Menurut Widad Thalib, dirinya harus membantu Faida mengurusi rumah sakit peninggalan abah, almarhum Musytahar Umar Thalib. ”Dia satu-satunya anak yang mengurusi rumah sakit dan lembaga pendidikan sekaligus. Kasihan kalau ditinggal sendirian,” kata wanita sepuh itu.
Bagi Faida, menjadi seorang pemimpin bukan untuk gagah-gagahan dan prestise. Yang lebih penting, posisi dan peran itu bisa memberikan manfaat bagi orang lain, seperti harapan orang tuanya ketika memilihkan nama Faida yang berasal dari kata faedah. ”Orang tua saya berharap saya menjadi orang yang bermanfaat untuk banyak orang.”
Faida mengaku kini mewarisi semangat dan filosofi yang dipegang ayahnya saat memimpin sesuatu. ”Kalau kamu merasa bingung apakah ini benar atau salah, ini mulia atau tidak, ukurannya cuma tiga. Baik, benar, dan betul. Kalau sudah baik, benar, dan betul, jangan takut untuk melangkah. Kalau ada satu saja di antara tiga unsur tersebut yang tidak terpenuhi, kamu mundur dulu satu langkah,” papar Faida menirukan pesan sang abah.
Pesan ayahandanya yang sarat makna itu tak mungkin dilupakan Faida. ”Kemurahan Allah yang luar biasa, saya punya bapak seperti abah (Musytahar Umar Thalib, Red),” ungkap Faida tentang ayahnya.
Dia mengakui, gemblengan yang diberikan ayahnya kadang terlalu berat. ”Saya pernah diuji main catur menggunakan dua papan sekaligus. Papan satu dimainkan, satu lagi dijalankan. Saya harus berpikir dua-duanya sekaligus,” ujarnya.
Ternyata, kata dia, gemblengan tersebut merupakan sarana bagi dirinya dalam mengatasi berbagai masalah pada waktu bersamaan. ”Manfaatnya benar-benar saya rasakan ketika saya menjadi dokter dan mengelola rumah sakit,” tegasnya.
Abahnya juga berpesan kepada Faida agar tidak cepat puas. Semua pekerjaan harus dituntaskan secara maksimal. ”Kalau kamu mampu sepuluh, kenapa hanya sembilan yang dikerjakan,” ujarnya menirukan ucapan ayahnya.
Tak hanya itu, awal-awal berdirinya dua rumah sakit swasta yang kini dikelola Faida itu tak semudah membalik telapak tangan. Banyak hambatan yang harus dihadapi. Namun, kata Faida, abahnya selalu memberikan semangat dan dorongan sebagai perintis rumah sakit tersebut.
”Jadi perintis itu sudah takdir. Bersyukurlah kalau diberi kesempatan berjuang dan merintis. Rasanya nikmat tiada tara. Peluang menjadi perintis itu patut kamu syukuri,” kata Faida menirukan pernyataan abahnya.
”Dan itu saya lihat dan rasakan sendiri sekarang. Tidak peduli ukurannya besar atau kecil,” papar penggemar yoga itu.
Menariknya, meski Faida sudah berupaya berbuat yang terbaik, abahnya jarang memuji dirinya. ”Abah tahu, bukan itu yang kau butuhkan!”