Mohon tunggu...
Lisa Puspa Karmila
Lisa Puspa Karmila Mohon Tunggu... Universitas Indonesia

Bidan yang kadang menulis, kadang bercerita. Tidak selalu menulis, tapi percaya setiap tulisan bisa jadi ruang berbagi pengalaman dan ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sindrom 'Tak Enakan': Budaya Baik Hati yang Bikin Burnout

13 Oktober 2025   22:18 Diperbarui: 13 Oktober 2025   22:18 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang yang depresi karena tidak berani menolak (Sumber: Pexels.com)

"Aku takut nolak, nanti dikira sombong."
"Aku iya-in aja deh, biar nggak ada drama."

Kalau kalimat ini terdengar familiar, selamat---mungkin kamu juga korban sindrom tak enakan.

Kita hidup di masyarakat yang sangat menghargai kesopanan, tenggang rasa, dan kebersamaan. Nilai-nilai itu indah, bahkan menjadi bagian dari identitas kita sebagai orang Indonesia. Namun di sisi lain, budaya ini tanpa sadar juga menciptakan tekanan sosial: kita diajarkan untuk mengutamakan kenyamanan orang lain, bahkan jika itu berarti mengorbankan diri sendiri.

Budaya "nggak enakan" yang diwariskan turun-temurun

Sejak kecil kita diajarkan, "jangan bikin orang lain kecewa", "jangan nolak rezeki", "nggak sopan nolak permintaan orang tua." Pesan moral itu membentuk generasi yang penuh empati tapi juga generasi yang sering memendam perasaan.
Kita takut membuat orang lain tidak nyaman, jadi kita rela menunda keinginan sendiri. Takut dibilang sombong, jadi kita terus mengiyakan hal-hal yang seharusnya bisa ditolak. Akhirnya, kita hidup di antara dua ketakutan: takut mengecewakan orang lain dan takut kehilangan diri sendiri.

Contohnya sederhana: teman minta tolong padahal kita lagi lelah, tapi tetap dijalankan. Diajakin nongkrong padahal ingin istirahat, tapi tetap datang karena takut dibilang "nggak asik." Di kantor, rekan kerja minta bantuan di luar tanggung jawab kita, dan dengan senyum terpaksa kita jawab, "boleh kok."
Begitulah, sedikit demi sedikit, energi kita terkuras bukan oleh pekerjaan, tapi oleh keharusan untuk selalu menyenangkan semua orang.

Kelelahan emosional yang tak terlihat

Menariknya, sindrom tak enakan ini sering tidak terlihat dari luar. Orang yang mengalaminya justru tampak paling ramah, paling bisa diandalkan, dan paling "baik." Tapi di balik keramahan itu, sering tersimpan rasa lelah yang dalam, lelah karena tidak punya ruang untuk jujur pada diri sendiri.

Dalam psikologi, perilaku ini dikenal sebagai people pleasing behavior.
Penelitian oleh Flett dan Hewitt (2016) menyebut bahwa people pleaser memiliki kecenderungan perfeksionisme sosial --- merasa harus selalu tampil menyenangkan agar diterima. Akibatnya, mereka cenderung menyembunyikan emosi negatif dan mengalami tingkat stres serta kelelahan emosional lebih tinggi dibanding orang lain.

Riset lain dari University of Nevada (Locke, 2019) juga menemukan bahwa orang yang sering mengutamakan kebutuhan orang lain secara berlebihan berisiko lebih besar mengalami burnout interpersonal --- yaitu kelelahan akibat hubungan sosial yang tidak seimbang.
Kita mungkin tampak bahagia membantu orang lain, tapi diam-diam merasa diabaikan. Kita mungkin tampak sabar, tapi dalam hati berharap ada satu orang saja yang peka dan berkata, "kamu nggak harus selalu kuat, kok."

Inilah kelelahan emosional yang muncul dari budaya baik hati, kindness burnout. Kita terlalu sibuk menjaga perasaan orang lain sampai lupa menjaga diri sendiri.

Antara empati dan kehilangan batas

Menjadi orang baik tentu penting. Tapi sering kali kita lupa, kebaikan tanpa batas bukanlah kebaikan, melainkan pengabaian terhadap diri sendiri.
Empati seharusnya dua arah: kepada orang lain dan kepada diri sendiri. Kalau hanya satu arah, itu bukan lagi empati, tapi pengorbanan yang melelahkan.

Masalahnya, di masyarakat kita, menolak masih dianggap tabu. Menjaga diri sering disalahartikan sebagai egois. Padahal, berkata "tidak" bukan berarti kita tidak peduli justru itu bentuk tanggung jawab agar kita bisa hadir secara utuh ketika benar-benar dibutuhkan.

Kalimat sederhana seperti, "maaf ya, aku nggak bisa sekarang," sering kali jauh lebih sehat daripada terus berkata "iya" dengan hati terpaksa. Sayangnya, kita jarang diajarkan cara berkata "tidak" dengan tenang. Kita tumbuh dengan konsep bahwa cinta, kebaikan, dan sopan santun selalu berarti menuruti permintaan orang lain.

Belajar berkata "tidak" dengan lembut

Melepaskan sindrom tak enakan bukan berarti jadi cuek atau kasar. Tapi belajar menyeimbangkan antara memberi dan menjaga diri.
Kita bisa berkata:

  • "Aku pengen bantu, tapi saat ini belum bisa."

  • "Terima kasih udah ngajak, tapi aku lagi butuh waktu sendiri."

  • "Aku senang kamu percaya sama aku, tapi aku nggak sanggup sekarang."

Kalimat-kalimat itu sederhana, tapi punya kekuatan besar yakni menegaskan bahwa kita juga punya batas, dan itu sah.

Mungkin awalnya terasa canggung, tapi semakin sering kita melatih kejujuran emosional, semakin ringan hidup terasa. Karena ternyata, dunia tidak runtuh hanya karena kita berkata tidak. Orang lain akan belajar menyesuaikan, dan kita belajar menghargai diri sendiri.

Menjadi baik tanpa kehilangan diri

Pada akhirnya, menjadi baik bukan berarti harus selalu tersedia. Menjadi baik juga bukan berarti mengorbankan kebahagiaan pribadi demi kenyamanan orang lain.
Kadang, kebaikan yang sejati justru lahir dari kejujuran ketika kita berani berkata jujur tentang batas, kelelahan, dan kebutuhan diri.

Tidak apa-apa kalau kamu mulai belajar memilih mana yang ingin kamu iyakan, dan mana yang harus kamu tolak.
Tidak apa-apa kalau kamu mulai menomorsatukan dirimu tanpa merasa bersalah.
Karena kebaikan yang sehat dimulai dari orang yang juga tahu cara beristirahat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun