Perempuan dan Kebangkitan Nasional: Jejak yang Terlupakan
Oleh: Julianda BM
Setiap tanggal 20 Mei, bangsa ini memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Nama-nama seperti Soetomo, Wahidin Soedirohusodo, dan pelajar-pelajar STOVIA pun kembali disebut.Â
Kita kembali pada memori kolektif tentang Budi Utomo, organisasi modern pertama yang dianggap sebagai penanda bangkitnya kesadaran kebangsaan Indonesia. Tapi ada satu pertanyaan yang jarang kita tanyakan: di mana perempuan dalam cerita besar ini?
Sejarah resmi kita---yang diajarkan di sekolah dan dikutip di pidato kenegaraan---terkesan sangat maskulin. Barisan tokoh dan pejuang awal digambarkan nyaris semuanya laki-laki.Â
Mulai dari pendiri Budi Utomo hingga peserta Kongres Pemuda II. Tidak salah memang, tapi tidak lengkap.
Padahal, dalam sejarah yang lebih dalam dan tersembunyi, perempuan tidak hanya menjadi penonton. Mereka juga menjadi penggerak, pendidik, bahkan ideolog perjuangan.Â
Namun, nama-nama mereka jarang masuk buku pelajaran. Bahkan dalam narasi Sumpah Pemuda---yang katanya mencerminkan semangat persatuan seluruh bangsa---kehadiran perempuan hampir tak tampak. Seolah-olah bangsa ini dibangun oleh satu gender saja.
Ambil contoh Rohana Kudus, jurnalis perempuan pertama Indonesia yang sudah menulis tajam tentang emansipasi dan pendidikan perempuan sejak awal abad ke-20. Atau Dewi Sartika yang mendirikan sekolah untuk anak perempuan jauh sebelum kesetaraan menjadi topik populer.Â
Ada juga Kartini, yang sering kali disterilkan dalam narasi "ibu rumah tangga bijak", padahal pemikiran radikalnya soal pendidikan dan kemerdekaan perempuan sangatlah mengguncang status quo saat itu.
Mereka mungkin tidak hadir di STOVIA, tapi mereka ada di ruang-ruang lain yang juga menentukan arah kebangkitan bangsa---sekolah, dapur, ruang baca, bahkan penjara kolonial.
Sayangnya, sejarah kita cenderung menilai kontribusi berdasarkan ruang formal dan "elite". Apa yang dilakukan perempuan di balik layar, di lingkup komunitas, atau bahkan lewat surat dan tulisan, dianggap remeh. Padahal, di sanalah benih-benih kebangkitan bangsa sesungguhnya tumbuh.
Hari Kebangkitan Nasional seharusnya menjadi momentum untuk tidak hanya mengenang tokoh, tapi juga mengkaji ulang narasi. Apakah kita sudah adil terhadap sejarah? Apakah kita sudah mendengarkan semua suara yang membentuk bangsa ini?
Kini, ketika kesetaraan gender menjadi agenda global, saatnya kita juga berani merevisi sejarah dengan kacamata yang lebih inklusif. Bukan untuk mengubah masa lalu, tetapi untuk memahami bahwa bangsa ini dibangkitkan oleh lebih banyak orang daripada yang selama ini kita kenal. Termasuk para perempuan.
#HariKebangkitanNasional
#PerempuanDalamSejarah
#RefleksiSejarah
#PerempuanIndonesia
#Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI