Di sebuah pelabuhan penyeberangan kapal di Bengkalis, Riau, sebuah percakapan singkat dengan seorang ibu penjual kerupuk mengungkapkan potret kecil dari cara rakyat menyikapi politik. Dengan senyum setengah mengiba, ia melontarkan kalimat yang sarat makna: “Kasian ye Pak Prabowo, nak, kalau kalah lagi.” Sebuah ekspresi yang sederhana, namun mengandung ironi dan empati yang dalam.
Ironi Kepunan Politik
Dalam budaya Melayu, istilah "kepunan" merujuk pada nasib seseorang yang berulang kali gagal meraih sesuatu yang sangat diinginkan. Dalam konteks politik, ibu penjual kerupuk itu melihat Prabowo Subianto sebagai sosok yang seolah “kepunan” dalam perjuangannya menuju kursi kepresidenan. Setelah beberapa kali gagal dalam kontestasi pemilu, kini ia akhirnya meraih kemenangan. Namun, bagi sebagian rakyat, citra perjuangannya yang panjang tetap membekas.
Ironi terletak pada bagaimana empati rakyat kecil terbangun terhadap seorang figur politik yang secara materi dan kuasa berada jauh di atas mereka. Ibu itu tidak berbicara soal strategi politik, elektabilitas, atau koalisi, melainkan menyoroti sisi manusiawi seorang kandidat yang tampak selalu gagal meraih puncak kekuasaan.
Empati Politik Rakyat Kecil
Dalam politik Indonesia, emosi sering kali memainkan peran lebih besar daripada sekadar kalkulasi rasional. Figur pemimpin tidak hanya diukur dari kebijakan atau pencapaian, tetapi juga dari bagaimana mereka dianggap sebagai sosok yang mengalami pasang surut kehidupan politik. Prabowo, dalam perjalanan politiknya, membangun citra seorang pejuang yang tak kenal menyerah, yang pada akhirnya membangkitkan rasa iba di kalangan rakyat kecil.
Empati ini tidak selalu berakar pada dukungan politik langsung, tetapi lebih kepada bagaimana rakyat melihat perjuangan seseorang. Bagi ibu penjual kerupuk, kemenangan atau kekalahan Prabowo bukan sekadar angka di kotak suara, tetapi lebih kepada nasib seorang manusia yang terus berusaha. Ini menunjukkan bagaimana rakyat kecil sering melihat politik dengan pendekatan emosional yang lebih dalam daripada sekadar hitung-hitungan elektoral.
Analisis Politik: Dari Iba ke Legitimitas
Sentimen seperti ini bisa menjadi salah satu modal politik yang tak terduga. Dalam demokrasi elektoral, simpati publik bisa berubah menjadi dukungan nyata. Politik tidak hanya berkutat pada program dan visi, tetapi juga pada narasi personal seorang kandidat. Kisah panjang Prabowo dalam politik Indonesia, dari kegagalan berturut-turut hingga akhirnya menjadi presiden, telah membentuk citra seorang pemimpin yang tak kenal menyerah.
Namun, di sisi lain, ada pertanyaan besar yang harus dijawab: apakah rasa iba bisa diterjemahkan menjadi legitimasi politik yang kuat? Di tengah ekspektasi tinggi rakyat terhadap pemimpin baru, keberhasilan Prabowo dalam menjalankan pemerintahannya akan menjadi ujian utama. Empati rakyat bisa bertransformasi menjadi harapan, tetapi juga bisa berubah menjadi kekecewaan jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang nyata.
Kesimpulan