Orang tua pun tidak kalah terkena dampaknya. Banyak orang tua merasa kewalahan, frustrasi, bahkan putus asa menghadapi realitas ini. Mereka sering kali hanya punya dua pilihan ekstrem: melarang total atau membiarkan sepenuhnya. Padahal, keduanya tidak menyelesaikan masalah.
Ketika orang tua terlalu melarang, anak bisa mencari jalan lain secara sembunyi-sembunyi. Ketika orang tua terlalu membiarkan, anak bisa terpapar tanpa kendali. Situasi serba salah ini membuat banyak orang tua merasa tidak berdaya.
Kegagapan digital orang tua juga menjadi masalah tersendiri. Livingstone & Helsper (2007) menunjukkan bahwa bimbingan keluarga adalah faktor penting dalam literasi digital anak. Namun, banyak orang tua justru tertinggal dan hanya bisa pasif.
Akibatnya, anak lebih cepat belajar dari internet daripada dari orang tua. Anak lebih percaya pada apa yang ia lihat di layar ketimbang apa yang dikatakan ayah atau ibunya. Perbedaan kecepatan adaptasi ini membuat jarak antar generasi semakin lebar.
Bagi keluarga, kondisi ini bisa menimbulkan ketegangan. Anak merasa tidak dipahami, orang tua merasa ditinggalkan. Padahal, keduanya sama-sama membutuhkan jembatan komunikasi yang sehat. Tanpa itu, hidden curriculum internet akan semakin kuat mencengkeram.
Literasi Digital sebagai Solusi
Jalan keluar dari persoalan ini bukan sekadar teknologi, melainkan literasi digital. Literasi digital berarti kemampuan kritis untuk memahami, menafsirkan, dan memberi makna pada konten yang ditemui di internet. Dengan literasi digital, anak tidak hanya bisa mengakses informasi, tetapi juga mampu menilai mana yang sehat dan mana yang menyesatkan.
Livingstone (2014) menekankan bahwa literasi digital harus dipandang sebagai keterampilan kewargaan. Anak perlu diajari bahwa internet bukan hanya tempat hiburan, melainkan ruang sosial yang penuh dengan nilai, norma, dan bahkan jebakan. Dengan kemampuan ini, anak bisa menjadi pengguna yang lebih kritis dan bijak.
Namun, membangun literasi digital anak tidak bisa lepas dari peran orang tua. Orang tua perlu menjadi pendamping, bukan sekadar pengawas. Mereka harus hadir sebagai teman diskusi, bukan polisi yang selalu siap menghukum.
Dialog adalah kunci. Anak butuh ruang untuk bertanya, mengungkapkan rasa penasaran, dan mencari jawaban. Jika orang tua menutup ruang dialog, anak akan mencari jawaban di tempat lain, yang sering kali justru lebih berbahaya.
Dialog ini memang sulit, apalagi ketika menyangkut hal-hal tabu seperti pornografi. Tetapi justru keberanian membuka percakapan inilah yang bisa membongkar hidden curriculum internet. Orang tua dapat membantu anak memahami bahwa apa yang ia lihat tidak selalu benar.
Selain dialog, orang tua juga perlu menghadirkan narasi tandingan. Pornografi mengajarkan tubuh sebagai objek, maka orang tua harus menegaskan bahwa tubuh adalah ciptaan yang berharga. Pornografi menanamkan logika dominasi, maka orang tua harus menunjukkan bahwa relasi sejati dibangun atas kesetaraan dan tanggung jawab.