Kim Ji-Yeong Lahir 1982 merupakan novel karya Cho Nam-joo, seorang wanita asal Korea Selatan berkelahiran tahun 1978. Sebagai mantan penulis naskah televisi, Cho Nam-joo menempuh pendidikannya di Ewha Womans University pada tahun 2001. Dia menjadi wanita yang sudah lama berkarir sebagai penulis sukses, terbukti dengan dirinya yang meraih penghargaan Hwangsanbeol Award untuk Young Adult Literature dan berhasil membawa namanya hingga ke bumi internasional.
Dari ketiga karya novelnya, Cho Nam-joo membawa Kim Ji-yeong ke tengah-tengah tanah Korea Selatan yang cukup berbeda dari kisah-kisah romansa yang disuguhkan layar-layar kaca favorit kita. Buku ini adalah suatu pengantar yang membuat banyak orang memahami betapa beratnya kehidupan perempuan kala dahulu. Bukan hanya itu, cerita di dalamnya juga menjadi cerminan bagi dunia bagaimana tumbuh sebagai bagian dari perempuan yang dianggap rendah dibanding laki-laki.
Novel ini bermula dengan mengisahkan Kim Ji-yeong yang sedang dalam masa depresi setelah melahirkan anak pertama. Awalnya suaminya mengira apa yang dialami istrinya itu tak akan berlangsung lama. Namun, seiring hari-hari terlewati, beberapa keanehan mulai terlihat pada diri Kim Ji-yeong. Sang istri yang semula adalah seorang yang periang tiba-tiba menjadi lebih sering murung dan pendiam. Ditambah yang turut membuat Jung Dae-hyun-suaminya terheran adalah gaya bicara Ji-yeong yang semakin serupa dengan orang tua. Padahal sebelumnya istrinya adalah seorang wanita yang berkarier dan memiliki wawasan luas.
Kim Ji-yeong, lahir pada 1 April 1982 di rumah bersalin Seoul. Dia dan kakak perempuannya, tumbuh di era perang, wabah penyakit, dan kelaparan yang banyak merenggut nyawa. Tinggal bersama keluarga termasuk kakek dan neneknya tak selalu membuatnya merasa lengkap. Rumah sempit mereka menjadi saksi bisu dari ketidakadilan yang dirasakan Ji-yeong.
Ji-yeong mulai menyadari adanya pembedaan ketika sang adik laki-lakinya hadir di tengah-tengah mereka. Seperti mengapa jika ada dua porsi makanan, maka satu untuk adiknya, dan sisanya lagi Ji-yeong akan berbagi dengan kakak perempuannya. Terkadang ibunya akan beralasan ini karena adiknya bungsu, tetapi terkadang pula ia terdiam. Kakak perempuannya yang berusia dua tahun di atasnya terus terang tahu hal itu terjadi bukan hanya perkara bungsu, melainkan karena adiknya laki-laki.
Sejak duduk di sekolah dasar, Ji-yeong harus menerima aksi-aksi patriarki yang membuat muak. Diganggu para anak laki-laki nakal adalah suatu hal yang biasa. Contohnya saja ketika kau bertengkar hebat dengan anak yang sebangku denganmu, maka guru di kelas akan menepuk pundakmu sambil berkata bahwa bocah itu sering mengganggu karena dia menyukaimu. Hal itu bahkan membuat Ji-yeong yang tengah menangis pun terkejut. “Jika kita menyukai seseorang, bukankah kita seharusnya bersikap lebih ramah dan bersahabat?”. Pertanyaan itu membenak dan ingin dirinya bantah, tetapi lagi-lagi, tentu karena si bocah adalah laki-laki. Begitulah.
Di masa SMP, gadis-gadis semakin merasakan diskriminasi dengan seragam yang membuat mereka sesak, apalagi jika musim dingin sudah tiba. Mereka menuntut mengapa harus mengenakan stoking dan tak diperbolehkan memakai sepatu olahraga. Namun, mereka terpaksa patuh, tapi itu benar-benar mengganggu. Seolah hanya siswa lelakilah yang suka bergerak, sedangkan siswi-siswi hanya akan duduk seharian sambil membicarakan siswa manakah yang menjadi idola mereka.
Aksi-aksi patriarki sebenarnya bukan hanya dari orang-orang yang ada di gedung sekolah atau gang-gang kota, tetapi juga dalam keluarganya. Ayah Ji-yeong yang tahu bahwa putri keduanya hampir celaka oleh seorang lelaki yang membuntutinya sepulang kursus, bukannya berkata semua akan baik-baik saja berakhir dengan amarah.
Kenapa ia harus kursus di tempat sejauh itu? Kenapa ia berbicara kepada sembarang orang? Kenapa ia memakai rok sependek itu? Ia harus belajar. Ia harus berhati-hati, harus berpakaian pantas, harus bersikap pantas. Namun, ayahnya tak pernah bertanya kenapa para lelaki harus berniat buruk pada putrinya yang tengah bersusah payah demi belajar.
Novel yang sudah diterjemahkan ke 18 bahasa ini disusun dengan sudut pandang seorang psikiater yang menceritakan separuh kisah pasiennya, yaitu Kim Ji-Yeong sendiri. Setiap bab menjelaskan perkembangan Ji-Yeong secara runtut dan memudahkan pembaca memahami apa saja problem yang ada di dalamnya. Seperti sampul bukunya—ilustrasi ekspresi seorang gadis—gaya bahasa yang ditulis Cho Nam-joo cukup sederhana. Dalam sekali duduk, novel ini akan mengajak kita untuk mencari di manakah Ji-yeong pada halaman selanjutnya.
Meski digolongkan sebagai buku fiksi, Cho Nam-joo tetap tak berpaling pada stigma yang hingga saat ini masih ada. Bagaimana seorang perempuan harus bisa segalanya, tapi tidak boleh melebihi lelaki menjadi salah satu dari banyaknya survei dan riset yang tercantum sebagai acuan novel. Kim Ji-Yeong Lahir 1982 berhasil menggugah saya dengan pembawaannya yang tak perlu berisi kecaman dan protes kepada para pembaca. Justru dari sini saya mulai sadar apa yang sudah terjadi di lingkungan sekitar.