Malam itu, Wira memutar kunci angkot tuanya. Mesin trayek 03 itu berderum serak, seperti batuk orang tua yang dipaksa bangun di udara lembab sisa hujan. Kaca depan dipel ke sana-sini dengan kain kumal, sehingga meninggalkan garis-garis buram yang justru membuat pandangan semakin kabur.
Jalanan kota masih ramai meski waktu sudah melewati jam sembilan. Klakson bersahut-sahutan, pedagang kaki lima menutup lapaknya dengan gerutuan, dan aroma sate yang terbakar di gerobak bercampur bau solar dari kendaraan. Bagi sebagian orang, malam adalah saat beristirahat. Bagi Wira, malam adalah putaran terakhir: kesempatan kecil untuk menutup setoran.
Pada suatu hari depan kampus, seorang mahasiswi berlari kecil, menahan jas hujannya yang basah. Ia naik tanpa senyum, langsung duduk di dekat pintu sambil sibuk mengetik di ponsel.
“Candrawala ya, Pak,” ucapnya singkat.
Wira mengangguk. Dari spion ia melihat gadis itu tersenyum sendiri pada layar. Sesaat, hatinya tercekat. Nisa, anak sulungnya, harusnya tahun ini dia juga duduk di bangku kuliah, tapi biaya yang belum juga terkumpul membuat ia hanya bisa berjanji “tahun depan, Nak.”
Saat gadis itu turun, ia menyerahkan uang pas tanpa menoleh. Wira mengucap terima kasih, lirih.
Pasar Raya masih basah oleh sisa hujan. Seorang bapak tua naik dengan plastik pisang kecil di tangannya. Tubuhnya ringkih, kaki dan tangannya gemetar.
“Depan rumah sakit aja, Pak,” katanya dengan suara serak.
Wira mengajak ngobrol sepanjang jalan. Tentang hujan yang bikin pembeli sepi, tentang harga beras yang makin melonjak. Hanya obrolan-obrolan sederhana, tapi begitu hangat.
Saat turun, si bapak menyodorkan uang lebih seribu rupiah.
“Buat rokok, Pak Sopir. Malam dingin begini enaknya ditemani.”