Cita-cita di Tengah Realita
Anak-anak di sekolah dasar
bercita-cita jadi presiden,
menyentuh langit dengan tangan mungilnya.
Mereka percaya dunia ini tak punya batas,
seperti permainan petak umpet yang tak pernah usai.
Tapi seiring usia bertambah,
mimpi itu menyusut,
tertinggal di sela-sela halaman buku pelajaran.
Realita menjelma cermin yang retak,
memantulkan bayangan yang tak sempurna.
Di meja makan,
ayah bicara tentang pekerjaan,
tentang gaji yang tak cukup beli mimpi.
Di ruang tamu, ibu mengeluh soal biaya sekolah,
menyisipkan kekhawatiran di sela-sela tawa.
Anak-anak tumbuh jadi remaja,
bingung memilih jalan,
seperti meniti titian rapuh di atas jurang.
Mereka belajar bahwa dunia ini bukan hanya soal cita-cita,
tapi juga soal bertahan di tengah badai.
Dan di luar sana,
langit tetap biru,
tapi tak lagi mengundang untuk disentuh.
Pola pikir beradaptasi,
mengikuti alur yang tak selalu mulus.
Kita berjalan,
menggenggam mimpi yang berubah bentuk,
belajar dari setiap goresan luka.
Realita bukan untuk dilawan,
tapi untuk dipeluk,
dengan hati yang terus terbuka,
dan pikiran yang tak pernah lelah mencari.