Mohon tunggu...
Julianda BM
Julianda BM Mohon Tunggu... Administrasi - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh". Sudah menulis ratusan artikel dan opini. Bekerja sebagai ASN Pemda. Masih tetap belajar dan belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nasi Mahal, Pindah ke Mana? Dilema Mengubah Kebiasaan Makan di Tengah Kenaikan Harga Beras

22 Februari 2024   08:01 Diperbarui: 22 Februari 2024   08:06 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi beras. Foto: Pixabay via https://www.alinea.id/

Oleh: Julianda BM

Harga beras bagaikan roller coaster yang tak terkendali. Naik turunnya harga bahan pangan pokok ini selalu mengundang kekhawatiran, terutama di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit. 

Lonjakan harga beras yang terjadi baru-baru ini kembali menggemparkan masyarakat, memicu pertanyaan besar: Siapkah kita beralih dari nasi sebagai makanan utama?

Nasi: Lebih dari Sekadar Makanan

Bagi masyarakat Indonesia, nasi bukan sekadar makanan, melainkan simbol budaya dan tradisi yang melekat erat dalam kehidupan sehari-hari. 

Nasi diibaratkan sebagai "nyawa" yang menemani setiap hidangan, dari lauk pauk sederhana hingga masakan lezat nan istimewa. Tradisi makan bersama dengan nasi putih hangat menjadi momen kebersamaan yang tak tergantikan.

Namun, di balik peran pentingnya, nasi putih juga menyimpan dilema. Ketergantungan berlebihan pada nasi sebagai sumber karbohidrat utama membuat kita rentan terhadap gejolak harga dan krisis pangan. 

Kenaikan harga beras, seperti yang terjadi saat ini, dapat memicu inflasi dan memperparah kondisi ekonomi masyarakat, terutama bagi kelompok prasejahtera.

Mencari Alternatif: Antara Tantangan dan Peluang

Beralih dari nasi bukan perkara mudah. Mengubah kebiasaan makan yang sudah mendarah daging selama bertahun-tahun membutuhkan edukasi, adaptasi, dan bahkan perubahan mindset. 

Beragam alternatif pengganti nasi, seperti ubi jalar, singkong, jagung, dan kentang, telah lama diperkenalkan, namun belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat.

Beberapa faktor yang menjadi penghambat peralihan ini antara lain:

  • Kebiasaan dan budaya: Nasi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan tradisi makan di Indonesia. Mengubahnya berarti mengubah kebiasaan yang sudah tertanam sejak lama.
  • Ketersediaan dan akses: Di beberapa daerah, akses terhadap alternatif pengganti nasi masih terbatas, terutama di wilayah pedesaan dan terpencil.
  • Harga dan rasa: Harga beberapa alternatif pengganti nasi, seperti ubi jalar dan singkong, masih tergolong murah dan mudah diolah. Namun, dari segi rasa dan tekstur, nasi masih lebih disukai oleh sebagian besar masyarakat.

Menjembatani Tantangan: Menuju Diversifikasi Pangan yang Berkelanjutan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun