Mohon tunggu...
Lina WH
Lina WH Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

• Ibu dari seorang anak laki-laki, Mifzal Alvarez.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fabel] Persahabatan Akil dan Noya [Bagian 5]

5 Januari 2019   11:53 Diperbarui: 5 Januari 2019   12:07 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagian 1

Bagian 2

Bagian 3

Bagian 4 

Lalu Akil pun pergi ke luar  rumah kembali setelah melapor kepada Ayah Noya jika ada tamu, Pak Elang. Ayah Noya mempersilahkan Pak Elang masuk. Sementara Akil tetap menyelesaikan pekerjaannya.

"Pak, apakah anak tersebut yang tersesat?" tanya Pak Elang kepada Ayah Noya.


"Iya, benar. Akil namanya," jawab Ayah Noya.

"Akil nampak rajin dan cerdas. Dan sepertinya betah di sini."

"Mungkin di rumahnya sana sudah terbiasa dengan pekerjaan itu. Tadi malam sama sekali tidak tidur si Akil," kata Ayah Noya.

"Benarkah? Kuat sekali Akil. Semalaman tidak tidur, tetapi pagi-pagi sudah rajin bekerja," Pak Elang pun bangga dengan Akil yang rajin.

Ibu Noya dan Noya datang ke ruang tamu untuk memberikan jamuan makan dan minum kepada Pak Elang. Bolu wortel yang lezat dan juga susu hangat.

"Silahkan, Paman Elang," kata Noya mempersilahkan Pak Elang.

"Terimakasih Noya. Ini pasti lezat. Noya yang membuat ya?" tanya Pak Elang yang berbasa-basi terhadap Noya.

"Iya, Paman. Ibu juga ikut membuat," jawab Noya dengan senyum tipisnya.

"Akil diajak makan ya, Noya. Biar makan sama-sama di sini," kata Ayah Noya kemudian.

Noya menoleh ke arah Akil yang telah selesai mengerjakan pekerjaannya dengan rapi. Akil berdiri tegak di depan rumah sambil menghadap matahari, kemudian bersin beberapa kali.

"Anak hilang. Sini makan," teriak Noya kepada Akil.

Akil lalu masuk ke dalam ruang tamu menuju tempat Noya berada. Lalu memukul tangan Noya dengan sangat keras. Noya menangis, yang kemudian minta gendong Ibunya.

"Akil, jangan memukul ya! Itu perbuatan yang tidak disukai oleh Tuhan," kata Ayah Noya kepada Akil, dan langsung meraih Akil untuk dipangku.

"Noya nakal, Paman. Noya bilang aku anak hilang," jawab Akil membela diri.

"Noya, lain kali tidak boleh berkata seperti itu ya! Itu tidak baik, Noya!" kata ibu Noya yang juga menasehati Noya.

Tangisan Noya semakin menjadi. Lalu Ibu Noya pun menggendong Noya untuk masuk ke dalam kamar, supaya tidak mengganggu Pak Elang yang sedang bertamu.

Akil tetap anteng dalam pangkuan Ayah Noya. Tetapi hati Akil sebenarnya tidak seanteng sikapnya hari ini. Akil sangat merindukan sekaligus mengkhawatirkan Ayah dan Ibunya di rumah.

"Akil, kamu ingat rumah kamu di mana?" tanya Pak Elang dengan lembut kepada Akil.

"Aku tidak tahu," jawab Akil dengan jujur.

"Nama desa tempat kamu tinggal, tahu?" lanjut Pak Elang kemudian.

"Aku tidak tahu. Ayah dan Ibu tidak pernah memberitahukan nama desa tempat tinggalku."

"Lalu, saat kamu ke sini, apa saja yang kamu lalui?"

"Pohon-pohon besar dan padang ilalang yang sangat luas. Sudah itu aja," jawab Akil dengan lantang.

"Akil, makan dulu ya. Supaya Akil tetap sehat. Akil semalam tidak tidur. Siang ini, Akil tidur ya! Supaya Akil tetap kuat dan sehat," kata Ayah Noya sambil mengambilkan sepotong bolu wortel kepada Akil.

Akil menganggukkan kepala sambil tersenyum. Kemudian memakan beberapa potong bolu wortel dan menghabiskan segelas susu hangat yang telah terhidang.

"Akil, Paman akan terbang ke seberang padang ilalang untuk mencari tahu tempat tinggalmu. Supaya kamu cepat bertemu dengan keluargamu. Banyak berdoa ya Akil, semoga Paman berhasil," kata Pak Elang kepada Akil yang membuat Akil senang dan bersemangat.

"Benarkah? Rumahku sangat indah, Paman. Di depan rumah banyak bunga matahari yang sedang bermekaran. Bunga matahari itu sangat cantik. Daunnya hijau, bunganya kuning besar. Dan selalu menghadap matahari," cerita Akil kepada Pak Elang dengan penuh semangat.

"Benarkah? Rumahmu pasti tidak membosankan!" lanjut Pak Elang.

"Iya, rumahku itu istanaku yang selalu aku rawat. Nanti kalau ketemu Ayah dan Ibuku, tolong bilang ya! Kalau aku baik-baik saja di sini, di rumah Noya," kata Akil dengan nada yang bersemangat.

"Baiklah. Aku akan pergi sekarang. Akil istirahat ya, harus makan dan tidur dengan cukup!" kata Pak Elang yang berpamitan untuk segera pergi mencari tahu tentang desa tempat tinggal Akil.

"Hati-hati, Pak!" kata Ayah Noya.

"Paman, semoga Paman berhasil. Aku akan ingat pesan Paman dan aku juga akan mendoakan Paman!"

"Iya Akil, sampai jumpa!" kata Pak Elang sambil melambaikan tangan kepada Akil dan Ayah Noya.

Sementara itu, di dalam kamar Noya masih menangis dengan manja. Ibu Noya sepertinya sudah sangat kesal, karena Noya tidak kunjung menghentikan tangisannya.

"Noya, jangan menangis. Ayo kita main sama-sama," ajak Akil kepada Noya.

"Akil, kamu tidur sana. Ingat lho, semalaman kamu tidak tidur. Biarlah Noya bersama Ibunya!" kata Ayah Noya kepada Akil.

"Aku belum mengantuk, Paman!" jawab Akil singkat.

Lalu Akil menuju ke luar, mengambil daun kelapa yang bisa diraihnya. Dua buah daun kelapa yang sudah berhasil diambilnya tersebut lalu dibuat keris-kerisan. Satu untuk Akil, dan satu lagi untuk Noya. Akil sangat lihai membuat mainan keris-kerisan dari daun kelapa, karena Akil sudah terbiasa. Setelah selesai membuat keris-kerisan tersebut, Akil langsung lari menghampiri Noya yang masih menangis di kamar.

"Hai Noya! Lihatlah aku membuat ini untukmu. Ayo kita main!" ajak Akil dengan penuh semangat.

Mata Noya terbelalak. Lalu tangan mungil Noya pun mengusap air mata yang membasahi pipinya sedari tadi. Ibu Noya hanya terdiam, hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh Akil dan Noya selanjutnya.

"Itu apa?" tanya Noya dengan suara yang berat karena kelamaan menangis.

"Ini keris-kerisan. Untuk main perang-perangan. Ayo kita main di luar. Tapi kamu minum dulu ya, kan kamu habis nangis. Nanti tenggorokannya sakit kalau kamu tidak minum," suruh Akil kepada Noya.

Ibu Noya kagum melihat Akil yang rajin dan cerdas. Ada banyak kelebihan Akil, tetapi ada kekurangannya juga. Ibu Noya menyadari, mereka masih anak-anak yang belum bisa bersikap sempurna.

Akil dan Noya lalu pergi ke luar rumah. Bermain perang-perangan dan sesekali tertawa bersama. Nampaknya mereka sudah mulai akur dan saling menjaga. Tetapi, Ayah dan Ibu Noya masih mengawasi mereka dari dalam. Jika ada sesuatu hal yang saling menyakiti, supaya cepat teratasi oleh orang tua Noya.

"Nampaknya mereka sudah bisa rukun. Ayah kerja dulu, ya! Tetapi tetap awasi mereka," kata Ayah Noya kepada Ibu Noya.

"Baiklah, Ayah! Hati-hati di jalan. Semoga kerjaan Ayah mendapat berkah!" kata Ibu Noya sambil mengantarkan ayah Noya ke depan pintu rumah untuk pergi bekerja.

Noya dan Akil pun bersalaman sambil mencium tangan Ayah Noya.

"Hati-hati, Paman!"

"Hati-hati, Ayah!"

"Kalian yang rukun ya! Jangan lupa tidur siang!" kata Ayah Noya sembari mengayuh sepeda tuanya untuk pergi bekerja.

Bersambung... 


Ditulis oleh Lina WH 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun