Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bobby Nasution di Pusaran Korupsi

2 Juli 2025   11:06 Diperbarui: 3 Juli 2025   14:31 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (28/4/2025).(KOMPAS.com/Haryanti Puspa Sari)

Bobby Nasution di Pusaran Korupsi

Oleh: Julianda Boang Manalu

Bagi sebagian orang, nama Bobby Nasution mungkin lebih dulu dikenal karena statusnya sebagai menantu Presiden Joko Widodo. Tapi bagi warga Medan dan kini masyarakat Sumatera Utara, Bobby adalah Gubernur. Pemimpin daerah dengan tanggung jawab besar di pundaknya. 

Ia tidak sekadar figur politik, tetapi simbol dari harapan akan perubahan. Terutama perubahan dari wajah lama birokrasi yang terlalu akrab dengan aroma proyek dan persekongkolan anggaran.

Ketika Bobby resmi dilantik sebagai Gubernur Sumut pada Februari 2025, banyak yang berharap ini menjadi titik balik. Setelah menjabat sebagai Wali Kota Medan dan cukup vokal soal tata kelola dan anti-korupsi, Bobby dianggap sebagai angin segar. 

Ia bahkan sempat melakukan perombakan besar-besaran pada jajaran ASN di Pemkot Medan saat awal menjabat, sebuah langkah yang tak banyak kepala daerah berani lakukan.

Namun, belum genap lima bulan menjabat sebagai orang nomor satu di Sumut, angin segar itu tiba-tiba berubah menjadi kabut pekat. 

KPK menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumatera Utara, Topan Ginting, dan empat orang lainnya. 

Proyek yang menjadi latar belakang OTT itu nilainya tak main-main: Rp231,8 miliar. Proyek jalan yang seharusnya menjadi bukti nyata pembangunan Sumut, justru menjadi bukti nyata korupsi berjamaah.

Publik pun terperangah. Bagaimana mungkin kasus sebesar itu bisa terjadi saat gubernur yang katanya anti-korupsi sedang menjabat? Apakah Bobby tidak tahu? Atau malah, apakah ada pembiaran?

Bobby tentu segera bereaksi. Ia mengaku sudah memperingatkan sejak awal kepada seluruh ASN untuk tidak bermain-main dengan anggaran. 

Bahkan, jauh sebelum OTT terjadi, ia telah menghadiri undangan KPK dalam acara Koordinasi dan Supervisi (Korsup) pada April 2025. 

Dalam kesempatan itu, Bobby menyatakan komitmennya untuk mendukung penuh pemberantasan korupsi. Namun, fakta di lapangan berbicara lain.

OTT ini bukan hanya soal oknum. Tapi sistem. Proyek senilai ratusan miliar itu diberikan tanpa mekanisme yang sah. 

Tidak melalui lelang, tidak pula melalui proses e-catalog yang benar. Semua direkayasa. Ada dugaan fee miliaran rupiah yang dibagikan untuk melancarkan proyek ini.

Celakanya, dalam proses pengerjaan proyek itu, orang-orang yang kini jadi tersangka diketahui pernah bersama-sama Bobby saat kunjungan ke lokasi proyek.

Dilansir dari Kompas.id, Bobby membenarkan bahwa dirinya memang satu mobil dengan para tersangka dalam kegiatan off-road menuju lokasi proyek. 

Namun, ia mengaku tidak tahu bahwa mereka adalah calon kontraktor. Pernyataan ini memancing reaksi. Masa iya seorang Gubernur bisa sedekat itu dengan pihak swasta tanpa tahu latar belakang mereka?

Hubungan dekat antara Bobby dan para tersangka semakin diperkuat dengan data LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Kepala Dinas PUPR yang ditangkap KPK adalah orang lama yang sebelumnya menjabat di Medan. 

Artinya, Topan adalah bagian dari "kabinet" yang ikut Bobby dari kota ke provinsi. Jika benar demikian, maka dugaan bahwa sistem lama yang korup ikut terbawa ke lingkungan Pemprov menjadi sulit terbantahkan.

Yang menjadi tantangan besar bagi Bobby bukan hanya bagaimana ia menjelaskan kedekatannya dengan para tersangka. Tapi bagaimana ia bisa membuktikan bahwa dirinya benar-benar bersih. 

Bahwa ia memang tidak tahu-menahu. Karena di mata publik, ketika orang dekat kita korupsi, publik tak hanya menuding yang bersangkutan. Publik juga bertanya: pemimpinnya ke mana?

OTT, Proyek Jalan, dan Dilema Kepemimpinan

Operasi Tangkap Tangan oleh KPK di Sumatera Utara ini bukan sembarang OTT. Selain nilai proyeknya besar, skema dugaan korupsinya pun cukup sistematis. 

Proyek jalan senilai Rp231,8 miliar diduga dijalankan dengan manipulasi sejak awal. Alih-alih dibuka secara transparan, pengadaan dilakukan lewat mekanisme e-katalog yang ternyata sudah "diatur" (detik.com).

Bahkan, KPK menyebutkan, tidak ada pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dalam arti yang sebenarnya. Semuanya telah direkayasa (ambisius.com).

Uang miliaran rupiah mengalir dalam bentuk fee kepada sejumlah pejabat. Kepala Dinas PUPR menjadi tokoh sentral dalam kasus ini. Ia disebut menerima aliran uang yang signifikan, yang kemudian digunakan untuk membayar berbagai pihak demi kelancaran proyek.

Tentu, masyarakat bertanya-tanya: dalam kondisi seperti ini, di mana posisi Bobby? Apakah Gubernur benar-benar tidak tahu proyek besar di bawah hidungnya tengah dimainkan? Ataukah memang ini adalah "warisan birokrasi lama" yang belum sempat dibersihkan?

KPK, dalam keterangannya, menyatakan bahwa pihaknya terbuka untuk memanggil siapa saja yang relevan dengan kasus ini, termasuk Gubernur. Jika aliran uang mengarah kepada siapa pun, atau jika ditemukan adanya perintah lisan atau campur tangan dalam proyek ini, maka pemeriksaan akan dilakukan (KOMPAS.com).

Bobby sendiri menyatakan siap jika sewaktu-waktu dipanggil. Ia bahkan mengatakan akan kooperatif dan mendukung sepenuhnya proses hukum. Dalam konferensi pers, ia menegaskan bahwa dirinya tidak akan menutupi apa pun dan akan membantu KPK membersihkan birokrasi Sumut.

Namun, proses hukum memiliki logikanya sendiri. Ketika pejabat yang terlibat adalah orang dekat, publik akan cenderung skeptis. Tidak cukup hanya menyatakan diri bersih. Bobby harus membuktikan bahwa dirinya tidak hanya tidak terlibat, tapi juga tidak membiarkan sistem korup itu bertahan di bawah kepemimpinannya.

Reaksi publik pun terbagi. Ada yang percaya Bobby hanya "korban warisan lama." Tapi ada juga yang menilai bahwa Gubernur seharusnya sudah tahu sejak awal siapa yang ia angkat dan siapa yang menjadi bagian dari timnya. 

Di sinilah dilema kepemimpinan Bobby diuji. Ia harus menjawab: apakah kepemimpinannya hanya bersandar pada komunikasi dan simbol-simbol, atau benar-benar mengakar pada kontrol sistem dan pengawasan yang kuat?

Krisis sebagai Momentum atau Batu Sandungan?

Kisah Bobby Nasution dan OTT Dinas PUPR Sumut ini pada akhirnya akan menjadi bab penting dalam sejarah pemerintahannya. Jika tidak ditangani dengan tepat, ini bisa menjadi batu sandungan yang merusak citra dan kepercayaan publik terhadap dirinya. 

Tapi jika ditangani dengan serius, ini bisa menjadi momentum untuk melakukan pembenahan besar-besaran.

Bobby memiliki modal politik dan dukungan publik yang relatif besar. Ia juga punya akses langsung ke pusat kekuasaan. Itu semua bisa menjadi kekuatan untuk melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh di Sumut. 

Tapi untuk melakukan itu, ia harus siap mengambil risiko. Risiko untuk bersikap tegas, bahkan kepada orang-orang yang selama ini berada di lingkaran dalamnya.

Reformasi birokrasi tidak cukup hanya dengan mencopot pejabat yang ditangkap. Lebih penting dari itu adalah memperbaiki sistem. Membuat pengadaan proyek benar-benar terbuka dan transparan. 

Melibatkan masyarakat sipil dalam proses evaluasi anggaran. Memberikan ruang bagi media dan lembaga antikorupsi untuk melakukan pengawasan.

Dalam konteks ini, Bobby tidak hanya diuji secara hukum, tetapi juga secara moral dan politik. Ia diuji apakah benar-benar mampu menjadi pemimpin yang bersih, atau hanya pemimpin yang kelihatan bersih. 

Karena publik tidak lagi puas dengan kata-kata dan pencitraan. Mereka ingin melihat bukti nyata: perubahan.

Sumatera Utara adalah provinsi dengan potensi besar. Tapi potensi itu tidak akan berarti jika terus dikorupsi oleh birokrat rakus. Bobby punya kesempatan untuk menjadi bagian dari solusi. Tapi ia juga berisiko menjadi bagian dari masalah, jika tidak segera mengambil sikap tegas.

Akhirnya, semua kembali kepada Bobby. Apakah ia akan membiarkan dirinya terseret lebih dalam ke dalam pusaran ini? Ataukah ia akan menjadikan badai ini sebagai bahan bakar untuk membakar korupsi dan menyelamatkan Sumut dari lingkaran setan birokrasi kotor?

Bukan publik yang memutuskan. Bukan pula media. Tapi sejarah yang akan mencatat. Dan sejarah, sebagaimana kita tahu, tidak pernah berbohong.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun