Mohon tunggu...
Lisdiana Sari
Lisdiana Sari Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer

Terus Belajar.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kisah Emak-emak Penakluk Gunung Prau

3 Agustus 2018   20:12 Diperbarui: 4 Agustus 2018   17:44 2189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Puncak Gunung Prau sambil menyaksikan pesona milky way di langit cakrawala. (Foto: Dokpri.)

Di usia yang sudah enggak muda lagi, kami emak-emak masih bersyukur sampai ke puncak Gunung Prau. Begini kisah susah payah perjalanannya.

Jumat, 13 Juli 2018

Ladies Traveler - komunitas emak-emak penyuka traveling di Facebook -- pergi jalan-jalan lagi. Komunitas ini bisa menyingkat diri dengan 'LT'. Kali ini, kami ada 12 orang yang mengayunkan langkah kaki. Tujuannya, tiada lain ke Gunung Prau di dataran tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Ketinggian gunung ini lumayan membawa cerita, yaitu 2.590 m.

Di musim kemarau seperti sekarang, Gunung Prau justru dingin bahkan lebih dingin dari biasanya. Kami kumpul di halaman parkir RS UKI Cawang, Jakarta Timur. Ketika sudah kumpul semua, terbayang betapa menantang traveling kali ini. Mendaki gunung, berkemah, menembus pekatnya malam dan dinginnya embun, menyaksikan jutaan bintang di galaksi langit, serta yang paling ditunggu sudah tentu matahari terbit di horizon timur. Ya, sunrise!

Oh ya, jutaan bintang di bima sakti itu biasa kita suka sebut dengan milky way yang diambil dari Bahasa Yunani Via Lactea. Kebayang dong, kita-kita ada di atas gunung dan menyaksikan milky way itu. Sungguh, ciptaan Tuhan Yang Maha Suka Keindahan.

Di Puncak Gunung Prau (2590 mdpl) dengan latarbelakang milky way. (Foto: Dokpri)
Di Puncak Gunung Prau (2590 mdpl) dengan latarbelakang milky way. (Foto: Dokpri)
Milky way inilah yang memacu semangat kami para emak-emak 'LT' untuk mendaki Gunung Prau yang persisnya berada di Kabupaten Batang Kendal, Wonosobo. Kalau mengikuti googlemaps, jarak dari RS UKI Cawang ke Gunung Prau adalah 409 km atau membutuhkan waktu sekitar 9 jam untuk menuju ke sana.

Tapi, googlemaps cukuplah menjadi patokan umum saja. Karena ternyata, meskipun kami bergerak on the way mulai jam 22.00 wib, tetap saja harus menembus kemacetan luar biasa di Tol Bekasi Barat menuju Cikarang Barat. Butuh waktu 2,5 jam dengan kendaraan merayap perlahan di atas aspal. Mirip kura-kura, jalannya pelan-pelan. Maka tak salah kalau kami menyebut member 'LT' yang berangkat mendaki Gunung Prau ini memilih nama Kura-kura sebagai simbol sebutannya. Tapi biar lambat asal selamat, ya toh?

Lantaran sudah kelelahan menderita kemacetan di tol, sampai di rest area Tol Cipali, kendaraan kami menepi. Istirahat meluruskan kaki dan melancarkan kembali peredaran darah. Butuh ke kamar kecil juga sudah pasti menjadi salah satu alasan untuk menepi dan rileks sedikit. Durasi 15 menit cukuplah untuk meregangkan dan menyegarkan badan kembali. Perjalanan pun dilanjutkan.

Membeli jajanan pasar di Pasar Pon, Purwokerto. (Foto: Dokpri.)
Membeli jajanan pasar di Pasar Pon, Purwokerto. (Foto: Dokpri.)
Panjangnya jalan Tol Cipali (Cikopo -- Palimanan) yang 116 km pun kami susuri. Ditambah panjangnya Tol Palikanci (Palimanan -- Kanci) sejauh 26 km. Hampir tak terasa jauhnya, karena seakan-akan jalanan bebas hambatan ini cuma berasa lurus saja. Kami pun keluar tol di pintu gerbang Brebes Timur. Lanjut terus ke arah Tegal, lalu belok kanan menuju ke Puerto Rico alias Purwokerto dengan melintasi wilayah Bumi Ayu. Ya, karena sudah lewat tengah malam, maka jalanan rute selatannya Jawa Tengah ini pun lancar.

Ketika saatnya shalat Subuh, sekitar jam 05.00 wib, kami menepikan kendaraan lagi. Kali ini menyasar halaman masjid yang ada di wilayah Bumi Ayu. Subuh adalah waktu spesial. Para malaikat menyaksikan kita yang menunaikan kewajiban shalat.

Usai shalat, warung yang menjajakan minuman hangat di samping masjid pun menjadi incaran. Kami mereguk kehangatan. Kopi dan teh dengan aroma yang menyengat sedap dicecap lidah. Diseruput nikmat meski belum gosok gigi apalagi mandi pagi. Rasa kantuk pun terusir pergi.

Sabtu, 14 Juli 2108

Jam 6.30 wib, kami merapat di Purwokerto, ibukota Kabupaten Banyumas. Secara tradisi, Purwokerto adalah kota industri dan perdagangan. Kotanya resik banget dan memikat hati. Karena barusan saya sebut bahwa Purwokerto ini adalah kota perdagangan, maka menjadi alasan bagi kami untuk mampir 'cuci mata' ke pasar tradisional.

Namanya, Pasar Pon. Lokasinya ada di Jalan Jenderal Sudirman Barat atau yang lebih dikenal dengan Bantarsoka, Kecamatan Purwokerto Barat. Jajanan pasar menjadi pilihan untuk kami beli. Sekadar mengisi 'kampung tengah' alias perut.

Emak Julie dan Emak Antien dengan busana lengkap menahan dingin. (Foto: Dokpri.)
Emak Julie dan Emak Antien dengan busana lengkap menahan dingin. (Foto: Dokpri.)
Di Purwokerto -- kota yang pernah melahirkan nama-nama besar seperti Jenderal Gatot Subroto, pelawak S Bagio, Darto Helm, mantan menteri Soesilo Soedarman, Soeparjo Roestam dan lainnya -- kami berencana bertemu dengan member 'LT' lainnya yang menumpang kereta. Dua emak-emak dari Sukabumi, dan seorang lagi berangkat dari Ciamis, Jawa Barat. Tapi apa daya, kedatangan ketiganya terlambat dari jadwal yang sudah dirancang.

Keterlambatan mereka yang menumpang kereta, membuat kami bisa longgar waktu untuk beristirahat. Dimana? Ya, karena ada satu keluarga emak 'LT' asal Bandung, Jawa Barat yang sudah lebih dulu menginap di Hotel Palapa di Jalan Letjen S Parman, Purwokerto Selatan, maka kami pun menumpang untuk menggunakan kamar mandi kamar hotelnya plus berganti busana.

Tak perlu mandi kuyup, cukup mandi koboi. Segar kembali badan ini. Selesai bersalin baju, kami bergegas menjemput kedatangan tiga emak 'LT' di stasiun kereta Purwokerto. Ini adalah stasiun kelas besar di pinggiran kota, tepatnya di daerah Kober. Rel keretanya tentu sudah ganda alias double track.

Kata Wikipedia, malah ada tujuh jalur yang semuanya aktif, dengan jalur 2 sebagai jalur utama. Eh iya, asal tahu saja, stasiun ini diresmikan pada 1 Juli 1916 oleh perusahaan kereta api Staatsspoorwegen. Mungkin gara-gara nama perusahaan ini sehingga membuat wong Jowo menyebut kereta sebagai spoor alias sepur.

Penulis berpose di ikon tulisan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Penulis berpose di ikon tulisan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Kedatangan tiga teman yang menumpang kereta telat 1,5 jam dari perkiraan jam pertemuan. Meski telat, tapi akhirnya kami semua sudah bisa kumpul di Purwokerto. Bahagia rasanya, gank kura-kura sudah lengkap. Toss ...

Sekarang, dengan dua mobil beriringan, kami memacu gerak kendaraan dari stasiun kereta Purwokerto menuju Wonosobo. Perjalanan berjarak sekitar 90 km dan memakan waktu hampir 3 jam. Pacu kendaraan enggak ngebut kok. Santai tapi mantap, wusss-wusss. Tiba di Kabupaten Wonosobo, kami lanjutkan perjalanan ke arah utara dengan jalan mendaki sekitar satu jam perjalanan menuju Dieng Plateau.

Dieng Plateau atau dataran tinggi Dieng ada di ketinggian 2.093 mdpl. Inilah mengapa hawa dingin semakin menyambut kami dalam setiap putar roda kendaraan. Lokasi Dieng Plateau ada diantara dua kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara.

Berfoto dulu di basecamp sebelum mendaki Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Berfoto dulu di basecamp sebelum mendaki Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Foto bareng dulu di basecamp sebelum mendaki Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Foto bareng dulu di basecamp sebelum mendaki Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Sepanjang jalan mendaki ini, pemandangan alam sudah begitu indah dipandang. Ciamik banget dengan aneka kebun sayur dan persawahan yang subur menghijau meskipun sekarang sedang musim panas. Hawa sejuk semakin memeluk. Pantas saja ketika akhir abad 19 doeloe, bangsa londo alias Belanda suka bermukim di sini. Noni-noni Belanda itu pasti suka dengan "Kota Dingin" Dieng yang mungkin saja mirip tempat asal mereka di Eropa sana.

Saking dinginnya, meskipun hari sudah siang tapi jaket tebal dan baju hangat tak mau kami lepas. Mungkin juga dinginnya bertambah karena kami enggak sempat mandi pagi juga ... wkwkwkkkkk, tapi wangi tubuh tetap terjaga, emak-emak 'LT' gitu loh.

Jam 14.00 wib

Jam dua siang kami sampai di meeting point Dieng Plateau. Lapar? Pasti. Dingin dan memang sudah lewat jam makan siang pula 'kan. Lunch di mana? Kami semua makan siang di rumah tim pemandu (guide) yang memang sudah menyiapkan perjamuan. Para guide inilah yang akan membantu dan memandu kami nanti mendaki Gunung Prau.

Memulai pendakian Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Memulai pendakian Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Ketika mendaki, beberapa kali harus istirahat, sambil tak lupa jepret selfie sebelum hari gelap. (Foto: Dokpri)
Ketika mendaki, beberapa kali harus istirahat, sambil tak lupa jepret selfie sebelum hari gelap. (Foto: Dokpri)
Kelar makan, sebagian kami menunaikan Dzuhur yang dijamak dengan Ashar. Di rumah tim guide ini pula kami menyortir barang-barang bawaan. Mana barang-barang yang harus ditinggal- termasuk busana yang akan dikenakan ketika pulang ke Jakarta nanti - dan mana yang perlu dibawa untuk mendaki gunung, segera diseleksi.

Kami enggak khawatir harus membawa ransel besar atau carrier yang gendut menggelembung. Ini bukan karena emak-emak 'LT' gank kura-kura ini kuat berotot baja dan sanggup membawa beban berat, tapi tim porter yang akan membantu menggendong carrier memang sudah stand by. Hahahaaa ... eh, plis dehenggak usah diketawain yeeeehhh.

Hasil seleksi barang bawaan, membuat saya hanya membawa ransel dan tongkat kecil. Praktis buat menyusuri jalur pendakian. Ransel kecil yang saya cangklong di punggung ini cuma berisi handphone, kamera, powerbank, wadah air minum, kacamata, jaket tipis windbrake yang kedap air atau bahan parasut, sarung tangan, tutup kepala atau kupluk, syal, dan sudah pasti jaket hangat luaran. Carrier saya yang kira-kira ukuran 60 liter dan berat, saya minta dibawa oleh porter saja. Dalam carrier itu ada jaket tebal, long john atau thermal underwear, sleeping bag, air minum, kaos kaki tebal, beberapa kaos dan dalaman untuk ganti, lampu kecil, dan kudapan seadanya. Kudapan camilan perlu loh, namanya juga emak-emak, tahan lapar tapi enggak bisa nahan ngemil. Ssssstttttt ... ini rahasia!

Emak Julie di penanda Pos ke-2 pendakian Gunung Prau. (Foto: Dokpri)
Emak Julie di penanda Pos ke-2 pendakian Gunung Prau. (Foto: Dokpri)
Penulis kelelahan tapi tetap menebar senyum dan semangat. (Foto: Dokpri)
Penulis kelelahan tapi tetap menebar senyum dan semangat. (Foto: Dokpri)
Jam 15.00 wib

Jam di hape sudah menunjukkan tiga sore. Saatnya kami mulai bergerak menuju basecamp untuk kemudian bersiap melanjutkannya dengan mendaki ke puncak Gunung Prau melalui JALUR DIENG. Menurut pengalaman guide kami, waktu tempuh pendakian adalah sekitar 3 jam. Itu juga masih harus ditambah waktu 40 menit, untuk kembali turun dari puncak Prau  menuju ke bukit lokasi perkemahan .

Nah, karena faktor 'U' alias usia, maka rombongan kami dibagi menjadi 3 kelompok. Masing-masing, 4 orang yang termasuk kelompok faktor 'U'; 4 orang lagi masuk kelompok yang masih muda-enerjik-lincah; dan 4 orang berikutnya merupakan kelompok yang merupakan se-keluarga. Saya? Heheheee ... masuk kelompok faktor 'U'.

Kelompok emak-emak yang masih muda-enerjik-lincah memilih untuk lebih dahulu melakukan pendakian. Saya dan tiga emak-emak yang faktor 'U' berangkat agak belakangan alias slow sedikit. Kaki-kaki mengayun seirama lengan.

Meski landai tapi pendakian ini melelahkan. Jujur lho ini. Tapi kami tetap semangat, bahkan sampai juga di pos pendakian ke-2. Sampai di pos ini, tim emak-emak yang lebih dulu berangkat tadi, malah sudah enggak ketemu lagi. Mereka sudah terus jalan mendaki.

Kalau tadi saya bilang pendakian di jalur landai ini melelahkan, ya memang begitu adanya. Berulang kali kami harus berhenti. Mengatur ritme udara di rongga paru-paru yang ngos-ngosan. Mengistirahatkan kaki sambil sesekali selfie, wefie juga groufie. Narsis mah atuh kan teteup, qiqiqiqiqiiii. Dalihnya kira-kira begini, ngapain juga terburu-buru menuju puncak pendakian, kalau pemandangan sore di sekitar jalur pendakian ini cakep bangeeettttt ... (padahal sih emangudah mulai kecapekan, hahahaaaaa).

Bagi kami --gank kura-kura -, biar perlahan tapi asal terus mendaki. Lambat asal sampe, gitulah semboyannya. Bukankah LEBIH BAIK LAMBAT DARIPADA LAMBAT BANGET, kaaannnn ... #smile

Di Puncak Gunung Prau (2590 mdpl) dengan latarbelakang milky way. (Foto: Dokpri)
Di Puncak Gunung Prau (2590 mdpl) dengan latarbelakang milky way. (Foto: Dokpri)
Gank Kura-kura di Puncak Gunung Prau (2590 mdpl) menatap milky way. (Foto: Dokpri)
Gank Kura-kura di Puncak Gunung Prau (2590 mdpl) menatap milky way. (Foto: Dokpri)
Senja pun mulai mengggelayut di langit. Pemandangan alam pun cantiknya makin selangit. Meninggalkan pos pendakian ke-2, kami sudah harus memakai sarung tangan  dan kupluk penutup kepala. Makin dingin keleuussssss ...

Semakin gelap, langit malam di jalur pendakian Gunung Prau ini kian menaburkan banyak bintang. Duhai Sang Maha Indah, semakin indah sekali pemandangannya.

Tiba di Pos ke-2

Emak-emak gank kura-kura ini sampai di pos pendakian ke-2 di Semendung, sekitar jam 19.00 wib. Gelap terus menyelimut, berlomba dengan hawa dingin yang makin menusuk.

Menurut guide dan porter kami, pendakian ini masih harus mendaki dua bukit lagi. Barulah kemudian sampai ke puncak Gunung Prau. Weleh-weleehhh ... masih dua bukit lagi??!! Padahal, jujur aja (enggak pake malu juga deh), kaki saya sudah mulai berasa keram. Hiks ... untuk mengurangi risiko semakin sakit, kaki saya terpaksa dibalur semprotan calcium plus minyak gosok - yang meskipun panas di kulit tapi jadi malah terasa semriwing saja.

Sesudah merasa agak semakin enakan dua kaki ini, kami melanjutkan lagi pendakian. Jalan mendaki tak seberapa lebar, atau sekitar 2 orang dewasa berdiri berjajar saja. Di sisi sebelah adalah bukit, dan sebelah lagi merupakan jurang cukup terjal.

Di lokasi perkemahan pun masih terlihat milky way. (Foto: Dokpri.)
Di lokasi perkemahan pun masih terlihat milky way. (Foto: Dokpri.)
Sekitar 1,5 jam kemudian, dengan pendakian yang fisik mulai rada susah-payah, gank kura-kura akhirnya sampai juga di puncak! Alhamdulillah, ucapan syukur kepada Ilahi tak putus kami sebut-sebut. Menengok jam, ternyata memang sudah 20.30 wib.

Angin menerpa kencang. Menampar wajah dan semua yang bisa diterpa. Hembusannya membawa  hawa dingin. Menusuk sendi dan tulang. Maklumlah, ini puncak Gunung Prau dengan ketinggian 2.565 m. Lelah terbayar dengan rasa syukur menyaksikan pemandangan alam. Langit bertaburan bintang.

Kelap kelip sih rasanya mata memandang, meski enggak kelihatan berkedip. Untungnya langit cerah. Bintang-bintang yang posisinya tak beraturan bak menyatu menjadi milky way. Indahnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata di tulisan ini. Pokoknya kami merasa kecil di tengah hamparan benda-benda langit ciptaanNya. Tuhan Maha Besar.

Menikmati pemandangan yang luar biasa ini, porter kami sibuk menyiapkan tripod, kamera disiapkan. Inilah moment menyenangkan, yaitu apalagi kalau bukan photo shooting. Hasil kreatif pemotretannya memang ciamik luar biasa. Fotonya keren, malah super kerendweh. Berfoto dengan biru kegelapan langit dan taburan bintang. Milky way yang kami idam-idamkan sejak masih di Jakarta, sudah sukses kami nikmati.

Menikmati pesona sunrise dari lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri)
Menikmati pesona sunrise dari lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri)
Memandangi matahari terbit dari lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri)
Memandangi matahari terbit dari lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri)
Oh ya, karena guide (dan porter) sudah lihai dengan medan lapangan, kami pun diminta untuk melakukan sessi pemotretan yang cukup 'menyiksa'. Begini maksudnya. Untuk satu jepretan foto, kami diharuskan berdiam mematung selama sekitar 30 detik. Wakakakakkk ... padahal 'gimana mau diam, hawa dingin selalu saja membuat kami ingin terus bergerak dan bergerak.

Ya tujuannya supaya enggak kedinginan, meskipun amit-amit jabang baby, jangan sampai juga deh kena hipotermia alias mekanisme tubuh yang kesulitan menyesuaikan dengan pengaturan temperatur suhu. Ini di puncak gunung lho, wajar sih kepikiran begitu, meskipun kami berdoa dalam hati supaya semua selamat dan jauh-jauh dari baying-bayang hipotermia ini. Duh Gusti Allah, lindungi kami selalu.

Pemotretan dengan latarbelakang milky way super cantik dilakukan sekitar 30 menit. Kami berempat sudah merasa seperti artis, meski enggak berani menyebut layaknya foto model. Mungkin tepatnya artis era Chicha Koeswoyo dan Dina Mariana kecil tempo doeloe, hahahaaaa ...

Usai pemotretan, kami lanjut dengan perjalanan yang menurun. Turun menuju ke tempat perkemahan. Waktunya sekitar 40 menit. Meski tidak sampai sejam, tapi rasanya waktu bergerak lambat. Kaki-kaki gank kura-kura sudah kembali mulai minta istirahat. Hayatilelahhh ...

Emak Indah bersama suami dan putrinya yang baru berusia 10 tahun. (Foto: Dokpri.)
Emak Indah bersama suami dan putrinya yang baru berusia 10 tahun. (Foto: Dokpri.)
Berfoto bersama menikmati suasana pagi. (Foto; Dokpri.)
Berfoto bersama menikmati suasana pagi. (Foto; Dokpri.)
Sampai di perkemahan, Tenda sudah terpasang begitu kami datang. Tendanya sudah komplit dengan sleeping bag dan matras alas tidur. Masing-masing tenda berkapaitas 3 orang.

Oh ya, tenda lain yang ditempati oleh teman-teman rombongan yang mendaki dan lebih dulu tiba di lokasi perkemahan ini juga berdampingan. Mereka pun sama, kelelahan. Sehingga tidak ada yang keluar dari tenda untuk menyambut gank kura-kura. Hanya suara sahutannya saja yang terdengar dari dalam tenda masing-masing. Maklumlah, hawa dingin tak membedakan siapa yang ingin dipeluk. Pokoknya, semua kedinginan.

Tanpa menunggu lama, kami pun langsung masuk tenda. Dingin semakin merasuk, baju kaos yang dikenakan dan kaos kaki yang mulai lembab segera kami ganti dengan yang kering. Saya sendiri pilih untuk mengenakan long john, baju hangat dan kaos kaki wool tebal. Tak lupa kami ini dibalur lagi minyak gosok agar tidak semakin kaku dan penat. Dan yang tak lupa mengonsumsi obat pereda sakit persendian yang memang sengaja saya bawa. 

Teh panas yang cepat menjadi hangat dan dingin pun saya teguk sampai puas. Bukan saja dahaga yang menyerang, tapi juga demi menghangatkan badan. Kudapan non-karbo yang menjadi bekal untuk makan malam pun mulai saya lahap. Emak yang lain pun menghabiskan nasi makan malamnya, agar perut tidak kedinginan.

Berfoto bersama menikmati suasana pagi. (Foto; Dokpri.)
Berfoto bersama menikmati suasana pagi. (Foto; Dokpri.)
Aneka gaya berfoto suka-suka di lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Aneka gaya berfoto suka-suka di lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Suasana di tempat perkemahan yang cukup ramai wisatawan kurang kami minati. Rasanya, sleeping bag yang membungkus hangat lebih menarik dibanding kongkow-kongkow di luar tenda yang dingin. Bukankah kita perlu adil kepada tubuh kita sendiri juga. Saatnya istirahat. Malam semakin larut, sebelum tidur gank kura-kura sibuk mengeluh ingin buang air kecil.

Alamak, apa ada toilet umum di sini? Lha, ini di gunung kayak begini, hayooo, musti gimana buang air kecilnya? Urusan buang hajat pun kami lakukan di belakang tenda. Air siraman diganti dengan tisu basah dan tisu kering sebagai pembersihannya. Sampah tisu tidak diabuang sembarangan. Semua rapi dan sadar untuk menjaga kebersihan. Emak-emak 'LT' pasti siap dong perabotan 'urusan ke belakang' beginian.

Semakin larut di lokasi perkemahan Gunung Prau semakin bikin galau dan hati kecut. Bagaimana enggak? Yang namanya hawa dingin, luar biasa rasanya. Menyelusup ke dalam tenda, jaket, sarung tangan, kaos kaki, ransel, carrier, sleeping bag ... semua jadi sedingin es batu. Rasanya semua membeku. Malah air minum pun perlahan tapi pasti berubah seperti air es. Waduuuhhhh ...

Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)
Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)
Penulis dengan bendera Merah Putih yang semoga terus berkibar. (Foto: Dokpri.)
Penulis dengan bendera Merah Putih yang semoga terus berkibar. (Foto: Dokpri.)
Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)Di dalam tenda, kami hanya bertiga. Emak-emak 'LT' lainnya pun dibagi-bagi kelompok per tenda. Berasa banget tenda ini sempit. Masing-masing kami sudah terbungkus sleeping bag dengan bantal darurat yang dibuat dari susunan baju-baju. Enggak usahlah bicara guling, hahahaaaa ... nihil. Itu pun masih membuat kami tak cukup nyaman. Setiap bergerak kiri kanan, rasa dingin selalu saja tak bisa dikalahkan.

Ketidaknyamanan semakin bertambah. Kaki saya mulai terasa keram. Bergerak sedikit saja, rasanya lumayan sakit. Untuk meredakannya saya tahu banget yaitu harus rileks dan tidak tegang atau kaku. Tapi apa mau dikata, terbungkus sleeping bag malah makin membuat tubuh ini terasa semakin membujur tegang, sulit untuk relax dan enjoy.

Meski sudah coba tidur nyenyak, tapi rasanya mata ini sulit kompromi. Badan lelah sekalipun, tidur lelap masih saja tak bisa. Angin kencang berkali-kali menggoyang tenda, malah kadang seperti 'menggebuk-gebuk' sisi luar tenda. Dingin kian menusuk-nusuk. Entah berapa kali saya baru merasa bisa sedikit nyenyak, tapi kemudian terbangun lagi.

Emak Cucu. Sang pendaki membawa bendera Merah Putih. (Foto: Dokpri.)
Emak Cucu. Sang pendaki membawa bendera Merah Putih. (Foto: Dokpri.)
Emak Sumi. Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)
Emak Sumi. Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)
Minggu, 15 Juli 2018

Jam 04.00 pagi. Kami cukup terkaget dengan suara-suara dari luar tenda. Ada suara orang banyak bertepuk tangan. Kedengarannya seisi lokasi perkemahan ini semua orang bertepuk tangan, saking rame-nya di telinga. Kami bertiga pun bangun dengan raut wajah yang sama-sama keheranan. Ada apa gerangan?

Belum juga terjawab rasa penasaran ini, kami merasa ada cahaya yang mulai masuk ke dalam bilik tenda. Warna sinar oranye dari luar tenda. Tak perlu berlama menahan kepo, kami bertiga langsung mengintip dari 'jendela' tenda. Sambil sebisa mungkin menahan hawa dingin yang tiada habis.

Woooowwww, ternyata ... suara tepuk tangan semua orang yang berada di lokasi camping ground di bukit ini adalah wujud rasa kegirangan karena mulai bersiap menyaksikan matahari terbit, sunrise!

Menyiapkan kue ulang tahun buat seorang rekan, mak Julie yang berulang tahun. (Foto: Dokpri.)
Menyiapkan kue ulang tahun buat seorang rekan, mak Julie yang berulang tahun. (Foto: Dokpri.)
Emak Julie yang berulang tahun. (Foto: Dokpri.)
Emak Julie yang berulang tahun. (Foto: Dokpri.)
Suhu di lokasi perkemahan ini mencapai titik terendah 6C. Kami semua emak2 bangun dari pembaringan sleeping bag. Malas rasanya untuk membuka mata dan menggerakkan badan. Mau minum air putih pun, bukannya air hangat yang didapat, tapi justru seperti minum air es. Dingin.

Tapi, demi menyaksikan keindahan alam saat matahari baru kembali dari peraduan, kami pun memaksakan diri untuk bergegas segera keluar dari tenda. Tutup kepala saya kenakan, demi menahan dingin yang menerpa dahi dan utamanya telinga. Syal terlilit rapat di leher. Sedikit pakai lipstick supaya bibir tidak terlalu kering, dan tidak lupa mempersiapkan kacamata hitam.

Meskipun hari masih gelap, tapi rona cahaya persiapan mentari terbit sudah mulai nampak. Keluar tenda pun bukan berarti kami langsung menunggu sunrise. Tidak! Tapi justru antri lebih dulu untuk membuang air kecil di belakang tenda.

Guide dan porter sepertinya masih tidur. Yaiyalah, mereka kan sudah bolak-balik ke sini, masak mau menunggu matahari terbit lagi. Bosen ngkali ... wkwkwkkkkk

Bunga Daisy khas Gunung Prau yang banyak bermekaran di sekitar lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Bunga Daisy khas Gunung Prau yang banyak bermekaran di sekitar lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Emak Sumi berfoto dengan bunga liar Daisy khas Gunung Prau di sekitar lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Emak Sumi berfoto dengan bunga liar Daisy khas Gunung Prau di sekitar lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)

Acapkali matahari terbit, pesona alamnya memang menjanjikan segala keindahannya. Sekitar dua minggu lalu, saya juga menikmati detik-detik matahari nongol di horizon timur, dari atas Gunung Kelimutu di Ende, Flores. Kelimutu terkenal dengan tiga danau berwarna alami. Segala tatap pandang indah yang saya saksikan ketika itu masih membekas. Dan, kecantikan menatap sunrise itu kini saya nikmati lagi dari atas Gunung Prau.

Tiada bosan rasanya menyaksikan warna langit yang kuning, oranye dan menggradasi kemerahan hitam, paruh perdana ketika mentari mulai singsingkan malasnya untuk terik kembali. Belum lagi gumpalan awan yang menggulung dan kelihatan begitu dekat seperti hendak dijamah.

Paham bahwa proses matahari terbit hanya akan berlangsung singkat, kami pun memilih untuk berjalan menuju ke arah bukit kecil yang agak lebih tinggi, dan kondisinya pun di sini sama saja, banyak tenda-tenda wisatawan. Langkah kaki kami semakin cepat demi mengabadikan momentum mentari 'bangun tidur'.

Puas berfoto dan menyatu dengan mentari di atas Gunung Prau, kami kembali tenda untuk berbenah ransel, carrier dan peralatan bawaan lainnya. Sampai di tenda ternyata guide dan porter sudah kompak menyediakan sarapan pagi dengan menu spaghetti sachet berikut teh panas. Waaahhh ... yummybener.

Kelar sarapan dan packing barang, kami kembali berfoto lagi, tapi kali ini dengan latarbelakang Gunung Sindara atau Sindoro di kejauhan. Ini gunung merapi aktif dan ada di Jawa Tengah dengan Temanggung sebagai kota terdekatnya. Ketinggian Sindoro 3.136 m, bandingkan dengan Prau yang sekali lagi hanya 2.590 m. Pagi ini, kemunculan Sindoro nampak malu-malu. Puncaknya seolah menyembul dari gumpalan awan yang mengitarinya.

Lokasi perkemahan dengan latarbelakang Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)
Lokasi perkemahan dengan latarbelakang Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)
Foto bersama di lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Foto bersama di lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Jam 09.00

Persis jam 09.00 wib kami sudah bersiap meninggalkan lokasi perkemahan. Jalan pulang bukan berarti lebih enak daripada jalan berangkat. Hahahaaaa ... tingkat kelelahannya sama saja 'bok. Kami membagi grup jadi tiga, masing-masing 4, 6 dan 2 orang, dengan didampingi oleh masing-masing porter.

Untuk kembali ke basecamp pos pendakian awal di bawah sana, kami harus melintasi jalur menanjak lebih dulu selama kira-kira 40 menit. Lagi-lagi gank kura-kura mulai didera kelelahan dengan sesekali nafas tersengal. Rasanya lutut kaki belum fresh setelah sejak sore hingga malam kemarin melakukan perjalanan mendaki.

Demi menghibur dalam 'penderitaan' ini, kami pun beberapa kali melakukan pemotretan. Maklum, semalam waktu mendaki gunung 'kan semua serba gelap, pemandangan kiri kanan apalagi kejauhan, tak pernah kita ketahui secara pasti. Nah, sekarang semua sudah terang, jelas terlihat misalnya tebing di sisi kiri dan kanan jalan setapak ini, juga pesona puncak Gunung Prau.

Penulis santai menikmati ayunan hammock. (Foto: Dokpri.)
Penulis santai menikmati ayunan hammock. (Foto: Dokpri.)
Perjalanan turun ini tidak malah membuat kami ngoyo. Lagi-lagi, semboyannya adalah perlahan tapi keep moving. Turun ke basecamp akhirnya lebih cepat dari mendaki. Kami butuh waktu sekitar 3 jam untuk sampai ke basecamp Dieng. Pas disambut dengan kumandang adzan Dzuhur. Kami langsung menuju ke rumah tim guide.

Sesudah merasa cukup istirahat dan melakukan bersih-bersih juga sholat Dzuhur dan Ashar, serta membereskan segala sesuatunya di bagasi mobil, kami melakukan perjalanan pulang pada jam 15.00 wib. Dua mobil kembali beriringan, membawa cerita suka dan suka banget.

Sebelum nantinya dua kendaraan berpisah jalan, kami pilih untuk menyempatkan diri menikmati kuliner khas lokal yaitu Mie Ongklok yang jadi menu andalan salah satu rumah makan di Jalan Pasukan Ronggolawe, Longkrang, Wonosobo. Di ujung jalannya   tesedia juga produk perkebunan lokal berupa manisan sirup carica -- sejenis pepaya -, dan kopi khas Dieng yang sudah populer yakni Purwaceng.

Oh ya, Mie Ongklok ini sebenarnya mie rebus dengan racikan khusus yang menggunakan kol, potongan daun kucai, juga loh atau kuah kental dengan bahan dasar tepung kanji. Dan di santap dengan sate sapi. Mak nyus-lah poko'e.

Perjalanan turun dari puncak Gunung Prau. Kalau semalam tidak nampak tebing curam, maka sekarang semuanya jelas. (Foto: Dokpri.)
Perjalanan turun dari puncak Gunung Prau. Kalau semalam tidak nampak tebing curam, maka sekarang semuanya jelas. (Foto: Dokpri.)
Istirahat dan foto-foto saat perjalanan turun dari puncak Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Istirahat dan foto-foto saat perjalanan turun dari puncak Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)
Perjalanan pulang sepertinya relatif lebih padat. Lalu lintas ramai. Kami berpisah dengan rombongan teman-teman yang hendak menuju Jawa Barat. Sedangkan demi menuju Jakarta, kami pilih jalan putar ke arah Temanggung, Ambarawa, lalu masuk Tol Ungaran - Semarang. Sayangnya rencana tinggal rencana, karena ternyata Tol Semarang ini ditutup sampai ke Tegal. Jadilah perjalanan Semarang -- Tegal kami lintasi dengan meniti jalur utama yang ramai dengan truk juga bus-bus besar.

Dini hari, sekira jam 03.00 wib, kami mulai masuk pintu Tol Brebes Timur menuju Palimanan. Jelang pintu Tol Palimanan ketersendatan arus kendaraan terasa. Sekitar satu jam harus antri, selepas itu lancar kembali. Kami sampai di tol ruas Cikarang Utama pada jam 06.00 wib, masih pagi untuk satu-dua jam kemudian menyapa warga ibukota Jakarta sambil mengucapkan salam: bahwa emak-emak 'LT' alhamdulillah sudah kembali!

Mie Ongklok lengkap dengan Sate Daging Sapi. (Foto: Dokpri.)
Mie Ongklok lengkap dengan Sate Daging Sapi. (Foto: Dokpri.)
Perjalanan mendaki Gunung Prau yang sangat menyenangkan bersama emak-emak Ladies Traveler, khususnya gank kura-kura yang rentang usianya 47 -- 62 tahun. Menjadi wajar kalau naik-turun Gunung Prau dijelajahi dengan perlahan tapi pasti, dan lepas penat ketika menatap keindahan pesona alam di puncak dengan bonus cuaca cerah yang membawa berkah cantiknya milky way. Jadi, kapan yuk kita rencanakan mendaki gunung lagi. R u ready?! 

 o o o O o o o

NOTE: Semua foto adalah dokumentasi pribadi. Dilarang asal comot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun