Mohon tunggu...
Lisa Selvia M.
Lisa Selvia M. Mohon Tunggu... Freelancer - Literasi antara diriku, dirimu, dirinya

Anti makanan tidak enak | Suka ke tempat unik yang dekat-dekat | Emosi kalau nemu hoaks

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Sarinah, Bung Karno, Megawati dan Jokowi

8 Januari 2019   07:48 Diperbarui: 8 Januari 2019   09:33 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Karno dan Sarinah (Foto: Istimewa)

Lalu saya mencoba memberi penjelasan kepada mereka bahwa kalau seperti ini Pakdhe bisa babak belur untuk bergerak karena partai pendukung adalah mesin penggerak kebijakan-kebijakan yang akan dilakukannya. Dan cara bisa memastikan sejalan dengan visi dan misi yang akan dicanangkan harus didukung oleh banyaknya kursi untuk PDI-P.

Ada yang mendengar saran saya, ada yang tetap kekeuh dengan pendirian mereka. Hasil pemilu keluar dan terbaca PDI-P kurang mendapat dukungan dari rakyat. Sedih saya mendengarnya, berharap semoga koalisi yang akan dilakukan bisa tetap mendukung program-program yang akan dilaksanakan.

Hati Pemaaf Megawati

Untung pada pemerintahan sebelumnya, pada saat Partai PDI-P menguasai kursi parlemen. Megawati tetap merangkul orang-orang yang bertentangan dengannya pada saat membentuk kabinet. Menurut cerita Hasto, walau ada protes dari dalam, tapi Megawati menutup dendam masa lalu dengan rekonsiliasi.

Buktinya, Soesilo Bambang Yudhoyono dimasukkan ke dalam kabinet. Jika menurut sejarah, mertua SBY yang bernama Sarwo Edhie adalah musuh Bung Karno. Megawati berkata kepada SBY, "Orang tua kita berbeda. Tetapi saya tidak ingin bangsa ini terus menerus mendendam masa lalu, mari kita melihat masa depan."

Betapa pemaafnya Megawati yang saya rasakan pada saat mendengar cerita ini. Karena Sarwo Edhie adalah lawan politik Bung Karno, bahkan sempat memimpin pengepungan tanpa identitas ke Istana Presiden. Yang menyebabkan Bung Karno mentransfer kekuasaan eksekutifnya kepada Soeharto yang sekarang kita ketahui sebagai peristiwa Supersemar.

Mengapa Harus Jokowi?

Alasan saya memilih Pakdhe karena saya bisa melihat langsung kemajuan kota Jakarta yang begitu cepat. Menjadi kebanggaan untuk menjadi warga Jakarta saat itu. Banyak teman dan saudara yang iri dengan saya pada saat datang ke kota yang identik dengan kemacetan ini pada masa itu. Mereka takjub, saya sangat bangga dengan pamer jalan-jalan berkeliling kota Jakarta sambil menunjukkan kemajuan di sini.

Dari segi kebersihan, Om saya sampai tidak percaya, ternyata Jakarta bisa berubah dalam tempo yang singkat setelah puluhan tahun sampah-sampah berserakkan di mana-mana. Karena dia mempunyai kebiasaan berkunjung ke Jakarta minimal sekali setiap tahun.

Untuk tempat wisata, saya menjadi punya pilihan selain ke mal. Bahkan ada yang ingin berfoto di Simpang Susun Semanggi, proyek tanpa hutang yang sebenarnya. Belum bus wisata yang woro-wiri di Jakarta, sudah gratis, nyaman pula.

Pada saat itu ada pemandu lokal yang bercerita di dalam bus khusus disediakan oleh pihak Transja, mengenai tempat wisata yang akan kami kunjungi atau dilewati. Saya sempat mencoba 2 rute ; Kalijodo dan Makam Mbah Priok. Begitu banyak kemajuan yang dicapai, karena visi dan misi Jokowi dilanjukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau sering dipanggil Ahok beserta Djarot Saiful Hidayat. Sayangnya pasangan ini tidak terpilih karena isu SARA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun