Mohon tunggu...
Siti Anwaroh
Siti Anwaroh Mohon Tunggu... Mahasiswi | Menyukai literasi dan sastra

Iqro' (Bacalah) Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW berhasil memotivasi dan menjadikan saya menyukai dunia literasi, dari membaca tak jatuh jauh dari menulis yang kemudian hobi ini membawa saya bergabung di Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menilik Ulang Esensi Pendidikan di Balik Perayaan Wisuda

2 Mei 2025   21:34 Diperbarui: 2 Mei 2025   21:34 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wisuda sekolah. Sumber: pexels

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang kita peringati pada tanggal 2 Mei tak pernah luput dari peran Ki Hajar Dewantara sebagai pendiri Perguruan Taman Siswa---sebuah lembaga pendidikan yang menjadi bentuk pertentangan pendidikan berbasis elitis ala kolonial Belanda. Di Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara mengedepankan nilai kesetaraan, nasionalisme, dan kebebasan dalam berpikir.

Namun, di tengah peringatan Hardiknas tahun ini, ruang publik justru ramai memperbincangkan fenomena seremonial wisuda sekolah. Hal ini memantik pertanyaan: apakah perayaan seremonial tersebut masih sejalan dengan nilai pendidikan yang Ki Hajar Dewantara perjuangkan yakni tentang nilai kesetaraan, nasionalisme dan kebebasan berpikir bagi putra-putri bangsa?

Menyoal pada esensi pendidikan sebagai pembentukan karakter, Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, dan jasmani anak agar selaras dengan alam dan masyarakatnya. 

Sedangkan wisuda sekolah dengan esensi emosional bisa dikatakan bahwa sekolah bukan sekedar tempat belajar, tapi ruang tumbuh bersama---dan perpisahan adalah bagian dari proses itu.

Dalam konteks nilai kesetaraan, perayaan wisuda yang bersifat seremonial membutuhkan biaya yang besar dari sewa dekorasi, dokumentasi maupun konsumsi yang tidak dapat dikatakan memerlukan biaya yang sedikit, sedangkan tidak semua siswa mampu untuk nanggung biaya tersebut. Akibatnya, muncul jurang keterlibatan antara siswa yang mampu dan yang tidak, yang justru bertentangan dengan nilai kesetaraan yang digaungkan Ki Hajar Dewantara.

Dari sisi nasionalisme, dalam pendidikan diajarkan untuk memupuk semangat cinta tanah air dan kesatuan bangsa sedangkan dalam momentum wisuda hal tersebut tidak ada kaitannya sama sekali, justru lebih menekan pada kepuasan sementara dan konsumsi simbolik saja.

Lalu dalam dimensi kebesaran berpikir, pendidikan semestinya memberi ruang bagi siswa untuk merefleksi dan menilai sendiri makna dari proses belajar yang mereka jalani. Wisuda bisa menjadi momen kontemplatif---jika diolah sebagai ruang refleksi bersama. Namun jika ia hanya dimaknai sebagai puncak seremonial tanpa perenungan mendalam, maka makna pendidikan pun menyusut pada bentuk, bukan isi.

Dengan mempertimbangkan nilai-nilai dasar pendidikan yang diperjuangkan Ki Hajar Dewantara---kesetaraan, nasionalisme, dan kebebasan berpikir---perayaan wisuda sekolah semestinya tidak sekadar menjadi ajang seremonial yang mahal dan simbolik. Jika tidak dimaknai secara reflektif, wisuda justru berisiko menjauh dari esensi pendidikan itu sendiri. Maka, yang lebih penting dari sekadar selebrasi adalah memastikan bahwa setiap anak merasakan pendidikan sebagai ruang tumbuh yang adil, bermakna, dan membebaskan.

Penulis: Siti Anwaroh

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun