Riset lain dari University of Nevada (Locke, 2019) juga menemukan bahwa orang yang sering mengutamakan kebutuhan orang lain secara berlebihan berisiko lebih besar mengalami burnout interpersonal --- yaitu kelelahan akibat hubungan sosial yang tidak seimbang.
Kita mungkin tampak bahagia membantu orang lain, tapi diam-diam merasa diabaikan. Kita mungkin tampak sabar, tapi dalam hati berharap ada satu orang saja yang peka dan berkata, "kamu nggak harus selalu kuat, kok."
Inilah kelelahan emosional yang muncul dari budaya baik hati, kindness burnout. Kita terlalu sibuk menjaga perasaan orang lain sampai lupa menjaga diri sendiri.
Antara empati dan kehilangan batas
Menjadi orang baik tentu penting. Tapi sering kali kita lupa, kebaikan tanpa batas bukanlah kebaikan, melainkan pengabaian terhadap diri sendiri.
Empati seharusnya dua arah: kepada orang lain dan kepada diri sendiri. Kalau hanya satu arah, itu bukan lagi empati, tapi pengorbanan yang melelahkan.
Masalahnya, di masyarakat kita, menolak masih dianggap tabu. Menjaga diri sering disalahartikan sebagai egois. Padahal, berkata "tidak" bukan berarti kita tidak peduli justru itu bentuk tanggung jawab agar kita bisa hadir secara utuh ketika benar-benar dibutuhkan.
Kalimat sederhana seperti, "maaf ya, aku nggak bisa sekarang," sering kali jauh lebih sehat daripada terus berkata "iya" dengan hati terpaksa. Sayangnya, kita jarang diajarkan cara berkata "tidak" dengan tenang. Kita tumbuh dengan konsep bahwa cinta, kebaikan, dan sopan santun selalu berarti menuruti permintaan orang lain.
Belajar berkata "tidak" dengan lembut
Melepaskan sindrom tak enakan bukan berarti jadi cuek atau kasar. Tapi belajar menyeimbangkan antara memberi dan menjaga diri.
Kita bisa berkata:
"Aku pengen bantu, tapi saat ini belum bisa."
"Terima kasih udah ngajak, tapi aku lagi butuh waktu sendiri."
"Aku senang kamu percaya sama aku, tapi aku nggak sanggup sekarang."