Di era digital saat ini, anak-anak tidak hanya dituntut bisa menggunakan teknologi, tetapi juga memahami cara kerjanya. Hal inilah yang menjadi alasan saya mengangkat program kerja individu bertajuk "Belajar Seru Pemrograman Dasar dengan Scratch" saat melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Pandeyan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten.
Selama observasi, saya melihat bahwa sebagian besar siswa SD Negeri 2 Pandeyan belum pernah mengenal dunia pemrograman. Padahal, kemampuan ini bisa menjadi bekal penting bagi mereka di masa depan. Di sisi lain, antusiasme siswa terhadap teknologi cukup tinggi. Karena itu, saya merasa perlu menghadirkan sebuah kegiatan yang bisa memperkenalkan logika pemrograman dengan cara yang menyenangkan.
Saya memilih Scratch, sebuah aplikasi buatan MIT yang dirancang khusus untuk anak-anak. Dengan tampilan visual berupa blok warna-warni, siswa bisa belajar membuat animasi sederhana hingga permainan interaktif tanpa harus berhadapan dengan kode-kode yang rumit.
Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan ini saya laksanakan bersama siswa kelas 5 dan 6. Mereka diajak mencoba langsung membuat proyek sederhana, mulai dari menggerakkan karakter, menambahkan suara, hingga membuat game ringan. Suasana kelas terasa hidup karena siswa tidak hanya belajar, tapi juga berkreasi dan saling berbagi ide.
Meski jumlah laptop terbatas, semangat anak-anak untuk mencoba tetap tinggi. Mereka belajar bergantian, berkelompok, bahkan ada yang rela menunggu agar bisa mencoba sendiri. Guru-guru pun ikut terlibat, memperhatikan jalannya kegiatan, dan mengapresiasi karya siswa.
Hasil dan Manfaat
Dari kegiatan ini, saya melihat beberapa hal positif:
Siswa lebih percaya diri ketika berhasil membuat animasi atau game kecil.
Kemampuan berpikir logis dan kreatif meningkat, karena mereka belajar menyusun alur perintah secara runtut.
Guru mendapatkan wawasan baru, terutama tentang cara mengenalkan teknologi dengan metode yang sederhana.
Bagi sekolah, kegiatan ini membuka peluang untuk menjadikan pemrograman dasar sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler.
Refleksi dan Harapan
Tentu saja, ada beberapa kendala yang dihadapi. Jumlah perangkat yang terbatas membuat siswa harus berbagi, sementara waktu pelaksanaan juga relatif singkat. Namun, hal ini tidak mengurangi esensi dari kegiatan.
Saya berharap, ke depan sekolah bisa mengembangkan pembelajaran serupa, misalnya melalui kegiatan ekstrakurikuler coding. Dengan begitu, siswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta yang mampu menghasilkan karya digitalnya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI