Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toleransi dan Sikap Manusia yang Berperadaban

21 Maret 2019   17:13 Diperbarui: 21 Maret 2019   19:43 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sempat sedikit terkesima, terharu sekaligus tergugah  - setelah membaca rubrik Pendidikan dan Kebudayaan di Harian Kompas berjudul: Saatnya Kembali ke Pancasila (18 Maret 2019, berita utama di halaman 9).

Didalam benak penulis tentu bertanya. Ada apa ini? Sudahkah kita kehilangan atau mulai cenderung melupakan dasar dari segala pijakan manusia hidup di negeri ini?

Dan setelah runut membaca berita tersebut, ternyata banyak hal sekaligus makna yang dapat dipetik. Fenomena kekerasan bahkan teror dan pembiadaban antara manusia dengan manusia lainnya masih ditemui dan masih selalu terjadi dibanyak tempat, baik didalam maupun diluar negeri.

Paling tampak dan sangat menggemparkan serta menyentuh nurani kita yaitu kasus penembakan membabi buta di Selandia Baru terhadap para jamaah yang sedang beribadah (Shalat Jumat, 15/3) menewaskan 49 orang dan melukai 48 orang. Sebelumnya, kasus-kasus penembakan "ngawur" juga terjadi dibeberapa mancanegara. Salah satu pemicunya secara fisik mungkin saja kepemilikan senjata disana dibolehkan, dan manusia sebagai pemilik atau yang menggunakannya terlepas dari kontrol.

Untungnya, di negeri kita kepemilikan sejata api sangat ketat dan tidak sebebas di sana. Jika hal demikian diberlakukan sama -- bukan tidak mungkin jumlah nyawa manusia juga akan banyak hilang sebagai akibatnya.  Ini cukup logis, dengan menyontohkan bahwa kepemilikan senjata tajam saja sudah banyak memakan korban, apalagi sejata api?

Terlepas dari apa yang melatar belakangi setiap tindakan manusia biadab tersebut, maka pihak berwajib dimanapun perlu terus untuk mengusutnya secara menyeluruh dan tuntas.

Walaupun di negeri ini kepemilikan sejata api sangat ketat dan tidak sebebas disana. Bukan berarti menjamin disegala penjuru tanah air aman. Ancaman disana-sini nampaknya masih perlu diwaspadai, mengingat percepatan perkembangan globalisasi dan teknologi informasi dengan segala dampak ikutannya telah mempermudah pihak tertentu beserta jaringannya untuk bertindak anarkhis.

"Bom rakitan"  yang dikenal sebagai sejata "bom bunuh diri" sesungguhnya temasuk senjata mematikan yang bisa dilakukan untuk menewaskan kerumunan orang.  Mulai kasus "Bom Bali" dan seterusnya  masih saja gejala demikian berlangsung yang dilakukan oleh kelompok radikal didalam negeri terhadap sasaran yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Bukankah ini merupakan "ancaman tersembunyi" yang setiap saat kemungkinan bisa terjadi?

Seperti halnya peristiwa yang selama belakangan terjadi seolah beruntun berkait tragedi kemanusiaan, banyaknya korban tewas  bukanlah hanya dikarenakan tersedia dan mudahnya  sarana fisik yang bisa dimiliki/diperoleh manusia di muka bumi. Lebih dari itu, penulis memandang sangat tergantung pada sikap atau perilaku para pengguna/pemanfaatannya.

Perkembangan jaman ditandai percepatan ilmu pengetahuan dam teknologi yang telah diciptakan sesungguhnya untuk menunjang kesejahteraan demi kehidupan bersama, berkolaborasi sehingga taraf kehidupan sesama manusia menjadi lebih baik, aman dan nyaman dibanding waktu sebelumnya.

Di sinilah sikap, perilaku, mental, jiwa, cara pandang, pemikiran ataupun apa sebutannya menjadi penting untuk diungkap, menjadikan bahan refleksi untuk menuju penyadaran diri. Adapun hal yang bersangkut paut dengan hal tersebut  diantaranya perlunya pendidikan moral yang kuat dan mengakar.

Barangkali formula yang disajikan dalam judul berita Harian Kompas diatas yang isinya disarikan dari para narasumber berkompeten menjadi relevan sebagai kerangka acuan agar fenomena kekerasan, teror dan pembiadaban terhadap sesama manusia tidak merajalela.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial) dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika-nya tentu sangat sesuai sebagai bekal moral sekaligus untuk mengantisipasi sikap, perilaku anti toleransi antar umat manusia, antar kelompok manusia yang berlainan suku, agama, ras dan antar golongan selalu terjadi dan berujung pada kekerasan bahkan ancaman berupa kekerasan/pembunuhan karena adanya pemaksaan kehendak.

Alangkah eloknya kehidupan jika diwarnai sikap dan jiwa atau perilaku manusia dapat menghayati dan menerapkan nilai-nilai yang tercakup dalam Pancasila. Selanjutnya akan tercipta kondisi yang selaras, serasi, seimbang, saling toleransi dan bergotong-royong merupakan suatu sikap manusia yang berperadaban menyongsong masa depan.

Dan jika digagas lebih jauh, rupanya formula Pancasila bisa juga diadopsi oleh semua umat manusia dimuka bumi. Bahwa betapa pentingnya menyikapi perbedaan tanpa harus mengundang kebencian yang seringkali mendorong permusuhan disana-sini.

Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama pernah mengakui betapa pentingnya toleransi. Bahkan pidatonya ketika menjadi juru bicara dalam Kongres Diaspora di Jakarta (01/07/2017)  mengakui betapa "Semangat negara ini adalah toleransi. Semangat itu adalah salah satu pembeda Indonesia, karakter penting yang harus dicontoh semua negara, 'Bhinneka Tunggal Ika'", ujar Obama. Baca disini: kompas.com.

Nah, kalau Obama saja yang notabene warga luar negeri mengakui pentingnya toleransi, akankah kita yang jelas ber-Warga Negara Indonesia cenderung kurang menerapkannya  dalam praktek kehidupan sehari-hari?

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun