Dokter Faida MMR memang bukan dokter biasa. Dia mempunyai banyak jabatan dan peran. Di antaranya, menjadi direktur dua rumah sakit, direktur lembaga pendidikan perawat, serta mengelola tiga lembaga pendidikan di Jember dan Banyuwangi. Tapi di rumah, ”Kartini zaman reformasi” itu tetap seorang istri dan ibu bagi anak-anak.
COBAAN panjang dari Tuhan telah ”memaksa” dr Faida menjadi perempuan perkasa seperti sekarang ini. Berawal dari meninggalnya sang ayah, dr Musytahar Umar Thalib, tahun lalu (30/11/2009). Hanya berselang sebulan, sang kakak pertamanya, dr Asyhar, meninggal karena sakit. Sebelumnya, adik lelakinya, Mumtaz, meninggal dunia dalam kecelakaan menjelang diwisuda sebagai dokter muda di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Faida adalah putri ketiga di antara lima bersaudara pasangan almarhum Musytahar Umar Thalib dan Widad Thalib. Sepeninggal ayah, kakak, dan adik lelakinya, keluarga dokter itu kini tinggal beranggota tiga wanita. Yakni, sang ibu, Widad Thalib; sang kakak, Mustafida; dan Faida. Mustafida sudah punya kesibukan sendiri di Surabaya bersama keluarganya sehingga hanya Faida dan sang ibu yang harus mengelola sejumlah usaha keluarga di Jember dan Banyuwangi.
Faida, mau tidak mau, harus mengelola dua rumah sakit swasta cukup besar yang didirikan ayahnya dan tiga lembaga pendidikan yang sudah maju. Dua rumah sakit itu adalah RS Al Huda, Genteng, Banyuwangi, dan RS Bina Sehat, Jember. Sebelumnya, RS Al Huda dipimpin almarhum dr Asyhar, kakak Faida.
”Bagaimana lagi, saya harus bolak-balik Jember-Banyuwangi untuk mengurus kedua rumah sakit itu. Tapi, harinya tak pasti. Lihat kondisi,” ujar Faida.
Selain mengurus dua RS, Faida menjadi direktur BSTC (Bina Sehat Training Centre) Jember. Lembaga itu menangani peningkatan kualitas dan pendidikan para perawat yang hendak berangkat ke luar negeri, khususnya ke Arab Saudi dan Kuwait. Faida terobsesi mencetak perawat-perawat profesional yang layak bekerja di luar negeri. Untuk mengurusi lembaga itu, Faida rela pontang-panting Jember-Jakarta di sela-sela kesibukannya mengelola dua rumah sakit tersebut.
”Saya sama sekali tidak pernah membayangkan akan mengalami semua ini. Ini amanat yang berat sekali,” kata wanita kelahiran Malang, 19 September 1968, itu.
Memang, Faida sempat merasa kebingungan ”ketiban sampur” mengurusi usaha keluarganya yang sudah berkembang tersebut. Namun, dia akhirnya yakin mampu menangani semua itu setelah sang ibu terus mendorong dan mendukungnya.
”Umi (panggilan Faida kepada ibunya, Red) bersedia membantu saya mengurus semua. Bahkan, beliau menjadi partner yang luar biasa,” katanya.
Selain ibu, sang suami, Abdul Rochim, yang berprofesi sebagai dokter gigi dan staf pengajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember menyokong penuh karir Faida.
”Kami profesional. Di kantor, umi manajer saya. Di rumah, beliau ibu saya. Semua sudah pada tempat masing-masing,” kata lulusan terbaik Magister Manajemen Rumah Sakit (MMR) Pascasarjana UGM pada Mei 1998 itu.