Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Warisan Filosofis Kwik Kian Gie dalam Membangun Ekonomi yang Bermoral

29 Juli 2025   17:00 Diperbarui: 29 Juli 2025   17:00 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kwik Kian Gie. Profil Kwik Kian Gie.(TRIBUNNEWS/DANY PERMANA via KOMPAS.COM)

Pada 28 Juli 2025, Indonesia kehilangan satu sosok yang tak mudah digantikan: Kwik Kian Gie. Ia bukan sekadar ekonom, bukan hanya menteri, dan bukan pula teknokrat biasa. Kwik adalah suara hati dalam ruang pengambilan keputusan yang sering kali lebih senang mendengar bisikan pasar ketimbang jerit rakyat. 

Ia hidup dan berpikir sebagai manusia yang percaya bahwa ekonomi tak pernah netral, dan bahwa kebijakan publik sejatinya harus lahir dari keberpihakan yang jelas---kepada keadilan, bukan kekuasaan; kepada rakyat kecil, bukan pada kepentingan elite.

Selama hidupnya, Kwik konsisten membawa semangat bahwa ekonomi tak bisa dipisahkan dari etika. Ia menolak gagasan bahwa ekonomi adalah sains yang steril dan bebas nilai. 

Baginya, ekonomi justru sarat dengan nilai-nilai moral, pertarungan ideologi, dan dilema kemanusiaan. Ini adalah warisan filosofisnya yang paling penting dan, dalam konteks hari ini, menjadi semakin relevan untuk dipelajari dan dihidupkan kembali.

Dalam dunia yang semakin memuja pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya indikator keberhasilan, Kwik justru menawarkan cara pandang yang berbeda. Ia mengingatkan bahwa pertumbuhan tanpa keadilan hanya akan melahirkan ketimpangan, dan pembangunan tanpa arah moral hanya akan menjadi ladang eksploitasi yang merugikan mereka yang paling lemah. 

Di sinilah letak kekuatan utama pemikirannya: bahwa ekonomi harus dibangun bukan hanya dengan kecerdasan angka, tetapi dengan keberanian untuk berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.

Pendidikan formalnya di bidang ekonomi memberinya landasan akademik yang kuat. Ia belajar di Universitas Indonesia dan kemudian melanjutkan studi di Belanda, di institusi yang juga melahirkan ekonom-ekonom besar Indonesia. 

Tapi sejak awal, Kwik tak tertarik menjadi bagian dari arus utama pemikiran ekonomi yang hanya mengejar efisiensi atau kestabilan makro. Ia lebih tertarik membaca struktur ekonomi sebagai medan etika---tempat di mana keberpihakan diuji, dan tempat di mana nilai-nilai harus diperjuangkan, bukan dikompromikan.

Menolak Netralitas Ilmu Ekonomi

Salah satu gagasan paling radikal---dan sekaligus paling jujur---yang diperjuangkan Kwik Kian Gie adalah bahwa ilmu ekonomi tidak netral. Pandangan ini bertolak belakang dengan banyak ekonom dan teknokrat yang mengklaim bahwa kebijakan ekonomi seharusnya bebas dari ideologi dan hanya berdasar pada data serta efisiensi. 

Kwik tidak percaya pada mitos itu. Ia tahu bahwa setiap keputusan ekonomi, dari perencanaan anggaran hingga kebijakan utang luar negeri, selalu lahir dari pertarungan kepentingan dan nilai.

Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi pada akhir 1990-an, suara-suara teknokrat menyarankan Indonesia untuk mengikuti resep liberalisasi dan deregulasi yang diberikan IMF dan Bank Dunia. Banyak yang patuh. Tapi Kwik bersikeras mempertanyakan. 

Ia menolak tunduk pada skenario ekonomi yang menurutnya hanya akan membuat Indonesia terjebak dalam ketergantungan struktural pada lembaga-lembaga asing. Baginya, kedaulatan ekonomi bukan slogan, tapi prinsip yang harus dipertahankan bahkan dalam situasi krisis.

Ia pernah menyampaikan dengan sangat tegas bahwa liberalisasi ekonomi pascareformasi hanyalah bentuk baru dari kolonialisme ekonomi. Ia tidak menyampaikannya dalam retorika populis atau provokatif, tetapi dengan argumen yang tajam dan berbasis data. 

Kritiknya bukan ditujukan untuk menolak bantuan luar negeri secara total, tapi untuk mengingatkan bahwa setiap kebijakan harus diuji secara moral: apakah ia adil? Apakah ia membawa kedaulatan? Apakah ia berpihak pada rakyat banyak, bukan pada segelintir elite atau korporasi?

Ketika ia menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri di era Presiden Abdurrahman Wahid, ia memperlihatkan bagaimana jabatan tidak mengubah cara berpikirnya. Ia tetap membawa suara kritis ke dalam ruang pengambilan keputusan. 

Salah satu momen paling dikenang adalah ketika ia menolak penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kebijakan yang menurutnya hanya akan menyelamatkan konglomerat nakal. 

Ia tahu dirinya kalah suara. Ia tahu kekuasaan telah bulat mengambil keputusan. Tapi ia tetap bersikukuh pada keyakinannya, bahkan jika itu berarti berdiri sendirian di tengah rapat kabinet.

Dalam kesaksian yang langka, ia pernah berkata bahwa ia memilih diam bukan karena setuju, tetapi karena tahu bahwa suaranya tak lagi didengar. Ini adalah potret seorang pemimpin yang memilih integritas di atas kenyamanan. 

Ia tidak bermain aman, dan tidak pula menjilat kekuasaan. Ia menjadi cermin yang memantulkan bahwa jabatan seharusnya memperbesar keberanian, bukan menutupinya.

Ekonomi yang Bermoral di Tengah Zaman yang Amoral

Setelah pensiun dari jabatan publik, Kwik tidak berhenti bersuara. Di usia senja, ia justru semakin aktif menggunakan platform media sosial dan forum publik untuk menyampaikan kritik dan gagasannya. 

Ia menulis, berbicara, dan terus mengingatkan bahwa ekonomi Indonesia sedang dibajak oleh kepentingan segelintir orang. Ia mengkritik proyek-proyek besar yang tidak punya kajian kelayakan memadai. 

Ia menggarisbawahi bahwa pembangunan yang tidak adil akan membawa kehancuran sosial. Ia menolak sistem pajak yang timpang dan memberatkan yang kecil, tapi membebaskan yang besar.

Dalam semua itu, Kwik tidak pernah kehilangan satu hal, yakni: nurani. Inilah yang membedakannya dari banyak pejabat dan teknokrat lainnya. 

Ia tahu bahwa menjadi ekonom bukan berarti berhenti menjadi manusia. Ia tahu bahwa data dan angka hanyalah alat, bukan tujuan. Dan yang lebih penting, ia percaya bahwa keberanian untuk bersuara jauh lebih penting daripada sekadar mengejar kestabilan politik atau popularitas.

Ketika dunia politik semakin sibuk dengan pencitraan dan ketika suara-suara intelektual mulai tenggelam dalam algoritma media sosial, sosok seperti Kwik menjadi sangat langka. Ia tidak berbicara untuk menyenangkan siapa pun. 

Ia tidak menulis untuk mendapatkan pujian. Ia bersuara karena ia percaya bahwa kebenaran perlu terus diperjuangkan, bahkan jika harus melawan arus besar.

Warisan filosofis Kwik Kian Gie bukanlah teori ekonomi baru yang kompleks, bukan pula konsep kebijakan yang revolusioner. Warisannya adalah cara berpikir yang jujur, keberanian untuk berbeda, dan kesediaan untuk membayar harga atas keyakinan. 

Ia adalah pengingat bahwa ilmu ekonomi, dalam bentuknya yang paling luhur, adalah tentang manusia. Bukan sekadar pasar. Bukan sekadar investasi. Tapi tentang hidup yang layak, kerja yang bermartabat, dan keadilan yang merata.

Dalam ruang-ruang kuliah, namanya akan terus dikenang sebagai sosok yang menjembatani logika dengan etika. Ia akan menjadi panutan bagi mahasiswa ekonomi yang ingin lebih dari sekadar bekerja di lembaga keuangan. 

Ia akan hidup dalam ingatan para pengambil kebijakan yang masih punya hati. Dan yang paling penting, ia akan terus menjadi inspirasi bagi siapapun yang percaya bahwa ekonomi yang bermoral bukanlah utopia, melainkan tanggung jawab kita bersama.

Kehilangan Kwik Kian Gie adalah kehilangan yang besar bagi Indonesia. Tapi jika kita ingin merawat warisannya, maka kita harus terus bertanya dalam setiap kebijakan: "Apakah ini adil? Apakah ini berpihak?" 

Sebab, sebagaimana yang ia tunjukkan sepanjang hidupnya, pertanyaan-pertanyaan moral seperti itulah yang seharusnya menjadi dasar dari seluruh praktik ekonomi. 

Hanya dengan cara itu, ekonomi bisa menjadi alat pembebasan, bukan penindasan. Dan hanya dengan cara itu pula, kita bisa memastikan bahwa warisan filosofis Kwik Kian Gie tidak sekadar dikenang---tetapi terus diperjuangkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun