Mohon tunggu...
Lola silaban
Lola silaban Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Baru lulus kuliah dari Universitas Negeri Medan Lulusan Sarjana Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cita-cita

12 Februari 2019   18:06 Diperbarui: 12 Februari 2019   18:17 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang guru muda, duduk di depan mejanya. Di atas mejanya, banyak kertas berserakkan. Guru muda itu, sedang memeriksa hasil pekerjaan rumah anak didiknya yang duduk di kelas 3 SD. Tidak muda untuk guru muda itu menjadi sosok walikelas buat anak didiknya. Apalagi usia yang masih muda. Seharusnya, guru muda itu di tempatkan di kelas 6 SD. 

Menurutnya, di situlah tempat yang cocok buatnya untuk mendidik anak Sekolah Dasar. Apalagi jika masalah mata pelajaran. Guru muda itu pasti mampu memberi pelajaran yang tepat untuk membuat mereka lulus dari sekolah ini. Namun, pihak kepala sekolah malah menyuruh menjadi wali kelas di kelas 3. Karena guru yang seharusnya menjadi walikelas kelas 3 telah mutasi. 

Guru-guru yang lain tidak bisa mengantikan posisi guru muda itu. Karna guru-guru yang lain sudah terlanjur menjadi walikelas di kelas masing-masing. 

Kebetulan pada saat itu, hanya satu guru yang tidak memiliki jabatan wali kelas, yaitu guru muda. Mau tak mau, guru muda itu harus mengikuti permintaan kepala sekolah. kalo tidak, guru muda itu akan dipecat dan digantikan oleh orang lain yang ingin melamar jadi guru di sini. Walaupun kepala sekolah tahu, bahwa guru muda itu masih baru atau masih honor. Tapi, kepala sekolah percaya bahwa guru muda itu dapat membimbing anak didiknya di kelas 3. 

Awalnya, guru muda itu tidak percaya bisa mendidik anak kelasnya. Guru muda itu kadang malas untuk mengajar anak kelas 3 karna mereka harus dituntun terus untuk belajar. Tidak seperti anak kelas 6 yang sudah mengerti belajar sendiri. Hingga pada suatu hari, guru muda itu sadar. 

Bukan kelas mana yang dapat menentukan siapa yang layak kita ajarkan. Tapi, diri kita sendirilah yang menentukan itu. Apakah kita layak atau tidak untuk mendidik mereka.

***

Suasana ruang kepala sekolah terasa mencekam. Lola seorang guru muda yang baru mengajar sebulan di SD Negeri Medan. Harus menerima permintaan kepala sekolahnya. Kalo Lola menolak, Lola akan di pecat.

Lola : Pak.. Apa bapak sudah memikirkannya. Sebelum Bapak memberi tanggung jawab ini kepada saya Pak?

Kepala Sekolah : Sebenarnya, Bapak juga ragu memberikan tanggung jawab ini kepada kamu. Apalagi kamu masih baru disini. Tapi, tidak ada guru lagi yang bisa menggantikan posisi walikelas di kelas 3.

Lola : Sebenarnya, saya tidak keberatan jika saya jadi walikelas Pak. Tapi, saya tidak yakin apa saya bisa mendidik anak kelas 3. Saya masih baru dan belum berpengalaman jadi walikelas.

Kepala Sekolah : Bapak yakin lambat laun kamu pasti bisa mendidik mereka sampai naik kelas 4. Bapak percayakan posisi ini kepadamu, Lola. Jangan langsung menyerah sebelum mencoba.

Lola hanya bisa diam. Lola tidak yakin apa dia bisa menjadi walikelas yang baik untuk kelas 3. Apakah anak didiknya akan menyukainya atau malah sebaliknya. Lola pamit keluar dari ruangan kepala sekolah setelah perbincangan mereka yang tentunya Lola tidak bisa menolak tanggung jawab yang diberikan kepala sekolah untuknya.

***

Lola sedang bersiap-siap menuju kelas 3. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai walikelas. Perasaan Lola begitu takut. Untuk memulai harinya sebagai walikelas bukan sebagai guru pengganti jika guru yang bersangkutan tidak datang. Saat menuju ke kelas 3, Lola bertemu dengan salah guru yang bernama Yenni.

Yenni : Pagi, Bu Lola.

Lola : Pagi juga, Bu Yenni.

Yenni : Bu, Lola. Saya dengar dari guru-guru yang lain. Bu Lola jadi walikelas 3 nya.

Lola : Iya, Bu. Ini hari pertama saya mengajar sebagai walikelas dan Bu Yenni tahu, saya begitu takut.

Yenni : Takut kenapa Bu Lola?

Lola : Saya takut, saya tidak bisa menjadi walikelas yang baik untuk anak kelas 3. Saya masih baru dan belum berpengalaman mendidik anak sekolah     dasar.

Yenni : Pertama-tama, memang seperti itu. Tapi, percaya dirilah mengajar mereka. (Yenni berhenti di depan pintu kelas 3) Saya duluan masuk Bu             Lola. Semangat jangan takut, mereka itu anak-anak bukan moster. (mengempalkan tangannya kepala Lola).

Lola tersenyum kepada Yenni yang menyemangatinya. Benar yang dikatakan Yenni. Dia harus semangat di hari pertamanya. Lola memasuki kelas 3, setelah beberapa kali menyakinkan dirinya "kalau Lola pasti bisa".

Lola : Selamat pagi, anak-anak (berteriak saking semangatnya)

Anak-anak : Pagi, Bu. (jawab anak-anak takut)

Lola : Kenapa suara kalian seperti itu? (Tanya Lola mendekati salah satu murid perempuan dengan rambut di kuncir bernama Angel)

Angel : Suara ibu kuat sekali. (jawabnya tidak berani menatap gurunya)

Lola : oh, itu. (Lola malu dan salah tingkah) Maaf, itu karna ibu sangat semangat mengajar hari ini. Lalu kenapa kamu menunduk saat bicara dengan ibu?

Angel : Saya takut melihat ibu. (jawabnya pelan namun masih bisa didengar Lola)

Lola : Baiklah, anak-anak. Wajar kalian semua takut sama ibu gara-gara suara ibu yang kuat. Dan ibu juga lupa memperkenalkan diri ibu kepada kalian semua. Nama ibu Lola Silaban dan ibu akan menjadi walikelas kalian.

Satria : kenapa ibu jadi walikelas kami, ibu Marta ke mana Bu?

Lola : Pertanyaan bagus. Siapa namamu?

Satria : Satria, Bu guru.

Lola : Begini, ya anak-anak. Bu Marta telah pindah ke sekolah yang baru dan ibu menjadi pengganti walikelas yang baru untuk kalian.

Angel : Bu, Marta kapan perginya dan kenapa ibu Marta tidak pamit sama kami semua. Apa kami anak bandalnya Bu, maka Bu Marta tidak pamit sama kami.

Lola : Tidak, nak. Bukan seperti itu. Namamu siapa?

Angel : Angel, Bu Guru.

Lola : Ya, Angel dan juga anak-anak yang lain. Dengarkan , ibu baik-baik. Bu Marta bukannya pergi tanpa pamit sama kalian semua. Ibu itu pergi dan       pamit dengan kita semua. Mungkin, kalian semua tidak mengingatnya. Waktu itu, kita satu sekolah mengadakan perpisahan kepada Bu Marta di              tengah lapangan sekolah.

Satria : oh.. saya ingat, Bu. Jadi, itu namanya perpisahannya Bu. Berbaris di lapangan dan mencium tangan Bu Marta.

Lola : Ya, Satria. Tapi, kalian semua harus ingat. Acara seperti itu tidak selamanya di sebut perpisahaan. Apa kalian mengerti?

Semua : Mengerti, Bu guru.

Lola : Kalau begitu kita mulai pelajarannya. Semuanya buka buku.

Di hari pertamanya, tidak seburuk yang Lola pikirkan. Anak-anak kelas 3 sepertinya menyukai dirinya. Walaupun tidak semua anak-anak kelas 3 mengerti sepenuhnya dengan pelajaran yang Lola berikan. 

Mereka semua lebih suka mendengarkan gurunya bercerita. Membuat Lola sedikit repot untuk mengajar mata pelajaran buat mereka. Lola harus penuh kesabaran untuk bisa memberi setiap mata pelajaran. Karna anak didiknya suka sekali tentang hal yang berbau cerita. Lola pun memiliki ide untuk membuat mereka belajar.

***

Lola : Baiklah, anak-anak. Pelajaran kita sampai disini, ibu punya pekerjaan rumah buat kalian semua.

Semua : Ya, Ibu. (kecewa)

Eko : Kenapa ibu selalu memberi PR setiap harinya? (Tanya tidak semangat)

Lola : Eko belajar itu penting buat kalian semua. Agar kalian semua bisa menjadi orang yang sukses.

Eko : Kenapa harus belajar menjadi orang sukses?

Lola : Karna dengan belajar kalian semua akan tahu akan dunia sekitar. Belajar akan menambah wawasan kalian.

Semua : oh.. seperti itu ya Bu.

Lola : Nah, sekarang ibu mau nanya sama kalian. Apa cita-cita kalian semua? Semua murid diam dan saling tatap satu sama lain. Lola bingung melihat anak didiknya.

Lola : kenapa kalian semua diam?

Angel : Bu, cita-cita itu apa?

Lola terkejut, setelah salah satu muridnya bertanya. Pantas mereka semua tidak terlalu semangat belajarnya selama ini karna mereka belum memiliki cita-cita dan tidak tahu apa itu cita-cita.

Lola : apa kalian tidak tahu apa itu cita-cita?

Semua : (semua geleng kepala)

Lola : Baiklah, ibu akan jelaskan. Cita-cita adalah hal yang paling kita inginkan dalam hidup kita dan untuk mendapatkan cita-cita itu kita harus                   belajar. Contohnya, ibu bercita-cita jadi seorang guru.

Eko : Apa ibu sudah mendapatkan cita-cita ibu?

Lola : Sudah Eko, saat ini ibu sudah menjadi seorang guru dan walikelas untuk kalian semua.

Angel : Apa cita-cita itu hanya gurunya Bu?

Lola : Tentu saja, tidak Angel. Cita-cita itu banyak. Guru hanya salah satu contohnya. Kalian semua bisa bercita-cita menjadi dokter, polisi, tentara,         pilot, presiden, penyanyi dan lain-lain.

Angel : Oh, itu namanya cita-cita Bu. Kalau begitu, Angel ingin jadi seorang guru. Angel ingin seperti ibu Lola.

Semua : (berlomba menyebut cita-citanya)

Lola : Tenang, anak-anak ibu percaya kalian semua punya cita-cita. Untuk itu, PR kalian semua adalah menulis di selembar kertas cita-cita kalian dan     berikan alasan kalian. Apa kalian semua mengerti?

Semua : Mengerti, Bu Guru.

Lola senang idenya untuk membuat anak didiknya semangat belajar sedikit lagi akan berhasil. Lola berharap perannya sebagai walikelas  berhasil dan tidak mengecewakan kepala sekolah yang telah memberi ke percayaan ini.

***

Ke esokkan harinya.

Lola : Apa semuanya sudah terkumpul Eko? (menerima kertas PR)

Eko : sudah, Bu. Tapi, ada satu murid yang meminta kertasnya di letakkan di paling bawah. (jawab Eko menunjukkan salah satu murid)

Lola : Ya, sudah. Kamu bisa duduk sekarang.

Eko kembali duduk. Lola kembali menjelaskan pelajarannya. Sembari memperhatikan salah satu muridnya yang bernama Eka. Bel sekolah bunyi pertanda istirahat. 

Semua murid berhaburan keluar kelas tidak sabar untuk jajan ke kantin. Lola memperhatikan muridnya Eka yang masih sibuk dengan isi tasnya. Lola menganggapnya biasa saja dan kembali ke kantor guru untuk memeriksa semua tugas-tugas anak didiknya.

Di kantor guru

Lola duduk di depan mejanya dan sibuk memeriksa semua lembar PR anak didiknya. Mejanya penuh dengan kertas yang  berserakkan.

Yenni : Sepertinya, Bu Lola sibuk sekali.

Lola : Tidak, juga Bu. Hanya memeriksa sedikit pekerjaan rumah anak didik saya.

Yenni : Tapi, kelihatannya ibu sangat sibuk. Apa banyak jawaban anak didik ibu yang salah.

Lola : Tidak, Bu. Hanya saja, semuanya sama tidak ada berbeda.

Yenni : Maksudnya apa Bu Lola?

Lola ; ( menjelaskan semuanya kepada Yenni)

Yenni : oh, anak-anak memang seperti itu. Tidak perlu kecewa, jika ibu percaya bisa membuat mereka belajar maka itu akan terwujud Bu. Sebaiknya,     kita makan siang Bu Lola, nanti itu bisa di lanjutkan.

Lola : Bu Yenni duluan saja. Saya akan nyusul (kembali memeriksa)

Pada kertas terakhir Lola begitu heran dengan kertas yang di pegangnya. Pada kertas tersebut ada gambar seseorang yang profesi sebagai pedagang dan ada gambar anak kecil yang bertuliskan "Aku ingin seperti Mamaku". 

Lola membaca kertas tersebut, Lola meneteskan air matanya setelah membacanya. Lola memberi nilai 100 pada kertas itu. Pemiliki dari kertas itu adalah Eka.

***

Lola memasukki kelasnya setelah bel berbunyi. Semua murid, duduk diam seperti biasa. Mendengarkan ibu gurunya mengajar.

Lola : Anak-anak, ibu sudah memeriksa semua kertas PR kalian. Semua cita-cita kalian bagus dan ibu bangga akan itu. Tapi, ada satu dari kalian yang       mampu membuat ibu menetaskan air mata.

Angel : Kenapa ibu meneteskan air mata?

Lola : ibu menetaskan air mata karna ada seorang anak memiliki cita-cita yang tulus dari hatinya dan bekerja keras untuk cita-citanya itu.

Eko : siapa anak itu? Apa itu saya.

Semua : hooooo (mengejeknya)

Lola : Bukan, kamu Eko. Tapi, Eka.

Semua mata tertujuh, kepada Eka.

Lola : Eka silahkan maju dan bisakah kamu menceritakan cita-cita ini.

Eka maju dan Eka begitu terkejut setelah melihat nilai dari kertas PRnya.

Eka : 100, Bu.

Lola : Ya, kamu pantas mendapatkannya. Sekarang ceritakan tentang cita-citamu.

Eka : Apa ibu yakin?

Lola : Tentu, ceritakanlah. Agar mereka mengerti.

Eka : Baiklah, Bu guru. Cita-cita saya adalah ingin menjadi seperti Mama saya ( semua murid terkejut. Namun, kembali diam setelah Lola menyuruh mereka diam dan mendengarkan Eka bercerita kembali) Mama saya adalah seorang pedagang kecil di pinggir jalan. Mama saya selalu berjualan untuk memenuhi kebutuhan kami sekeluarga. 

Mama saya tidak pernah mengeluh jika jualannya tidak laku. Mama saya malah sering menyumbangkan jualan kami tidak laku kepada orang kurang mampu. Jika pun laku sekali, Mama saya selalu menyisihkan jualannya untuk orang lain. Mama saya selalu mengajarkan ku untuk berbuat baik dan membantu sesama. 

Meski kami hidup dalam kesusahan bukan berarti kita menjadi orang yang malas dalam segala hal. Untuk itu, saya ingin menjadi seperi Mama saya yang selalu membantu orang lain dengan masakannya. Berkat masakan Mamaku banyak dari mereka tidak mampu dapat tertolong.

Angel : Apa yang perlu di banggakan menjadi pedagang kecil Bu?

Lola : Angel, dan semuanya. Yang perlu kita banggakan bukan jenis pekerjaan kita. Tapi, apa yang telah kamu beri untuk orang lain. Rata-rata kalian semua memiliki cita-cita karna tertarik bukan dari niat hati kalian. Eka memiliki cita-cita yang ingin membuat semua tersenyum. Dan untuk itu kamu pantas mendapat nilai seratus. Untuk menjadi seperti Mamamu kamu harus rajin belajar. Lebih tepatnya menjadi seorang Koki.

Eka : Kenapa jadi koki Bu, Mama saya kan seorang pedagang makanan kecil Bu.

Lola : Iya, Eka. Sebutan untuk pedagang seperti Mamamu adalah Koki. Untuk menjadi seperti Mamamu kamu harus belajar masak memasak dan             membuat semua orang senang akan masakanmu. Seperti yang Mamamu lakukan. Membantu sesama.

Eka : Baik, Bu saya akan belajar keras (kembali duduk)

Lola : Anak-anak, Eka adalah salah satu contoh anak yang ingin mengwujudkan cita-citanya. Untuk mengwujudkan cita-cita kalian semua harus rajin     belajar dan terpenting cita-cita kalian itu bisa membuat orang di sekitarmu bangga akan kinerjamu. Apakah kalian mengerti anak-anak?

Semua : Mengerti, Bu guru.

Sejak kejadian itu,  satu hal yang Lola dapat. Mengajar suatu ilmu itu bukan tergantung dari kelas dan muridnya. Mengajar itu terjadi karna kamu punya niat untuk membuat mereka sukses. Dan kamu akan melakukan berbagai hal untuk itu.

Tamat 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun