Bertemu calon mertua sering kali terasa seperti menghadapi ujian nasional. Bedanya, kalau ujian nasional kita dapat kisi-kisi, ada try out, bahkan bisa mencontek kawan sebangku. Sementara ujian calon mertua?
Tidak ada kisi-kisi, tidak ada try out, dan kalau salah jawab bisa langsung drop out dari hubungan. Rasanya mendebarkan, apalagi kalau orangtua pasangan ternyata punya standar tinggi dalam menerima calon menantu.
Beberapa hari terakhir, potongan podcast Raditya Dika bersama Soimah ramai di jagat maya. Salah satu yang membuat heboh adalah ketika Soimah menceritakan bagaimana ia "mengospek" pacar anaknya.
Bukannya basa-basi ramah seperti umumnya pertemuan, Soimah justru membuat pacar anaknya menangis dan akhirnya putus. Netizen pun terbelah: ada yang menilai sikapnya terlalu keras, ada pula yang memahami itu sebagai bentuk proteksi orangtua.
Fenomena ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan pengalaman banyak orang. Setiap kita mungkin pernah merasakan deg-degan bertemu calon mertua.
Ada yang ditanya serius soal pekerjaan, ada yang langsung diintrogasi tentang niat menikah, bahkan ada yang diuji lewat makanan: sang calon mertua menyajikan hidangan super pedas untuk melihat apakah kita tahan banting. Memang, pertemuan dengan calon mertua sering kali berubah jadi semacam "ujian masuk keluarga".
Pertanyaannya, apakah ujian semacam ini benar-benar perlu? Ataukah justru lebih banyak menimbulkan trauma daripada manfaat?
Untuk menjawabnya, mari kita lihat lebih jauh fenomena "ospek calon menantu" ini dari sisi kehidupan sehari-hari, budaya, hingga relevansinya di zaman sekarang.
Fenomena "Ospek Calon Mertua" di Kehidupan Nyata
Di kehidupan nyata, cerita soal ospek calon menantu ini bukan barang baru. Banyak orang bercerita bahwa pertemuan pertama dengan calon mertua lebih menegangkan daripada wawancara kerja.
Kalau saat melamar pekerjaan kita ditanya soal pengalaman dan skill, di depan calon mertua kita bisa ditanya mulai dari gaji, agama, sampai niat serius menikah atau hanya main-main.