Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pornografi sebagai Hidden Curriculum Internet, Tantangan Baru Literasi Digital Orang Tua

20 Agustus 2025   11:03 Diperbarui: 20 Agustus 2025   11:03 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak sangat berisiko terpapar pornografi. (Sumber: liputan6.com/Freepik)

Dengan memahami konsep ini, kita bisa lebih jernih melihat tantangan yang dihadapi. Alih-alih hanya panik atau reaktif, orang tua perlu sadar bahwa internet mengajarkan anak-anaknya hal-hal tertentu, entah disadari atau tidak. Jika kita tidak hadir untuk mengarahkan, maka yang dominan adalah kurikulum tersembunyi yang berjalan di balik layar.

Pornografi sebagai Hidden Curriculum Internet

Pornografi di internet hadir dalam berbagai bentuk. Ia bisa berupa iklan yang tiba-tiba muncul, bisa berupa gambar yang terselip di media sosial, atau bahkan diselipkan dalam aplikasi populer. Kehadirannya sering tidak disadari, tetapi justru di situlah letak bahayanya.

Ketika anak terpapar berulang kali, pornografi mulai mengajarkan sesuatu. Anak belajar bahwa tubuh manusia bisa dilihat semata-mata sebagai objek visual. Anak juga belajar bahwa hubungan antarindividu adalah tentang kepuasan instan, bukan tentang kasih sayang, keintiman, atau tanggung jawab.

Owens dkk. (2012) dalam tinjauan risetnya menunjukkan bahwa remaja yang sering terpapar pornografi cenderung mengembangkan sikap permisif terhadap seksualitas. Mereka lebih mudah menerima perilaku seksual bebas, bahkan ketika itu berisiko. Dengan kata lain, pornografi sedang menjadi guru diam-diam yang membentuk nilai anak-anak kita.

Lebih jauh, pornografi juga menanamkan logika ketimpangan gender. Banyak konten pornografi menggambarkan pihak laki-laki sebagai dominan, sementara perempuan direduksi menjadi objek pasif. Anak yang terbiasa dengan gambaran semacam ini bisa tumbuh dengan pemahaman yang salah tentang kesetaraan gender.

Dampaknya tidak berhenti di sana. Pornografi juga menormalkan kekerasan. Studi-studi media menunjukkan bahwa sebagian besar konten pornografi memuat unsur paksaan, meskipun sering dibungkus sebagai sesuatu yang "normal". Anak yang terbiasa melihat ini akan kesulitan membedakan mana hubungan sehat dan mana yang penuh kekerasan.

Semua pesan itu bekerja secara halus. Anak mungkin tidak sadar sedang belajar, tetapi nilai itu perlahan masuk ke dalam pikirannya. Sama seperti kurikulum tersembunyi di sekolah, pornografi bekerja lewat pengulangan, kebiasaan, dan normalisasi.

Dengan demikian, pornografi tidak hanya sekadar konten terlarang. Ia adalah kurikulum tersembunyi internet yang berbahaya karena mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai moral, sosial, dan bahkan kesehatan psikologis anak.

Dampak bagi Anak dan Orang Tua

Dampak utama yang dirasakan anak adalah distorsi cara pandang tentang tubuh dan seksualitas. Mereka belajar bahwa tubuh hanyalah alat hiburan, bukan sesuatu yang memiliki nilai martabat. Hal ini bisa menimbulkan rasa cemas terhadap diri sendiri, merasa tidak percaya diri, atau justru mengembangkan obsesi yang tidak sehat.

Selain itu, anak juga bisa tumbuh dengan ekspektasi keliru terhadap hubungan. Mereka menganggap relasi antarindividu hanya soal fisik, tanpa memahami pentingnya emosi, kasih sayang, dan tanggung jawab. Ketika masuk dalam hubungan nyata, mereka bisa mengalami kekecewaan atau kesulitan besar.

Bagi sebagian anak, paparan pornografi juga bisa berujung pada kecanduan. Mereka terus mencari sensasi baru dan merasa sulit berhenti. Kondisi ini berbahaya karena bisa mengganggu konsentrasi belajar, kesehatan mental, hingga interaksi sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun