Mohon tunggu...
Lira VirnaSukaidah
Lira VirnaSukaidah Mohon Tunggu... Mahasiswa

diam tidak dapat merubah apapun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Pernah Cukup

26 Agustus 2025   19:53 Diperbarui: 27 Agustus 2025   04:45 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, Wira memutar kunci angkot tuanya. Mesin trayek 03 itu berderum serak, seperti batuk orang tua yang dipaksa bangun di udara lembab sisa hujan. Kaca depan dipel ke sana-sini dengan kain kumal, sehingga meninggalkan garis-garis buram yang justru membuat pandangan semakin kabur.

Jalanan kota masih ramai meski waktu sudah melewati jam sembilan. Klakson bersahut-sahutan, pedagang kaki lima menutup lapaknya dengan gerutuan, dan aroma sate yang terbakar di gerobak bercampur bau solar dari kendaraan. Bagi sebagian orang, malam adalah saat beristirahat. Bagi Wira, malam adalah putaran terakhir: kesempatan kecil untuk menutup setoran.

Pada suatu hari depan kampus, seorang mahasiswi berlari kecil, menahan jas hujannya yang basah. Ia naik tanpa senyum, langsung duduk di dekat pintu sambil sibuk mengetik di ponsel.

“Candrawala ya, Pak,” ucapnya singkat.

Wira mengangguk. Dari spion ia melihat gadis itu tersenyum sendiri pada layar. Sesaat, hatinya tercekat. Nisa, anak sulungnya, harusnya tahun ini dia juga duduk di bangku kuliah, tapi biaya yang belum juga terkumpul membuat ia hanya bisa berjanji “tahun depan, Nak.”

Saat gadis itu turun, ia menyerahkan uang pas tanpa menoleh. Wira mengucap terima kasih, lirih.

Pasar Raya masih basah oleh sisa hujan. Seorang bapak tua naik dengan plastik pisang kecil di tangannya. Tubuhnya ringkih, kaki dan tangannya gemetar.

“Depan rumah sakit aja, Pak,” katanya dengan suara serak.

Wira mengajak ngobrol sepanjang jalan. Tentang hujan yang bikin pembeli sepi, tentang harga beras yang makin melonjak. Hanya obrolan-obrolan sederhana, tapi begitu hangat.

Saat turun, si bapak menyodorkan uang lebih seribu rupiah.

“Buat rokok, Pak Sopir. Malam dingin begini enaknya ditemani.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun