Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Siapa Peduli Pustakawan?

16 September 2025   07:01 Diperbarui: 16 September 2025   18:49 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pustakawan Nanda Dwi Pratama sedang mengecek buku di perpustakaan Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Furqon, Palembang. (KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH)

Mega yang masih tinggal bersama orangtuanya mengaku hanya bisa menggunakan gaji untuk makan siang di sekolah dan sedikit membantu keluarga. Ia bahkan belum mampu membeli sepeda motor untuk keperluan sehari-hari, sehingga masih harus membonceng ayahnya ke sekolah.

Meski Mega sempat diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu, harapannya akan kenaikan gaji pupus. Ia justru mendapati status barunya tidak serta-merta mendongkrak kesejahteraan. "Mungkin karena hanya PPPK paruh waktu, jadi tidak naik gaji. Mungkin tahun depan daftar lagi jadi PPPK full time," ujarnya, seperti dilaporkan Kompas (13/9/2025).

Potret ini bukanlah kasus tunggal. Data survei juga menunjukkan bahwa mayoritas pustakawan merasa gajinya pas-pasan (47,6 persen) atau bahkan tidak cukup (38,7 persen) untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hanya 14,6 persen responden yang menyatakan gajinya cukup dan bisa menabung. 

Fakta ini menunjukkan kesejahteraan pustakawan masih jauh dari ideal, apalagi bila dibandingkan dengan profesi lain yang memiliki beban kerja serupa.

Pustakawan sekolah sejatinya memikul tanggung jawab besar. Mereka harus mengelola koleksi, melayani siswa, mengatur ruang, hingga menutup perpustakaan di jam terakhir. 

Mega, misalnya, mengaku sering pulang paling belakang karena harus menunggu buku-buku yang dipinjam siswa dikembalikan, lalu langsung merapikannya untuk dipakai keesokan hari. Namun kerja keras itu tidak sebanding dengan penghargaan yang ia terima.

Ironi terbesar adalah bahwa pustakawan justru bekerja di sektor yang paling dekat dengan masa depan bangsa: dunia pendidikan. Bila pustakawan sekolah hidup dalam kesenjangan, wajar bila semangat literasi pun terancam terhambat.

Ketimpangan yang Terabaikan

Tidak semua pustakawan bernasib sama. Hasil survei Kompas memperlihatkan adanya ketimpangan kesejahteraan antarjenis perpustakaan. Lebih dari separuh pustakawan sekolah (54 persen) masih bergaji di bawah Rp 2 juta, sementara di perpustakaan daerah angkanya hanya 11,1 persen. 

Di perguruan tinggi, hanya 9,7 persen pustakawan yang menerima gaji di bawah Rp 2 juta. Dan menariknya, di Perpustakaan Nasional RI, tidak ada satupun pustakawan yang bergaji di bawah Rp 2 juta.

Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan serius: mengapa pustakawan sekolah, yang justru berhadapan langsung dengan anak-anak dan remaja sebagai generasi penerus, berada di posisi paling lemah? Bukankah sekolah seharusnya menjadi ruang pertama bagi tumbuhnya minat baca dan budaya literasi?

Ketua Umum Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), Teuku Syamsul Bahri, menegaskan bahwa ketimpangan ini nyata. Menurutnya, banyak pustakawan muda di daerah justru tertarik pindah ke kota besar atau ke Perpusnas karena fasilitas dan kesejahteraan yang jauh lebih baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun