Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Kisah dr Faida yang Menjadi Direktur di Tiga Tempat

16 Oktober 2011   10:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:53 6122 1
Dokter Faida MMR memang bukan dokter biasa. Dia mempunyai banyak jabatan dan peran. Di antaranya, menjadi direktur dua rumah sakit, direktur lembaga pendidikan perawat, serta mengelola tiga lembaga pendidikan di Jember dan Banyuwangi. Tapi di rumah, ”Kartini zaman reformasi” itu tetap seorang istri dan ibu bagi anak-anak.

COBAAN panjang dari Tuhan telah ”memaksa” dr Faida menjadi perempuan perkasa seperti sekarang ini. Berawal dari meninggalnya sang ayah, dr Musytahar Umar Thalib, tahun lalu (30/11/2009). Hanya berselang sebulan, sang kakak pertamanya, dr Asyhar, meninggal karena sakit. Sebelumnya, adik lelakinya, Mumtaz, meninggal dunia dalam kecelakaan menjelang diwisuda sebagai dokter muda di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Faida adalah putri ketiga di antara lima bersaudara pasangan almarhum Musytahar Umar Thalib dan Widad Thalib. Sepeninggal ayah, kakak, dan adik lelakinya, keluarga dokter itu kini tinggal beranggota tiga wanita. Yakni, sang ibu, Widad Thalib; sang kakak, Mustafida; dan Faida. Mustafida sudah punya kesibukan sendiri di Surabaya bersama keluarganya sehingga hanya Faida dan sang ibu yang harus mengelola sejumlah usaha keluarga di Jember dan Banyuwangi.

Faida, mau tidak mau, harus mengelola dua rumah sakit swasta cukup besar yang didirikan ayahnya dan tiga lembaga pendidikan yang sudah maju. Dua rumah sakit itu adalah RS Al Huda, Genteng, Banyuwangi, dan RS Bina Sehat, Jember. Sebelumnya, RS Al Huda dipimpin almarhum dr Asyhar, kakak Faida.

”Bagaimana lagi, saya harus bolak-balik Jember-Banyuwangi untuk mengurus kedua rumah sakit itu. Tapi, harinya tak pasti. Lihat kondisi,” ujar Faida.

Selain mengurus dua RS, Faida menjadi direktur BSTC (Bina Sehat Training Centre) Jember. Lembaga itu menangani peningkatan kualitas dan pendidikan para perawat yang hendak berangkat ke luar negeri, khususnya ke Arab Saudi dan Kuwait. Faida terobsesi mencetak perawat-perawat profesional yang layak bekerja di luar negeri. Untuk mengurusi lembaga itu, Faida rela pontang-panting Jember-Jakarta di sela-sela kesibukannya mengelola dua rumah sakit tersebut.

”Saya sama sekali tidak pernah membayangkan akan mengalami semua ini. Ini amanat yang berat sekali,” kata wanita kelahiran Malang, 19 September 1968, itu.

Memang, Faida sempat merasa kebingungan ”ketiban sampur” mengurusi usaha keluarganya yang sudah berkembang tersebut. Namun, dia akhirnya yakin mampu menangani semua itu setelah sang ibu terus mendorong dan mendukungnya.

”Umi (panggilan Faida kepada ibunya, Red) bersedia membantu saya mengurus semua. Bahkan, beliau menjadi partner yang luar biasa,” katanya.

Selain ibu, sang suami, Abdul Rochim, yang berprofesi sebagai dokter gigi dan staf pengajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember menyokong penuh karir Faida.

”Kami profesional. Di kantor, umi manajer saya. Di rumah, beliau ibu saya. Semua sudah pada tempat masing-masing,” kata lulusan terbaik Magister Manajemen Rumah Sakit (MMR) Pascasarjana UGM pada Mei 1998 itu.

Menurut Widad Thalib, dirinya harus membantu Faida mengurusi rumah sakit peninggalan abah, almarhum Musytahar Umar Thalib. ”Dia satu-satunya anak yang mengurusi rumah sakit dan lembaga pendidikan sekaligus. Kasihan kalau ditinggal sendirian,” kata wanita sepuh itu.

Bagi Faida, menjadi seorang pemimpin bukan untuk gagah-gagahan dan prestise. Yang lebih penting, posisi dan peran itu bisa memberikan manfaat bagi orang lain, seperti harapan orang tuanya ketika memilihkan nama Faida yang berasal dari kata faedah. ”Orang tua saya berharap saya menjadi orang yang bermanfaat untuk banyak orang.”

Faida mengaku kini mewarisi semangat dan filosofi yang dipegang ayahnya saat memimpin sesuatu. ”Kalau kamu merasa bingung apakah ini benar atau salah, ini mulia atau tidak, ukurannya cuma tiga. Baik, benar, dan betul. Kalau sudah baik, benar, dan betul, jangan takut untuk melangkah. Kalau ada satu saja di antara tiga unsur tersebut yang tidak terpenuhi, kamu mundur dulu satu langkah,” papar Faida menirukan pesan sang abah.

Pesan ayahandanya yang sarat makna itu tak mungkin dilupakan Faida. ”Kemurahan Allah yang luar biasa, saya punya bapak seperti abah (Musytahar Umar Thalib, Red),” ungkap Faida tentang ayahnya.

Dia mengakui, gemblengan yang diberikan ayahnya kadang terlalu berat. ”Saya pernah diuji main catur menggunakan dua papan sekaligus. Papan satu dimainkan, satu lagi dijalankan. Saya harus berpikir dua-duanya sekaligus,” ujarnya.

Ternyata, kata dia, gemblengan tersebut merupakan sarana bagi dirinya dalam mengatasi berbagai masalah pada waktu bersamaan. ”Manfaatnya benar-benar saya rasakan ketika saya menjadi dokter dan mengelola rumah sakit,” tegasnya.

Abahnya juga berpesan kepada Faida agar tidak cepat puas. Semua pekerjaan harus dituntaskan secara maksimal. ”Kalau kamu mampu sepuluh, kenapa hanya sembilan yang dikerjakan,” ujarnya menirukan ucapan ayahnya.

Tak hanya itu, awal-awal berdirinya dua rumah sakit swasta yang kini dikelola Faida itu tak semudah membalik telapak tangan. Banyak hambatan yang harus dihadapi. Namun, kata Faida, abahnya selalu memberikan semangat dan dorongan sebagai perintis rumah sakit tersebut.

”Jadi perintis itu sudah takdir. Bersyukurlah kalau diberi kesempatan berjuang dan merintis. Rasanya nikmat tiada tara. Peluang menjadi perintis itu patut kamu syukuri,” kata Faida menirukan pernyataan abahnya.

”Dan itu saya lihat dan rasakan sendiri sekarang. Tidak peduli ukurannya besar atau kecil,” papar penggemar yoga itu.

Menariknya, meski Faida sudah berupaya berbuat yang terbaik, abahnya jarang memuji dirinya. ”Abah tahu, bukan itu yang kau butuhkan!”

Soal kerja di mana, mau menikah dengan siapa, mau berkarir apa, ayahnya hanya memberi satu syarat. ”Satu jawaban untuk tiga pertanyaan. Miliki yang kamu cintai, cintai yang kamu miliki. Kamu ingin jadi dokter, ya cintailah dengan segala keruwetan profesi sebagai dokter,” pesan almarhum Musytahar kepada putrinya itu.

Waktu membantu ayahnya menangani RS Al Huda pada 1993, Faida juga harus membuat surat lamaran lebih dahulu. Bayarannya cuma Rp 300 ribu sebulan. Padahal, bila bekerja pada orang lain waktu itu, dia bisa mendapatkan gaji Rp 750 ribu.

”Abah bilang, kamu nanti merasakan nikmatnya merintis. Merintis itu tidak bisa dibeli, tidak bisa diminta. Merintis itu jalan hidup,” jelas ibu dua anak itu.

”Dulu saya tidak mengerti maksud abah. Abah selalu melibatkan anak-anaknya dalam pekerjaannya. Setelah berkeluarga dan punya anak, saya baru sadar, itu semua ternyata tidak sekadar bermain,” tegasnya.

Semasa kecil, kata Faida, dirinya tanpa sadar telah dibimbing dan diajari manajemen oleh abahnya dengan cara dilibatkan dalam beberapa pekerjaan. Misalnya, saat dirinya diminta membantu mengairi pohon rambutan di pekarangan rumah dinas.

”Kamu perhatikan betul dan coba lihat alirannya. Kamu kontrol dari ujung ke ujung. Ada yang macet atau tidak. Semua harus connect. Jangan pernah membiarkan rambutan ini mati karena aliran airnya macet. Termasuk yang paling pojok. Tidak boleh kamu perhatikan yang tengah saja. Tidak boleh kamu perhatikan yang dekat rumah saja. Kamu pastikan semua sampai ujung,” tutur sang ayah.

Tampaknya, abahnya waktu itu mengajari Faida akan tanggung jawab, mengajari untuk peduli, dan mengajari manajemen sekaligus. Saat diberi amanah memelihara, tidak boleh pilih-pilih. Semua harus hidup dan dilaksanakan semua.

Bagaimana dengan keluarga? Faida menjelaskan, dengan kesibukannya sekarang ini, mau tidak mau dirinya harus pandai-pandai meluangkan waktu. Tugas sebagai istri dan mengurus anak tetap harus dilaksanakan.

Kini, dua rumah sakit yang dia pimpin sedang berkembang pesat. ”Hampir tiap hari seluruh tempat tidur pasien di dua rumah sakit penuh,” katanya.

Karena itulah, Faida harus berkonsentrasi menambah jumlah tempat tidur pasien di dua rumah sakit tersebut. RS Bina Sehat sekarang memiliki 110 tempat tidur dan hendak ditambah 50 tempat tidur baru. Sementara itu, RS Al Huda yang memiliki 146 tempat tidur akan ditambah menjadi 210 tempat tidur.

Kini, Faida harus berpikir keras untuk mempersiapkan akreditasi 16 standar pelayanan di RS Al Huda. Begitu juga dengan RS Bina Sehat. ”Rumah Sakit Al Huda menjadi rumah sakit pertama di Banyuwangi yang menyediakan fasilitas diagnostik ct-scan yang bisa melayani cuci darah. RS Al Huda sekarang bertipe C plus dan akan ditingkatkan menjadi rumah sakit tipe B tahun depan,” paparnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun