Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pornografi sebagai Hidden Curriculum Internet, Tantangan Baru Literasi Digital Orang Tua

20 Agustus 2025   11:03 Diperbarui: 20 Agustus 2025   11:03 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak sangat berisiko terpapar pornografi. (Sumber: liputan6.com/Freepik)

Di era digital, kehidupan anak-anak kita tidak bisa dipisahkan dari internet. Dari sekolah hingga hiburan, hampir semua aktivitas kini menuntut mereka untuk terkoneksi. Internet sudah menjadi bagian dari keseharian, sama seperti listrik atau air. Namun di balik manfaat besar itu, ada sisi gelap yang membuat orang tua sering merasa waswas.

Kecemasan terbesar datang dari paparan konten pornografi. Masalahnya, konten ini tidak lagi hanya bisa diakses melalui situs khusus, melainkan bisa muncul secara tiba-tiba dalam bentuk iklan, pop-up, hingga promosi tersembunyi di media sosial. Bahkan ketika anak sekadar mencari video musik atau bermain gim online, mereka bisa tanpa sengaja bersentuhan dengan materi pornografi.

Banyak orang tua merasa serba salah menghadapi kondisi ini. Melarang anak menggunakan internet jelas mustahil, sementara membiarkan mereka berselancar tanpa pengawasan juga berbahaya. Inilah paradoks besar yang dihadapi para orang tua masa kini: internet menjadi ruang belajar sekaligus ruang berisiko.

Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah: apakah cukup hanya dengan memblokir situs atau memasang aplikasi filter? Jawabannya tidak sesederhana itu. Karena pornografi di internet bukan hanya soal gambar atau video, melainkan juga menyimpan pelajaran tersembunyi yang bekerja di balik layar. Pelajaran itulah yang dikenal dengan istilah hidden curriculum.

Konsep Hidden Curriculum

Dalam dunia pendidikan, hidden curriculum merujuk pada pelajaran yang tidak tertulis dalam kurikulum resmi, tetapi tetap dipelajari siswa melalui pengalaman sehari-hari. Jackson (1968), seorang tokoh pendidikan, menyebut bahwa anak-anak sebenarnya belajar banyak hal yang tidak pernah tercantum dalam buku teks. Misalnya, mereka belajar tentang disiplin dari aturan masuk sekolah, belajar tentang hierarki dari relasi guru dan murid, atau belajar tentang nilai gender dari pembagian peran di kelas.

Kurikulum tersembunyi ini bekerja tanpa disadari. Ia tidak tertulis, tidak diumumkan, tetapi tetap dipelajari. Justru karena sifatnya yang implisit, dampaknya bisa sangat kuat. Anak-anak menginternalisasi nilai dan norma dari apa yang mereka alami, bukan hanya dari apa yang mereka baca di buku.

Kita bisa melihat contohnya dengan mudah. Di sekolah, anak tidak pernah diajari secara eksplisit untuk bersaing dengan teman, tetapi sistem peringkat membuat mereka terbiasa dengan persaingan. Mereka juga tidak pernah diberi pelajaran tentang kesabaran, tetapi antrean panjang di kantin mengajarkan itu setiap hari. Semua ini adalah bagian dari hidden curriculum yang membentuk kepribadian mereka.

Di sinilah relevansi konsep tersebut dengan dunia digital. Internet, sama seperti sekolah, juga menjadi ruang belajar bagi anak. Namun, yang dipelajari tidak selalu sesuai dengan nilai yang kita harapkan. Ada pesan-pesan yang datang diam-diam, membentuk cara pandang, dan menanamkan kebiasaan. Pornografi, misalnya, tidak hadir hanya sebagai tontonan, tetapi juga sebagai pengajar yang tersembunyi.

Sama seperti hidden curriculum di sekolah, pornografi mengajarkan sesuatu tanpa anak sadari. Ia mengirimkan pesan-pesan tentang tubuh, seksualitas, dan relasi manusia. Karena sifatnya berulang dan sering muncul dalam berbagai bentuk, pesan itu akhirnya dianggap normal.

Konsep hidden curriculum membantu kita memahami bahwa bahaya pornografi bukan hanya soal kontennya, tetapi juga tentang nilai yang ia tanamkan. Anak-anak belajar dari pornografi meski tidak ada yang pernah secara resmi mengajarkan mereka. Inilah yang membuat persoalan ini jauh lebih serius.

Dengan memahami konsep ini, kita bisa lebih jernih melihat tantangan yang dihadapi. Alih-alih hanya panik atau reaktif, orang tua perlu sadar bahwa internet mengajarkan anak-anaknya hal-hal tertentu, entah disadari atau tidak. Jika kita tidak hadir untuk mengarahkan, maka yang dominan adalah kurikulum tersembunyi yang berjalan di balik layar.

Pornografi sebagai Hidden Curriculum Internet

Pornografi di internet hadir dalam berbagai bentuk. Ia bisa berupa iklan yang tiba-tiba muncul, bisa berupa gambar yang terselip di media sosial, atau bahkan diselipkan dalam aplikasi populer. Kehadirannya sering tidak disadari, tetapi justru di situlah letak bahayanya.

Ketika anak terpapar berulang kali, pornografi mulai mengajarkan sesuatu. Anak belajar bahwa tubuh manusia bisa dilihat semata-mata sebagai objek visual. Anak juga belajar bahwa hubungan antarindividu adalah tentang kepuasan instan, bukan tentang kasih sayang, keintiman, atau tanggung jawab.

Owens dkk. (2012) dalam tinjauan risetnya menunjukkan bahwa remaja yang sering terpapar pornografi cenderung mengembangkan sikap permisif terhadap seksualitas. Mereka lebih mudah menerima perilaku seksual bebas, bahkan ketika itu berisiko. Dengan kata lain, pornografi sedang menjadi guru diam-diam yang membentuk nilai anak-anak kita.

Lebih jauh, pornografi juga menanamkan logika ketimpangan gender. Banyak konten pornografi menggambarkan pihak laki-laki sebagai dominan, sementara perempuan direduksi menjadi objek pasif. Anak yang terbiasa dengan gambaran semacam ini bisa tumbuh dengan pemahaman yang salah tentang kesetaraan gender.

Dampaknya tidak berhenti di sana. Pornografi juga menormalkan kekerasan. Studi-studi media menunjukkan bahwa sebagian besar konten pornografi memuat unsur paksaan, meskipun sering dibungkus sebagai sesuatu yang "normal". Anak yang terbiasa melihat ini akan kesulitan membedakan mana hubungan sehat dan mana yang penuh kekerasan.

Semua pesan itu bekerja secara halus. Anak mungkin tidak sadar sedang belajar, tetapi nilai itu perlahan masuk ke dalam pikirannya. Sama seperti kurikulum tersembunyi di sekolah, pornografi bekerja lewat pengulangan, kebiasaan, dan normalisasi.

Dengan demikian, pornografi tidak hanya sekadar konten terlarang. Ia adalah kurikulum tersembunyi internet yang berbahaya karena mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai moral, sosial, dan bahkan kesehatan psikologis anak.

Dampak bagi Anak dan Orang Tua

Dampak utama yang dirasakan anak adalah distorsi cara pandang tentang tubuh dan seksualitas. Mereka belajar bahwa tubuh hanyalah alat hiburan, bukan sesuatu yang memiliki nilai martabat. Hal ini bisa menimbulkan rasa cemas terhadap diri sendiri, merasa tidak percaya diri, atau justru mengembangkan obsesi yang tidak sehat.

Selain itu, anak juga bisa tumbuh dengan ekspektasi keliru terhadap hubungan. Mereka menganggap relasi antarindividu hanya soal fisik, tanpa memahami pentingnya emosi, kasih sayang, dan tanggung jawab. Ketika masuk dalam hubungan nyata, mereka bisa mengalami kekecewaan atau kesulitan besar.

Bagi sebagian anak, paparan pornografi juga bisa berujung pada kecanduan. Mereka terus mencari sensasi baru dan merasa sulit berhenti. Kondisi ini berbahaya karena bisa mengganggu konsentrasi belajar, kesehatan mental, hingga interaksi sosial.

Orang tua pun tidak kalah terkena dampaknya. Banyak orang tua merasa kewalahan, frustrasi, bahkan putus asa menghadapi realitas ini. Mereka sering kali hanya punya dua pilihan ekstrem: melarang total atau membiarkan sepenuhnya. Padahal, keduanya tidak menyelesaikan masalah.

Ketika orang tua terlalu melarang, anak bisa mencari jalan lain secara sembunyi-sembunyi. Ketika orang tua terlalu membiarkan, anak bisa terpapar tanpa kendali. Situasi serba salah ini membuat banyak orang tua merasa tidak berdaya.

Kegagapan digital orang tua juga menjadi masalah tersendiri. Livingstone & Helsper (2007) menunjukkan bahwa bimbingan keluarga adalah faktor penting dalam literasi digital anak. Namun, banyak orang tua justru tertinggal dan hanya bisa pasif.

Akibatnya, anak lebih cepat belajar dari internet daripada dari orang tua. Anak lebih percaya pada apa yang ia lihat di layar ketimbang apa yang dikatakan ayah atau ibunya. Perbedaan kecepatan adaptasi ini membuat jarak antar generasi semakin lebar.

Bagi keluarga, kondisi ini bisa menimbulkan ketegangan. Anak merasa tidak dipahami, orang tua merasa ditinggalkan. Padahal, keduanya sama-sama membutuhkan jembatan komunikasi yang sehat. Tanpa itu, hidden curriculum internet akan semakin kuat mencengkeram.

Literasi Digital sebagai Solusi

Jalan keluar dari persoalan ini bukan sekadar teknologi, melainkan literasi digital. Literasi digital berarti kemampuan kritis untuk memahami, menafsirkan, dan memberi makna pada konten yang ditemui di internet. Dengan literasi digital, anak tidak hanya bisa mengakses informasi, tetapi juga mampu menilai mana yang sehat dan mana yang menyesatkan.

Livingstone (2014) menekankan bahwa literasi digital harus dipandang sebagai keterampilan kewargaan. Anak perlu diajari bahwa internet bukan hanya tempat hiburan, melainkan ruang sosial yang penuh dengan nilai, norma, dan bahkan jebakan. Dengan kemampuan ini, anak bisa menjadi pengguna yang lebih kritis dan bijak.

Namun, membangun literasi digital anak tidak bisa lepas dari peran orang tua. Orang tua perlu menjadi pendamping, bukan sekadar pengawas. Mereka harus hadir sebagai teman diskusi, bukan polisi yang selalu siap menghukum.

Dialog adalah kunci. Anak butuh ruang untuk bertanya, mengungkapkan rasa penasaran, dan mencari jawaban. Jika orang tua menutup ruang dialog, anak akan mencari jawaban di tempat lain, yang sering kali justru lebih berbahaya.

Dialog ini memang sulit, apalagi ketika menyangkut hal-hal tabu seperti pornografi. Tetapi justru keberanian membuka percakapan inilah yang bisa membongkar hidden curriculum internet. Orang tua dapat membantu anak memahami bahwa apa yang ia lihat tidak selalu benar.

Selain dialog, orang tua juga perlu menghadirkan narasi tandingan. Pornografi mengajarkan tubuh sebagai objek, maka orang tua harus menegaskan bahwa tubuh adalah ciptaan yang berharga. Pornografi menanamkan logika dominasi, maka orang tua harus menunjukkan bahwa relasi sejati dibangun atas kesetaraan dan tanggung jawab.

Sekolah juga dapat berperan. Pendidikan seksualitas yang sehat dan sesuai usia bisa membantu anak memahami tubuh dan hubungan secara benar. Jika sekolah dan orang tua bekerja sama, maka anak akan memiliki bekal yang lebih kuat menghadapi arus internet.

Masyarakat luas pun tidak kalah penting. Media, komunitas, dan lembaga sosial perlu ikut serta menyuarakan pentingnya literasi digital. Jika wacana publik lebih banyak membicarakan bahaya pornografi, maka kesadaran kolektif akan tumbuh.

Pemerintah juga bisa mengambil peran dengan menyediakan program edukasi digital yang inklusif. Bukan hanya memblokir situs, tetapi juga membekali orang tua dan anak dengan keterampilan menghadapi konten negatif. Tanpa itu, upaya blokir hanya akan menjadi solusi tambal sulam.

Dengan literasi digital, anak-anak bisa memiliki "vaksin kultural". Mereka tetap akan bertemu dengan konten pornografi, tetapi tidak akan menelannya mentah-mentah. Mereka bisa menganalisis, mempertanyakan, bahkan menolak nilai yang dibawanya.

Orang tua pun bisa lebih tenang, karena tahu bahwa anaknya tidak hanya dilindungi oleh filter teknologi, tetapi juga oleh kemampuan berpikir kritis. Inilah bekal yang paling berharga di era digital, ketika internet tak mungkin dibatasi sepenuhnya.

Pada akhirnya, literasi digital bukan hanya soal kemampuan teknis, melainkan soal membangun kesadaran. Kesadaran bahwa internet selalu mengajarkan sesuatu. Jika kita tidak hadir memberi makna, maka hidden curriculum pornografi akan mendominasi.

Penutup

Internet bukanlah ruang kosong. Ia selalu membawa pesan, nilai, dan norma yang bekerja secara diam-diam. Pornografi hanyalah salah satu dari sekian banyak kurikulum tersembunyi yang berjalan di balik layar.

Orang tua tidak mungkin melindungi anak hanya dengan larangan atau teknologi. Yang dibutuhkan adalah kehadiran, dialog, dan literasi digital. Dengan bekal itu, anak-anak bisa tumbuh sebagai generasi yang kritis, bijak, dan mampu menghadapi arus deras informasi.

Mari kita hadir bukan hanya sebagai penjaga pintu, melainkan juga sebagai guru kritis di rumah. Karena jika bukan kita yang membongkar kurikulum tersembunyi internet, maka anak-anaklah yang akan menjadi murid pasif dari pelajaran yang menyesatkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun