Sabtu, 23 Agustus 2025, halaman TK Ar Raihan Kota Subulussalam, Aceh, penuh warna. Bendera merah putih berkibar di sudut-sudut halaman, balon merah dan putih terikat di gerbang, dan musik ceria mengiringi setiap langkah kecil anak-anak. Hari itu, sekolah mengadakan perayaan HUT RI ke-80 dengan penuh semangat. Semua murid, guru, dan orang tua hadir dalam suasana meriah, seolah ingin memastikan kemerdekaan bangsa tidak hanya dirayakan dengan seremoni, tetapi juga ditanamkan dalam hati sejak usia dini.
Anak-anak tampak bersemangat mengikuti perlombaan. Ada lomba makan kerupuk, lomba memasukkan pensil ke dalam botol, lomba balap kelereng, hingga lomba estafet. Suara sorak sorai terdengar di setiap sudut, terutama dari para orang tua yang mendampingi buah hatinya. Mereka berteriak memberi semangat, ada yang tertawa melihat tingkah lucu anak-anak, ada pula yang mengabadikan momen dengan ponsel.
Guru-guru pun turut larut dalam keceriaan. Mereka menjadi juri sekaligus pengarah jalannya acara. Sementara itu, para wali murid ikut serta dalam lomba khusus orang tua, menambah keakraban antara keluarga dan pihak sekolah. Perayaan ini memang dirancang untuk menghadirkan kebersamaan, mengikat tali silaturahmi, sekaligus mengajarkan anak-anak arti merdeka melalui permainan sederhana.
Di balik sorak sorai, ada perasaan yang sama-sama dirasakan semua orang: kebanggaan. Bangga karena bisa memperingati hari besar bangsa bersama keluarga, bangga melihat anak-anak berani tampil, dan bangga karena mereka belajar arti perjuangan melalui lomba kecil yang membutuhkan semangat juang.
Namun, di tengah euforia yang menyenangkan itu, ada satu cerita lain yang tidak semua orang menyadarinya. Cerita ini tidak terlihat mencolok, tetapi diam-diam menyentuh hati siapa pun yang memperhatikannya dengan lebih dalam.
Kisah yang Tersembunyi di Tengah KemeriahanÂ
Namanya Noval, seorang murid TK Ar Raihan yang ikut serta dalam perayaan. Seperti anak-anak lain, ia berbaris mengikuti arahan guru, mencoba setiap lomba dengan penuh semangat. Dari kejauhan, ia terlihat sama seperti teman-temannya: ceria, aktif, dan siap berkompetisi. Tetapi bila diperhatikan lebih dekat, ada sesuatu yang berbeda.
Ketika lomba makan kerupuk dimulai, semua anak berdiri di bawah kerupuk yang tergantung. Anak-anak lain menoleh ke arah orang tuanya yang sibuk memberi semangat. Ada yang melambaikan tangan, ada yang bersorak memanggil nama anaknya. Noval menoleh juga, seakan mencari sosok yang bisa memberinya dukungan. Namun, pandangannya berhenti kosong. Tidak ada siapa pun di sisinya.
Ia berusaha tetap tertawa, meski matanya sesekali menunduk. Ketika berhasil menggigit kerupuk, teman-temannya bersorak karena didorong teriakan orang tua. Noval hanya menepuk tangannya sendiri, mencoba menciptakan sorak untuk dirinya. Sejenak, ia tampak bahagia, tetapi senyumnya cepat memudar.
Pada lomba berikutnya, ketika anak-anak bermain memecahkan balon secara berpasangan, pemandangan serupa kembali terjadi. Anak-anak lain berlari kecil ke arah orang tuanya setelah lomba selesai, memamerkan medali kertas atau hadiah kecil. Noval berdiri sejenak di tengah lapangan, lalu duduk di kursi sendirian. Ia tidak punya tempat untuk berlari pulang.
Guru memang berusaha mendekati dan menyemangatinya. Mereka mencoba memberi pelukan, mengusap kepala Noval, bahkan menyelipkan hadiah kecil. Tetapi ekspresi itu tetap berbeda dengan tatapan anak-anak lain yang mendapatkan senyum dan pelukan hangat dari orang tua masing-masing.
Beberapa teman sekelasnya sempat bertanya polos, "Orang tuamu di mana, Val?" Pertanyaan itu tidak dijawab, hanya disambut dengan senyum tipis yang berusaha menutupi perasaan. Namun, dari sorot matanya, ada kesedihan yang sulit disembunyikan.
Di balik kebisingan lomba, sebenarnya ada kesunyian yang melingkupi seorang anak. Kesunyian itu bukan karena ia tidak berpartisipasi, melainkan karena ia berjuang sendirian. Ia hadir secara fisik di tengah perayaan, tapi hatinya terasa kosong tanpa dukungan yang seharusnya ada.
Inilah potret yang sering luput dari perhatian kita: di balik sorak sorai kebahagiaan kolektif, ada anak yang belajar menghadapi rasa sepi sejak usia dini.
Makna Kehadiran Orang Tua bagi AnakÂ
Bagi anak seusia Noval, kehadiran orang tua dalam sebuah acara bukan sekadar formalitas. Anak-anak TK masih berada dalam fase perkembangan di mana rasa aman, diterima, dan disayangi sangat penting. Kehadiran orang tua menjadi simbol kasih sayang yang memberi mereka rasa percaya diri.
Ketika seorang anak tampil di depan umum, ia bukan hanya ingin menang lomba, melainkan ingin dilihat, didukung, dan diapresiasi. Sorakan orang tua adalah bahan bakar semangat mereka. Bahkan sekadar senyum atau tepukan tangan bisa menjadi dorongan luar biasa.
Dalam psikologi perkembangan, kehadiran orang tua pada momen penting anak disebut sebagai bentuk dukungan emosional. Dukungan ini membangun kelekatan (attachment) yang akan berpengaruh pada rasa percaya diri anak di masa depan. Anak yang merasa dihargai cenderung tumbuh lebih optimis dan berani mengambil tantangan.
Sebaliknya, ketiadaan orang tua dalam momen penting bisa meninggalkan jejak emosional. Anak mungkin tidak langsung menunjukkannya dengan menangis atau marah, tetapi rasa sepi itu tetap terekam. Mereka bisa merasa berbeda, kurang berharga, atau bahkan tidak dianggap.
Noval mungkin belum bisa mengucapkan perasaannya dengan kata-kata. Tetapi bahasa tubuhnya sudah cukup bercerita: sorot mata yang kosong, senyum yang cepat hilang, dan langkah kecil yang ragu. Semua itu adalah tanda bahwa ia menyadari perbedaan perlakuan antara dirinya dan teman-temannya.
Inilah sebabnya kehadiran orang tua sering dianggap sebagai "hadiah" terbaik dalam kehidupan anak. Tidak selalu berupa barang mahal atau piala, tetapi cukup dengan hadir, menemani, dan memberi dukungan. Kehadiran itu menjadi energi yang tak tergantikan.
Lebih jauh lagi, momen seperti perayaan HUT RI di sekolah adalah kesempatan membangun memori kebersamaan. Anak-anak akan mengingatnya sebagai hari ketika mereka tertawa bersama orang tua, berlari, kalah atau menang, tetapi tetap merasa dicintai. Memori ini yang kelak menguatkan ikatan keluarga.
Tanpa orang tua, momen itu kehilangan separuh maknanya. Anak memang bisa tetap ikut lomba, tetap tertawa, tetapi ada kekosongan di hati yang sulit diisi oleh siapa pun. Guru dan teman bisa menjadi penghibur, tetapi tidak bisa menggantikan posisi orang tua.
Noval memberi kita pelajaran penting: bahwa anak-anak tidak hanya butuh fasilitas dan acara meriah, tetapi juga butuh sosok yang hadir untuk berbagi bahagia. Kehadiran itu yang menjadi pondasi rasa merdeka dalam jiwa seorang anak.
Maka, kemerdekaan bagi anak-anak seharusnya juga berarti merdeka dari rasa sepi, merdeka dari rasa kurang dihargai, dan merdeka untuk merasa dicintai tanpa syarat.
Refleksi Sosial dan Nilai PendidikanÂ
Perayaan HUT RI biasanya dipahami sebagai momen kebangsaan. Kita merayakan perjuangan para pahlawan, mengenang jasa mereka, dan mengisi kemerdekaan dengan kegiatan positif. Namun, peristiwa kecil seperti yang dialami Noval mengingatkan kita bahwa makna kemerdekaan bisa ditarik lebih personal, lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan bangsa lain. Bagi anak-anak, kemerdekaan berarti bebas dari rasa kesepian, bebas dari ketidakadilan kecil yang kadang tidak kita sadari. Mereka ingin merdeka dalam kebahagiaan, dalam kebersamaan, dan dalam kasih sayang keluarga.
Dari cerita Noval, kita belajar bahwa kebersamaan orang tua dan anak bukan sekadar rutinitas. Kehadiran itu mengandung makna sosial: anak merasa menjadi bagian dari kelompok, merasa tidak sendirian, dan merasa layak dirayakan. Tanpa itu, anak bisa merasa terpinggirkan.
Refleksi ini penting, terutama bagi orang tua modern yang sering sibuk dengan pekerjaan. Tidak jarang, alasan ketidakhadiran adalah kesibukan mencari nafkah. Namun, sering kali anak tidak membutuhkan uang atau hadiah, mereka hanya ingin ditemani. Kehadiran lebih berarti daripada hadiah mahal.
Sekolah pun bisa mengambil peran lebih besar. Perayaan seperti ini bisa dijadikan momentum untuk membangun empati, bukan hanya sekadar perlombaan. Guru dapat mengajak anak-anak memahami pentingnya saling menyemangati, terutama bagi teman yang tidak didampingi orang tuanya.
Kita juga bisa melihat fenomena ini sebagai cerminan masyarakat. Apakah kita sudah benar-benar memberi ruang bagi anak-anak untuk tumbuh dengan dukungan penuh? Atau justru kita masih terjebak pada formalitas, sibuk merayakan tanpa menyadari ada yang tertinggal?
Nilai pendidikan dari kisah ini sangat dalam. Anak-anak belajar arti perjuangan melalui lomba, tetapi kita orang dewasa belajar arti empati melalui tatapan sendu Noval. Kemerdekaan sejati adalah saat semua anak merasa bahagia, bukan hanya sebagian.
Dalam konteks lebih luas, perayaan ini seharusnya mengajarkan bahwa kebahagiaan bersama lebih penting daripada kemenangan individu. Anak-anak harus belajar bahwa kebersamaan adalah inti dari kemerdekaan, bukan sekadar piala atau hadiah kecil.
Kisah Noval adalah alarm halus bagi kita semua: jangan sampai kita abai terhadap perasaan anak-anak. Terkadang, mereka tidak mampu menyuarakan kesedihan, tetapi bahasa tubuh mereka sudah cukup menjadi pesan yang keras.
Maka, perayaan kemerdekaan di TK bukan hanya acara tahunan, tetapi juga cermin yang memperlihatkan bagaimana kita mendidik generasi penerus: apakah kita hanya mengajarkan semangat juang, atau juga mengajarkan arti peduli dan hadir untuk orang lain.
PenutupÂ
Cerita Noval di perayaan HUT RI ke-80 TK Ar Raihan memberi kita perspektif berbeda tentang arti sebuah kebahagiaan. Ia hadir, ikut lomba, berusaha tertawa, tetapi tetap menyimpan sepi. Sebuah kisah kecil, namun sarat makna bagi siapa pun yang mau melihat lebih dekat.
Kita bisa belajar bahwa hadir untuk anak bukan sekadar soal fisik, tetapi juga soal hati. Kehadiran orang tua di momen penting anak adalah wujud nyata cinta yang sederhana, tetapi sangat berarti. Tanpa itu, anak-anak bisa merasakan kemerdekaan yang timpang: merdeka bermain, tetapi tidak merdeka dari kesepian.
Harapannya, cerita ini bisa menyadarkan para orang tua, guru, dan masyarakat bahwa anak-anak membutuhkan kita lebih dari yang mereka ucapkan. Mereka membutuhkan dukungan, sorakan, pelukan, dan tatapan bangga yang tidak tergantikan oleh apa pun.
Merdeka bagi anak-anak bukan hanya soal mengenang perjuangan bangsa, tetapi juga soal memastikan mereka tumbuh dalam kebahagiaan bersama orang-orang yang mereka cintai. Dan itulah kemerdekaan sejati yang patut kita rayakan setiap hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI