadi bentuk dukungan nyata.

Pada akhirnya, pustakawan bukan hanya urusan mereka sendiri. Ini adalah urusan kita semua, karena dari tangan merekalah generasi muda belajar mencintai buku dan menghargai ilmu pengetahuan.

Jika kita benar-benar peduli pada literasi bangsa, maka sudah saatnya kita juga peduli pada mereka yang menjaganya. Kalau bukan kita yang peduli pustakawan, siapa lagi?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun