Mohon tunggu...
Lisa Puspa Karmila
Lisa Puspa Karmila Mohon Tunggu... Universitas Indonesia

Bidan yang kadang menulis, kadang bercerita. Tidak selalu menulis, tapi percaya setiap tulisan bisa jadi ruang berbagi pengalaman dan ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jika Hutan Hilang, ke Mana Lagi Gajah Pulang?

24 September 2025   21:17 Diperbarui: 25 September 2025   08:41 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kumpulan gajah di alam liar (sumber: pexels.com)

Di sinilah konsep coexistence atau hidup berdampingan menjadi sangat penting. Karena sejujurnya, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan gajah. Mereka tidak sedang “menyerang”, melainkan hanya mencari makan dan air di rumah mereka yang kini semakin hilang.

Beberapa upaya mitigasi sudah mulai dijalankan di berbagai daerah. Misalnya di Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung, sejak 2017 pernah diadakan program Patroli Gajah Jinak. Gajah-gajah jinak dilatih untuk membantu menggiring kawanan gajah liar agar tidak masuk ke pemukiman warga. Selama hampir dua minggu (18 November – 4 Desember 2017), kawanan 12 individu gajah liar sama sekali tidak mendekati perkampungan. Warga pun bisa tidur nyenyak tanpa ada rasa waswas. Selain menekan konflik, program ini juga memberi lapangan kerja baru bagi para mahout (pawang gajah) lokal.

Upaya lain muncul lewat konsep Desa Ramah Gajah. Di beberapa desa sekitar habitat gajah, masyarakat diajak untuk menanam tanaman penolak gajah, membuat pagar alami, hingga menjaga jalur lintasan tradisional gajah. Pendekatan ini membantu manusia tetap aman bertani, sementara gajah tetap memiliki ruang hidup.

Kisah serupa datang dari Aceh. Sejak 2015, WWF Indonesia mendampingi empat desa di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pesangan yaitu Desa Karang Ampar dan Bergang (Aceh Tengah), Desa Arul Gading (Bener Meriah), serta Desa Pante Peusangan (Bireuen). Awalnya desa-desa ini sering mengalami konflik dengan gajah. Namun, pendampingan WWF mengubah arah masyarakat dilatih mitigasi, membentuk tim desa, hingga akhirnya mencoba ekowisata berbasis gajah. Dari konflik yang menegangkan, lahir peluang baru yang memberi harapan.

Kearifan Lokal yang Mulai Dilupakan

Menariknya, di beberapa budaya Nusantara, gajah dulu dianggap hewan mulia. Ada relief gajah di Candi Borobudur yang menggambarkan kebijaksanaan. Dalam cerita rakyat, gajah sering digambarkan sebagai penjaga hutan yang bijak dan setia. Sayangnya, seiring waktu, nilai budaya ini mulai memudar.

Padahal, kalau kearifan itu terus dihidupkan, mungkin kita akan lebih mudah menghormati gajah bukan hanya sebagai tontonan di kebun binatang, tapi juga sebagai “tetangga” di hutan yang perlu dijaga keberadaannya.

Refleksi Kecil dari Ragunan 

Ketika melihat putriku tertawa riang menyaksikan gajah yang mengibas-ngibaskan telinganya, aku sempat bertanya-tanya, apakah nanti saat dia dewasa, gajah-gajah di alam liar masih ada? Ataukah yang tersisa hanya cerita, foto, dan gajah di kebun binatang? 

Karena pada akhirnya, coexistence bukan hanya tentang pejuang konservasi di hutan, tapi juga kita semua. Mulai dari hal sederhana yakni mendukung produk ramah lingkungan, tidak membeli produk dari perburuan liar, sampai menyebarkan kesadaran lewat tulisan seperti ini. 

Penutup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun