Mohon tunggu...
Lisa Puspa Karmila
Lisa Puspa Karmila Mohon Tunggu... Universitas Indonesia

Bidan yang kadang menulis, kadang bercerita. Tidak selalu menulis, tapi percaya setiap tulisan bisa jadi ruang berbagi pengalaman dan ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sindrom 'Tak Enakan': Budaya Baik Hati yang Bikin Burnout

13 Oktober 2025   22:18 Diperbarui: 13 Oktober 2025   22:18 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang yang depresi karena tidak berani menolak (Sumber: Pexels.com)

Riset lain dari University of Nevada (Locke, 2019) juga menemukan bahwa orang yang sering mengutamakan kebutuhan orang lain secara berlebihan berisiko lebih besar mengalami burnout interpersonal --- yaitu kelelahan akibat hubungan sosial yang tidak seimbang.
Kita mungkin tampak bahagia membantu orang lain, tapi diam-diam merasa diabaikan. Kita mungkin tampak sabar, tapi dalam hati berharap ada satu orang saja yang peka dan berkata, "kamu nggak harus selalu kuat, kok."

Inilah kelelahan emosional yang muncul dari budaya baik hati, kindness burnout. Kita terlalu sibuk menjaga perasaan orang lain sampai lupa menjaga diri sendiri.

Antara empati dan kehilangan batas

Menjadi orang baik tentu penting. Tapi sering kali kita lupa, kebaikan tanpa batas bukanlah kebaikan, melainkan pengabaian terhadap diri sendiri.
Empati seharusnya dua arah: kepada orang lain dan kepada diri sendiri. Kalau hanya satu arah, itu bukan lagi empati, tapi pengorbanan yang melelahkan.

Masalahnya, di masyarakat kita, menolak masih dianggap tabu. Menjaga diri sering disalahartikan sebagai egois. Padahal, berkata "tidak" bukan berarti kita tidak peduli justru itu bentuk tanggung jawab agar kita bisa hadir secara utuh ketika benar-benar dibutuhkan.

Kalimat sederhana seperti, "maaf ya, aku nggak bisa sekarang," sering kali jauh lebih sehat daripada terus berkata "iya" dengan hati terpaksa. Sayangnya, kita jarang diajarkan cara berkata "tidak" dengan tenang. Kita tumbuh dengan konsep bahwa cinta, kebaikan, dan sopan santun selalu berarti menuruti permintaan orang lain.

Belajar berkata "tidak" dengan lembut

Melepaskan sindrom tak enakan bukan berarti jadi cuek atau kasar. Tapi belajar menyeimbangkan antara memberi dan menjaga diri.
Kita bisa berkata:

  • "Aku pengen bantu, tapi saat ini belum bisa."

  • "Terima kasih udah ngajak, tapi aku lagi butuh waktu sendiri."

  • "Aku senang kamu percaya sama aku, tapi aku nggak sanggup sekarang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun