Dalam dunia pendidikan, kita sering kali disuguhi berbagai kurikulum yang padat mulai dari Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa, hingga Teknologi Informasi.
Namun, di tengah gencarnya pembaharuan dan penguatan kompetensi akademik, ada satu kurikulum penting yang seolah dilupakan: belajar mencintai tanpa menyakiti.
Cinta bukan hanya milik para pujangga atau tema sastra. Ia adalah aspek fundamental dalam kehidupan manusia, yang seharusnya diperkenalkan dan diajarkan sejak dini.
Sayangnya, sistem pendidikan kita belum secara serius membingkai cinta sebagai materi pembelajaran yang penting. Akibatnya, banyak generasi muda tumbuh dengan pengetahuan yang mumpuni, namun gagap dalam memahami dan mengelola emosi, terutama dalam hubungan interpersonal.
Mencintai: Antara Naluri dan Tanggung Jawab
Mencintai adalah kemampuan yang seharusnya melibatkan pemahaman, empati, dan tanggung jawab.
Namun realitanya, cinta seringkali hanya dianggap sebagai naluri atau dorongan perasaan yang tak perlu dibingkai dalam nilai dan etika.
Di ruang-ruang remaja, kata "cinta" nyaring terdengar, namun jarang dibarengi pemahaman tentang batasan, rasa hormat, dan kesadaran untuk tidak melukai.
Fenomena pacaran yang berujung kekerasan, posesivitas yang merampas kebebasan, hingga relasi yang toksik, semakin menguatkan pentingnya pendidikan emosi dan relasi yang sehat.
Pendidikan semacam ini belum menjadi bagian utuh dari kurikulum sekolah atau pembelajaran formal. Anak-anak belajar menghitung volume balok dan luas segitiga,
tapi tidak diajarkan bagaimana mengekspresikan kasih sayang tanpa membuat orang lain merasa tertekan.