Mohon tunggu...
Lisa Puspa Karmila
Lisa Puspa Karmila Mohon Tunggu... Universitas Indonesia

Bidan yang kadang menulis, kadang bercerita. Tidak selalu menulis, tapi percaya setiap tulisan bisa jadi ruang berbagi pengalaman dan ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jika Hutan Hilang, ke Mana Lagi Gajah Pulang?

24 September 2025   21:17 Diperbarui: 25 September 2025   08:41 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kumpulan gajah di alam liar (sumber: pexels.com)

 Libur lebaran, seperti kebanyakan warga Jakarta, aku juga punya agenda yaitu iburan ke Ragunan. Kalau sudah musim libur panjang, apalagi setelah Lebaran, kebun binatang yang satu ini hampir pasti jadi tempat wisata paling ramai. Antriannya bisa bikin orang yang awalnya semangat jadi tiba-tiba merasa ikut masuk kandang.. hehe.. bedanya, ini kandang manusia.

Aku pun jadi salah satu di antara ribuan orang itu. Tujuannya sederhana yakni ngajak putriku jalan-jalan, kasih pengalaman melihat hewan-hewan yang selama ini hanya dia kenal lewat buku cerita dan film animasi. Dan ternyata, dari sekian banyak koleksi satwa di Ragunan, ada satu yang bikin matanya langsung tertuju yaitu gajah.

“Ma, gede banget ya! Tapi kok telinganya kayak kipas AC?” katanya sambil ngakak. Aku pun ikutan tertawa, meski dalam hati berpikir ya karena telinga gajahnya maju mundur iya juga sih, mungkin kalau gajah bisa ngomong, dia bakal tersinggung dibandingin sama AC.

Melihat gajah dari dekat, dengan tubuh besar, telinga lebar, dan belalai yang selalu bergerak aktif, memang selalu jadi daya tarik tersendiri. Tapi di balik rasa kagum itu, tiba-tiba ada rasa yang muncul. Kalau gajah di Ragunan bisa hidup tenang dengan makanan terjamin, bagaimana dengan gajah di alam liar? 

Gajah di Alam Liar: Kisah yang Berbeda

Fakta berkata lain. Gajah Sumatera, salah satu satwa karismatik Indonesia, kini justru menghadapi ancaman besar. Menurut data WWF Indonesia (2023), jumlah gajah Sumatera hanya tersisa sekitar 1.600 ekor. Bandingkan dengan beberapa dekade lalu, ketika jumlahnya masih ribuan lebih banyak.

Sayangnya, angka itu semakin menurun. Laporan terbaru kutipan dari kompas.com menyatakan bahwa Kementerian Kehutanan RI dan mitra konservasi pada Agustus 2025 mencatat hanya sekitar 1.100 ekor gajah Sumatera yang tersisa di 22 lanskap di Pulau Sumatera. Penurunan populasi yang begitu tajam ini membuat International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan gajah sumatera sebagai spesies critically endangered atau terancam punah kritis. Fakta ini jelas menyadarkan kita bahwa keberlangsungan hidup gajah di alam liar sedang benar-benar berada di ujung tanduk.

Gajah dikenal sebagai hewan dengan daya jelajah luas. Mereka membutuhkan hutan rimba lebat sebagai ruang hidup untuk mencari makan, air, dan mineral penting. Namun, ketika hutan-hutan itu berubah menjadi kebun sawit, tambang, atau pemukiman, gajah terpaksa menjadi “tamu tak diundang” di ladang manusia. Hasilnya sering tragis: tanaman rusak, manusia rugi, dan gajah pun dianggap musuh.

Konflik semacam ini sudah lama menghantui Sumatera. Tidak sedikit berita tentang kawanan gajah yang masuk kampung, merusak kebun, bahkan menyebabkan korban jiwa. Sebaliknya, gajah pun sering menjadi korban perburuan, dipasangi jerat, atau bahkan diracun karena dianggap pengganggu. Padahal, sejatinya mereka hanyalah satwa yang berusaha bertahan hidup di tengah ruang yang semakin sempit.

Belajar Hidup Berdampingan

Di sinilah konsep coexistence atau hidup berdampingan menjadi sangat penting. Karena sejujurnya, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan gajah. Mereka tidak sedang “menyerang”, melainkan hanya mencari makan dan air di rumah mereka yang kini semakin hilang.

Beberapa upaya mitigasi sudah mulai dijalankan di berbagai daerah. Misalnya di Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung, sejak 2017 pernah diadakan program Patroli Gajah Jinak. Gajah-gajah jinak dilatih untuk membantu menggiring kawanan gajah liar agar tidak masuk ke pemukiman warga. Selama hampir dua minggu (18 November – 4 Desember 2017), kawanan 12 individu gajah liar sama sekali tidak mendekati perkampungan. Warga pun bisa tidur nyenyak tanpa ada rasa waswas. Selain menekan konflik, program ini juga memberi lapangan kerja baru bagi para mahout (pawang gajah) lokal.

Upaya lain muncul lewat konsep Desa Ramah Gajah. Di beberapa desa sekitar habitat gajah, masyarakat diajak untuk menanam tanaman penolak gajah, membuat pagar alami, hingga menjaga jalur lintasan tradisional gajah. Pendekatan ini membantu manusia tetap aman bertani, sementara gajah tetap memiliki ruang hidup.

Kisah serupa datang dari Aceh. Sejak 2015, WWF Indonesia mendampingi empat desa di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pesangan yaitu Desa Karang Ampar dan Bergang (Aceh Tengah), Desa Arul Gading (Bener Meriah), serta Desa Pante Peusangan (Bireuen). Awalnya desa-desa ini sering mengalami konflik dengan gajah. Namun, pendampingan WWF mengubah arah masyarakat dilatih mitigasi, membentuk tim desa, hingga akhirnya mencoba ekowisata berbasis gajah. Dari konflik yang menegangkan, lahir peluang baru yang memberi harapan.

Kearifan Lokal yang Mulai Dilupakan

Menariknya, di beberapa budaya Nusantara, gajah dulu dianggap hewan mulia. Ada relief gajah di Candi Borobudur yang menggambarkan kebijaksanaan. Dalam cerita rakyat, gajah sering digambarkan sebagai penjaga hutan yang bijak dan setia. Sayangnya, seiring waktu, nilai budaya ini mulai memudar.

Padahal, kalau kearifan itu terus dihidupkan, mungkin kita akan lebih mudah menghormati gajah bukan hanya sebagai tontonan di kebun binatang, tapi juga sebagai “tetangga” di hutan yang perlu dijaga keberadaannya.

Refleksi Kecil dari Ragunan 

Ketika melihat putriku tertawa riang menyaksikan gajah yang mengibas-ngibaskan telinganya, aku sempat bertanya-tanya, apakah nanti saat dia dewasa, gajah-gajah di alam liar masih ada? Ataukah yang tersisa hanya cerita, foto, dan gajah di kebun binatang? 

Karena pada akhirnya, coexistence bukan hanya tentang pejuang konservasi di hutan, tapi juga kita semua. Mulai dari hal sederhana yakni mendukung produk ramah lingkungan, tidak membeli produk dari perburuan liar, sampai menyebarkan kesadaran lewat tulisan seperti ini. 

Penutup

Liburan di Ragunan mungkin hanya jadi agenda tahunan bagi banyak keluarga, tapi pengalaman melihat gajah itu jadi pengingat kecil bahwa kita hidup berdampingan dengan makhluk lain di bumi ini.

Kalau kita bisa menghargai ruang satu sama lain—manusia dengan rumahnya, gajah dengan hutannya—mungkin suatu hari nanti, coexistence bukan lagi sekadar konsep, tapi kenyataan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun