Operasi Tangkap Tangan oleh KPK di Sumatera Utara ini bukan sembarang OTT. Selain nilai proyeknya besar, skema dugaan korupsinya pun cukup sistematis.Â
Proyek jalan senilai Rp231,8 miliar diduga dijalankan dengan manipulasi sejak awal. Alih-alih dibuka secara transparan, pengadaan dilakukan lewat mekanisme e-katalog yang ternyata sudah "diatur" (detik.com).
Bahkan, KPK menyebutkan, tidak ada pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dalam arti yang sebenarnya. Semuanya telah direkayasa (ambisius.com).
Uang miliaran rupiah mengalir dalam bentuk fee kepada sejumlah pejabat. Kepala Dinas PUPR menjadi tokoh sentral dalam kasus ini. Ia disebut menerima aliran uang yang signifikan, yang kemudian digunakan untuk membayar berbagai pihak demi kelancaran proyek.
Tentu, masyarakat bertanya-tanya: dalam kondisi seperti ini, di mana posisi Bobby? Apakah Gubernur benar-benar tidak tahu proyek besar di bawah hidungnya tengah dimainkan? Ataukah memang ini adalah "warisan birokrasi lama" yang belum sempat dibersihkan?
KPK, dalam keterangannya, menyatakan bahwa pihaknya terbuka untuk memanggil siapa saja yang relevan dengan kasus ini, termasuk Gubernur. Jika aliran uang mengarah kepada siapa pun, atau jika ditemukan adanya perintah lisan atau campur tangan dalam proyek ini, maka pemeriksaan akan dilakukan (KOMPAS.com).
Bobby sendiri menyatakan siap jika sewaktu-waktu dipanggil. Ia bahkan mengatakan akan kooperatif dan mendukung sepenuhnya proses hukum. Dalam konferensi pers, ia menegaskan bahwa dirinya tidak akan menutupi apa pun dan akan membantu KPK membersihkan birokrasi Sumut.
Namun, proses hukum memiliki logikanya sendiri. Ketika pejabat yang terlibat adalah orang dekat, publik akan cenderung skeptis. Tidak cukup hanya menyatakan diri bersih. Bobby harus membuktikan bahwa dirinya tidak hanya tidak terlibat, tapi juga tidak membiarkan sistem korup itu bertahan di bawah kepemimpinannya.
Reaksi publik pun terbagi. Ada yang percaya Bobby hanya "korban warisan lama." Tapi ada juga yang menilai bahwa Gubernur seharusnya sudah tahu sejak awal siapa yang ia angkat dan siapa yang menjadi bagian dari timnya.Â
Di sinilah dilema kepemimpinan Bobby diuji. Ia harus menjawab: apakah kepemimpinannya hanya bersandar pada komunikasi dan simbol-simbol, atau benar-benar mengakar pada kontrol sistem dan pengawasan yang kuat?
Krisis sebagai Momentum atau Batu Sandungan?
Kisah Bobby Nasution dan OTT Dinas PUPR Sumut ini pada akhirnya akan menjadi bab penting dalam sejarah pemerintahannya. Jika tidak ditangani dengan tepat, ini bisa menjadi batu sandungan yang merusak citra dan kepercayaan publik terhadap dirinya.Â