Ia menggarisbawahi bahwa pembangunan yang tidak adil akan membawa kehancuran sosial. Ia menolak sistem pajak yang timpang dan memberatkan yang kecil, tapi membebaskan yang besar.
Dalam semua itu, Kwik tidak pernah kehilangan satu hal, yakni: nurani. Inilah yang membedakannya dari banyak pejabat dan teknokrat lainnya.Â
Ia tahu bahwa menjadi ekonom bukan berarti berhenti menjadi manusia. Ia tahu bahwa data dan angka hanyalah alat, bukan tujuan. Dan yang lebih penting, ia percaya bahwa keberanian untuk bersuara jauh lebih penting daripada sekadar mengejar kestabilan politik atau popularitas.
Ketika dunia politik semakin sibuk dengan pencitraan dan ketika suara-suara intelektual mulai tenggelam dalam algoritma media sosial, sosok seperti Kwik menjadi sangat langka. Ia tidak berbicara untuk menyenangkan siapa pun.Â
Ia tidak menulis untuk mendapatkan pujian. Ia bersuara karena ia percaya bahwa kebenaran perlu terus diperjuangkan, bahkan jika harus melawan arus besar.
Warisan filosofis Kwik Kian Gie bukanlah teori ekonomi baru yang kompleks, bukan pula konsep kebijakan yang revolusioner. Warisannya adalah cara berpikir yang jujur, keberanian untuk berbeda, dan kesediaan untuk membayar harga atas keyakinan.Â
Ia adalah pengingat bahwa ilmu ekonomi, dalam bentuknya yang paling luhur, adalah tentang manusia. Bukan sekadar pasar. Bukan sekadar investasi. Tapi tentang hidup yang layak, kerja yang bermartabat, dan keadilan yang merata.
Dalam ruang-ruang kuliah, namanya akan terus dikenang sebagai sosok yang menjembatani logika dengan etika. Ia akan menjadi panutan bagi mahasiswa ekonomi yang ingin lebih dari sekadar bekerja di lembaga keuangan.Â
Ia akan hidup dalam ingatan para pengambil kebijakan yang masih punya hati. Dan yang paling penting, ia akan terus menjadi inspirasi bagi siapapun yang percaya bahwa ekonomi yang bermoral bukanlah utopia, melainkan tanggung jawab kita bersama.
Kehilangan Kwik Kian Gie adalah kehilangan yang besar bagi Indonesia. Tapi jika kita ingin merawat warisannya, maka kita harus terus bertanya dalam setiap kebijakan: "Apakah ini adil? Apakah ini berpihak?"Â
Sebab, sebagaimana yang ia tunjukkan sepanjang hidupnya, pertanyaan-pertanyaan moral seperti itulah yang seharusnya menjadi dasar dari seluruh praktik ekonomi.Â