Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Rajani

2 Maret 2018   20:05 Diperbarui: 5 Maret 2018   17:49 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay)

Ketika mendengar tangisan pertama yang sungguh asing di telinganya, perempuan itu langsung membenci bayinya. Tangisnya bukan hanya memecah malam yang sunyi, tapi juga melukiskan jalan berbatu nan gelap bagi si perempuan. Pada detik itu, perempuan berusia 21 tahun itu memberi nama Rajani kepada bayi yang baru saja keluar dari rahimnya, yang berarti gelap atau malam.

Jam-jam berikutnya setelah Rajani dipindah ke ruang khusus bayi, dilalui sendiri saja oleh si perempuan. Ayah Rajani sudah menghilang sejak pertama kali ia tahu perempuannya mengandung. Orang tua perempuan itu juga sudah mengusirnya jauh-jauh. Anggap saja malam itu hujan, karena ruang kamar rumah sakit ini banjir air mata kebencian.

Subuh, jiwa perempuan itu terbang entah ke mana. Satu-satunya yang mereka temukan di ruangan adalah jasad cantik yang diduga memotong nadinya dengan gunting yang ia pinjam dari suster "untuk membuat kerajinan dari kertas karena bosan".

***

Sesekali Rajani memainkan rambut lurusnya. Selebihnya, ia fokus membaca. Ketika di sekolah dasar, rambut lurusnya jadi topik utama cacian teman-teman karena berbeda dengan rambut perempuan yang ia panggil "ibu" selama ini.

"Rajani, siapa itu yang menjemputmu?"

"Ibu."

"Ibu atau pembantu? Kok rambutnya berbeda?"

Rajani tidak pernah bertanya kepada Ibu mengapa rambutnya lurus sedangkan rambut Ibu bergelombang. Ibu selalu mengajarkan Rajani untuk tidak menilai seseorang dari fisik, melainkan dari perbuatan. Karena Ibu selalu berbuat baik dengan mengabdikan dirinya sebagai suster di rumah sakit, Rajani merasa tak pantas mempertanyakan perbedaan fisik kepadanya.

Kini, teman-teman sekolah menengah atas tidak pernah mencaci rambut Rajani. Mereka bahkan sangat jarang berbicara padanya. Meski begitu, Rajani tahu teman-teman yang sekarang justru lebih membencinya daripada teman-teman di sekolah dasar. Kini, mereka hanya lebih suka  berbisik di punggung Rajani.

Lama kelamaan, Rajani terbiasa mendengar bisikan. Bisikan-bisikan yang mulanya nyaris tak terdengar kini seolah-olah dibisikkan langsung di telinganya. Biar terdengar jelas, Rajani tidak lagi terkejut, karena beberapa saat sebelum memulai hari pertamanya di sekolah menengah atas, perempuan yang ia panggil Ibu mengakui bahwa Rajani ditinggal mati oleh ibu kandungnya saat lahir.

Rajani terusik ketika tiba-tiba buku di genggamannya direbut. Ia menengadah dan menemukan bukunya ada di genggaman seorang laki-laki asing. Lelaki itu bukan saja tidak pernah dilihatnya berada di perpustakaan sebelumnya, namun juga di seluruh bagian sekolah.

"Kembalikan."

Laki-laki itu seperti tak mendengarnya, "begini, Rajani. Saya memiliki sebuah penawaran. Barangkali kamu tertarik."

"Apa?" 

"Perjalanan ke masa lalu."

Sebelum Rajani sempat menjawab, laki-laki itu melanjutkan ucapannya, "Adakah suatu kisah dari masa lalu yang ingin kamu ubah?"

"Saya ingin bertemu perempuan yang mencampakkan saya ketika saya lahir," ujarnya spontan.

Laki-laki itu mengulurkan tangannya. Tanpa berpikir Panjang, Rajani membalas uluran itu. Seketika ia berada di kursi panjang taman kota. Taman kota tampak begitu berbeda. Di sebelahnya duduk seorang perempuan yang memiliki matanya. Selain perempuan itu, tak ada manusia lain di sana. Rajani langsung tahu siapa dia. Ini pasti dia, perempuan yang mencampakannya. Berkali-kali perempuan itu menguap. Ia menggunakan sedikit riasan wajah, namun ia lupa menyamarkan kantong matanya yang terlalu hitam. Rambutnya lurus dan panjang sepinggang.

"Hai. Sedang apa?"tanya Rajani segera.

Perempuan di sebelahnya tampak sedikit terkejut, "menunggu seseorang, untuk kencan pertama kali. Kamu sendiri?"

"Hanya mencari angin. Seperti apa rupanya?"

"Rambutnya sebahu, lurus dan hitam. Matanya cukup besar dan ia tak gemuk, juga agak tinggi. Seringkali memakai kemeja."

"Sudah berapa lama kamu menunggu?"

"Satu jam. Dia begitu terlambat."

"Apakah dia pasti datang."

"Entah. Saya mengantuk."

"Tidurlah sejenak. Sudah terlalu lama kamu menunggu. Biar saya yang membantumu menunggunya. Jika ia muncul, saya tepuk pundakmu segera agar bangun."

Perempuan itu langsung setuju. Saat itu pula Rajani yakin perempuan itu baru saja melakukan pekerjaan berat semalaman hingga tidak tidur, mungkin ia sibuk mengerjakan tugas kuliah atau pekerjaan. Ia pasti sangat mengantuk, batin Rajani. Bagaimana tidak? Ia langsung setuju pada tawaran orang asing. Apakah ia sudah bekerja?Ia terlihat begitu muda di mata Rajani. Perempuan itu akhirnya tertidur pulas, kepalanya disandarkan ke pinggir kursi panjang, rambutnya kini menutupi seluruh wajahnya hingga ia tak dapat dikenali lagi.

Setengah jam berselang, Rajani melihat laki-laki itu di hadapannya, agak jauh. Rajani bermaksud menepuk pundak perempuan di sebelahnya, namun rupanya air mata Rajani meleleh lebih dulu. Rajani tidak jadi menepuk perempuan itu. Laki-laki itu ia biarkan berlalu.

Rajani lupa sudah berapa lama ia membiarkan air matanya meleleh. Tiba-tiba ia merasa pundaknya ditepuk. Rupanya perempuan tadi sudah bangun.

"Dia tidak datang," ujar Rajani datar.

"Mengapa kamu menangis?"

"Jangan pernah hubungi dia lagi."

"Apa? Sungguhkah dia tidak datang?" perempuan itu tampak kebingungan.

Rajani mengelap air matanya, "ya". Rajani tahu berbohong itu tidak baik, namun beberapa detik yang lalu ia menaruh simpati yang begitu besar pada perempuan di hadapannya. Kata "ibu" sudah tertahan di bibirnya. Rajani tidak ingin perempuan yang melahirkannya mati kelak karena menderita menanggung beban sendiri, akibat ditinggalkan laki-laki itu.

"Menurutmu saya harus bagaimana?" tanya perempuan itu. Wajahnya yang tampak lelah kini dipadu semburat kesedihan. Rajani tahu, perempuan di hadapannya ini meminta saran sebagai sesama perempuan.

"Jangan pernah hubungi dia lagi. Kamu pantas mendapatkan laki-laki yang menemui tepat waktu pada kencan pertama, kalau perlu yang datang jauh lebih awal sebelum kamu datang."

Perempuan itu terdiam sejenak sebelum berkata, "ya... ya, kamu benar, tentu saja. Terima kasih."

Lantas perempuan itu berdiri dan berusaha tersenyum. Tak lama setelahnya, ia menguap lagi. Rajani ikut berdiri.

"Mau ke mana?" tanya perempuan itu.

"Pulang."

"Ke mana?"

Sebelum sempat menjawab, Rajani lebih dulu terkejut karena tubuhnya hilang perlahan. Beberapa detik sebelum ia benar-benar menghilang, ia melihat laki-laki yang tadi menyambar bukunya di perpustakaan berdiri di kejauhan, juga menghilang perlahan.

Samar-samar Rajani melihat gerakan bibir si laki-laki yang kini menatap mata Rajani, "Selamat tinggal, Ibu."

Perempuan berambut lurus yang tadi bercakap dengan Rajani kini berdiri sendiri. Menarik, baru sekarang saya melihat arwah di siang hari. Ayah rupanya keliru berkata arwah hanya dapat dilihat saat mentari telah terlelap, batinnya.

2 Maret 2018, Livia Halim

-

Fiksi-Fiksi lainnya:

Membuat Manusia

Bagaimana Mungkin Mengenali Luka di Hamparan Langit Biru?

Rasanya Seperti Berenang Dalam Botol Madu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun