Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi pada akhir 1990-an, suara-suara teknokrat menyarankan Indonesia untuk mengikuti resep liberalisasi dan deregulasi yang diberikan IMF dan Bank Dunia. Banyak yang patuh. Tapi Kwik bersikeras mempertanyakan.Â
Ia menolak tunduk pada skenario ekonomi yang menurutnya hanya akan membuat Indonesia terjebak dalam ketergantungan struktural pada lembaga-lembaga asing. Baginya, kedaulatan ekonomi bukan slogan, tapi prinsip yang harus dipertahankan bahkan dalam situasi krisis.
Ia pernah menyampaikan dengan sangat tegas bahwa liberalisasi ekonomi pascareformasi hanyalah bentuk baru dari kolonialisme ekonomi. Ia tidak menyampaikannya dalam retorika populis atau provokatif, tetapi dengan argumen yang tajam dan berbasis data.Â
Kritiknya bukan ditujukan untuk menolak bantuan luar negeri secara total, tapi untuk mengingatkan bahwa setiap kebijakan harus diuji secara moral: apakah ia adil? Apakah ia membawa kedaulatan? Apakah ia berpihak pada rakyat banyak, bukan pada segelintir elite atau korporasi?
Ketika ia menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri di era Presiden Abdurrahman Wahid, ia memperlihatkan bagaimana jabatan tidak mengubah cara berpikirnya. Ia tetap membawa suara kritis ke dalam ruang pengambilan keputusan.Â
Salah satu momen paling dikenang adalah ketika ia menolak penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kebijakan yang menurutnya hanya akan menyelamatkan konglomerat nakal.Â
Ia tahu dirinya kalah suara. Ia tahu kekuasaan telah bulat mengambil keputusan. Tapi ia tetap bersikukuh pada keyakinannya, bahkan jika itu berarti berdiri sendirian di tengah rapat kabinet.
Dalam kesaksian yang langka, ia pernah berkata bahwa ia memilih diam bukan karena setuju, tetapi karena tahu bahwa suaranya tak lagi didengar. Ini adalah potret seorang pemimpin yang memilih integritas di atas kenyamanan.Â
Ia tidak bermain aman, dan tidak pula menjilat kekuasaan. Ia menjadi cermin yang memantulkan bahwa jabatan seharusnya memperbesar keberanian, bukan menutupinya.
Ekonomi yang Bermoral di Tengah Zaman yang Amoral
Setelah pensiun dari jabatan publik, Kwik tidak berhenti bersuara. Di usia senja, ia justru semakin aktif menggunakan platform media sosial dan forum publik untuk menyampaikan kritik dan gagasannya.Â
Ia menulis, berbicara, dan terus mengingatkan bahwa ekonomi Indonesia sedang dibajak oleh kepentingan segelintir orang. Ia mengkritik proyek-proyek besar yang tidak punya kajian kelayakan memadai.Â