Damai yang Jadi Tuntutan Baru
"Udah healing belum?"
Pertanyaan ini awalnya terdengar ringan, bahkan suportif. Tapi di media sosial, kalimat itu berubah jadi standar baru. Kalau belum pernah solo trip, belum staycation, belum journaling, belum meditasi --- seolah belum layak disebut sedang "merawat diri". Ironisnya, banyak anak muda hari ini merasa makin lelah justru karena terus berusaha terlihat sembuh.
Healing, yang semestinya jadi proses personal dan sunyi, kini berubah jadi tontonan, kompetisi diam-diam di linimasa. Ketika tenang berubah jadi estetika, dan istirahat berubah jadi performa, maka self-care pun kehilangan maknanya.
Ironi Self-Care yang Melelahkan
Awalnya, istilah self-care hadir sebagai respons atas tekanan hidup yang kian berat. Namun kini, self-care yang seharusnya membebaskan, justru jadi target baru.
Alih-alih menyembuhkan, banyak Gen Z yang merasa bersalah jika tidak healing. "Kok aku masih anxious padahal udah journaling?" atau "Temanku bisa tenang setelah liburan, kenapa aku enggak?"
Self-care akhirnya jadi to-do list baru: harus pakai skincare, harus meditasi tiap pagi, harus me time produktif. Padahal, pemulihan mental tidak punya cetak biru yang seragam.
Ketika Budaya Produktif Menyusup ke Ruang Istirahat
Budaya hustle menyelinap ke ranah paling pribadi. Bahkan healing pun kini harus terukur, estetik, dan layak tayang. Journaling bukan sekadar menuangkan rasa, tapi harus rapi dan penuh dekorasi. Meditasi harus di-post. Ngopi sendiri harus difoto.
Di balik semua itu, banyak anak muda mulai bertanya: "Apakah aku benar-benar healing, atau cuma terlihat healing di mata orang lain?"
Istirahat kini harus berfaedah. Me time pun jadi ajang pembuktian bahwa seseorang "sedang berkembang".