Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Lainnya - ASN di KLHK

Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Parman (8)

20 Januari 2022   19:15 Diperbarui: 20 Januari 2022   19:38 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

"Andragogi adalah ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Orang dewasa disini tentunya sudah mandiri dan mampu mengarahkan diri sendiri. Oleh karena itu, dalam metode ini yang penting adalah adanya proses interaksi belajar secara mandiri dan peran guru sudah tidaklah banyak," kata salah satu narasumber pada hari pertama Penataran P4 di Ruang HTI, Fakultas Kehutanan (FKT) UGM.

"Jadi tidak berlaku lagi cara belajar di SMA di sini. Tidak hanya nanti pas kuliah, tapi termasuk dalam Penataran P4 ini," lanjut pria berambut putih.

Dalam Penataran P4, teman-teman yang masuk dengan jalur Penjaringan Bibit Unggul Daerah (PBUD) relatif lebih vokal dan percaya diri saat diskusi. Aku catat nama Yayan dari Bengkulu, Bewi dari Lampung, Agus dari Sulteng, Kariamansyah dari Aceh, dan Amet dari NTB sering mengacung untuk bertanya atau mengkritisi sesuatu.

Mereka tentu bisa lolos di daerahnya tidak hanya pinter saja dalam pelajaran sekolah, pasti punya prestasi non akademik dan sering tampil di depan umum. Yang aku heran, kenapa Retno yang dulu aktivis OSIS di SMAku belum menunjukan kelasnya. Apakah karena dia sekolah di Jogja sehingga memilih diam?

Setelah penutupan, kami diminta tetap tinggal di ruang yang memiliki 4 pintu masuk, 2 di kanan dan 2 di kiri. Tiba-tiba ada suara keras dari balik 4 pintu, "GUBRAKKKKKK!!!!

Dan seketika masuklah para senior berpakaian kebesaran berupa planel dan celana blue jeans dengan membentak-bentak kami yang ada di ruangan. "Apa kamu, tadi ketawa-ketawa!!!" salah satu senior "Maju sinih!!! Cepat......!!!" dengan suara sangat keras memintaku maju.


"Iya mas...iya mas...." Teriak ku.

"Apa kau pangil aku Mas. Kangmasmu po!!" teriak senior yang lain tepat di telinga kananku.

"Ayo pust-up 30x kau!!!" perintah yang lain. "Baru masuk UGM aja kau sudah ketawa-ketiwi. Bangga ya kau bah......!!!" dengan logat Bataknya yang kental.

Ternyata tidak hanya aku yang disuruh maju. Dari 4 pintu mungkin lebih dari 20 senior masuk berteriak-teriak, memukul-mukul kursi dan meja di depannya, serta menghukum para juniornya tanpa ampun.

Tidak hanya yang cengar-cengir yang kena damprat, tapi mereka seperti mencari-cari kesalahan jeniornya. Ada yang gara-gara lengan bajunya dilinting, tidak pake dasi karena dirasa acara sudah selesai, rambut gondrong dan tidak rapi. Teman wanita juga tidak lepas dari "siksaan" mereka, misalnya rambunya yang dikucir. Hal sepele bukan?

Siksaan ini berlangsung sekitar 1 jam lamanya. Dalam kondisi mencekam seperti ini tentu 1 jam bagaikan sehari bukan?

Sebelum pulang ada pengumuman dari seorang yang berkulit item, kurus dan berambut agak keriting. Dia memperkenalkan dirinya bernama Marwoto dan mengaku sebagai ketua OSPEK. "Dengarkan!!! Ini ada beberapa tugas yang harus kalian selesaikan malam ini. Catat sekarang juga. Aku hanya mengulangi 1 x saja. Yang tidak mencatat dengan benar, tanya sama temannya," tegasnya dengan suara keras pake TOA.

Kamipun gelagapan mencari kertas dan pensil untuk mencatat apa saja tugas yang akan diberikannya. "Saya hitung sampai 10. 1.....2....3....4....5...6....7....8....9.....10!"

Kemudian senior perempuan membacakan tugas-tugas yang harus diselesaikan malam ini dan harus dikumpulkan besok pagi jam 6 pagi. Tugas itu antara lain: 1. Laki-laki rambut dipotong cepak maksimal 2 cm; 2. buat papan nama ukuran 20 x 30 cm bertuliskan nama lengkap dari kayu sengon; 3. Baju warna putih bawah hitam; 4. Berkaos kaki sepak bola kanan dan kiri warna yang berbeda; 5. Memakai topi dari kukus nasi yang talinya dari raffia ditengahnya dikasih korek api; dan 6. Ketik berita RRI jam 24.00 WIB dan setiap berita diketik selang-seling dengan pita warna merah dan hitam.

"Kemarin sore itu baru pemanasan bro," kata Joko orang Pati anggota kelompok Tectona grandis bersamaku dan 8 orang lainya.

"Pemanasan aja seremnya kayak gitu, apalagi besok ya? Tanya Arin, mahasiswi dari jalur PBUD Jakarta.

"Wis dijalani ae lah. Wong podo-podo mangan sego kok cah," jawab Kasno asal Klaten.

Kelompok Tectona grandis, nama latin dari pohon Jati bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang berat dengan waktu yang terbatas untuk diselesaikan. Untung saja ada ada aku yang sekolah SMA di Jogja dan Komsatun anak asli Jogja sehingga sedikit tahu tempat barang-barang yang harus dibeli.

Untuk tugas terakhir mengetik berita RRI jam 24.00 WIB selang-seling dengan pita warna merah dan hitam untuk memudahkan beristirahat, maka dibagi 2 tim kecil. Sub kelompok putri di kosnya Arin yang terletak di Swakarya, sedangkan pria di kosnya Joko di Samirono. Radio dan mesin ketik pinjam sama pak kosnya Joko yang kebetulan sebagai pak RT.

Untuk istirahat, kami bergantian dan tugas selesai sekitar jam 02.00 WIB. Tak terasa suara azan subuh berkumandang. Setelah sholat subuh dan mandi secara bergantian di depan kos Joko ada warung makan yang sudah buka pukul 05.00. Mungkin tahu banyak anak kos peserta OSPEK yang membutuhkan sarapan lebih awal.

Kami berangkat berboncengan sepeda motor dan sesampai di gerbang masuk Bundaran UGM diminta turun. "Kalian dari Kehutanan ya!!!" bentak salah satu Raka yang aku kenal wajah dan suaranya yang melingking.

"Ya Raka," jawab kami kompak dan pelan dengan rasa takut yang mulai mencekam.

"Tiarap semua!!!!!" kata Raka yang bertubuh tinggi besar. "Tahu enggak, apa kesalahan kalian?!!!!!" bentaknya lagi.

Kami pun hanya diam seribu bahasa sambil berpikir apa sih letak kesalah kami. Semua tugas sudah dikerjakan dengan kerja keras dan terkantuk-kantuk. "Tahu ini jam berapa?" Tanya Rakanita agak lembut.

Kami yang bawa jam segera melihat jam tanganya masing-masing. Joko pun memberanikan diri untuk menjawab,"jam 6 lebih dikit Rakanita."

"Harusnya jam berapa sudah sampai di gerbang kampus ini?"

Lama tidak ada yang berani menjawab, maka suara keraspun kembali terdengan,"Jam berapa?!!! Suara pria bersuara lengkin itu membahana."Ayo....... jawab!!!"

"06.00," jawab kami kompak.

"Kalian tadi telat 30 detik. Mau cuman 1 detik, kalau telat, ya tetap telat. Jadi kamu harus dihukum push-up 30 x sekarang dan hitung yang kompak!!!"

Kami pun menghitung sambil push-up secara bersama-sama. Setelah itu kami diperintahkan lari ke Gedung FKT dan motor ditinggal di parkiran Gelanggang. Sepanjang jalan dari gerbang selatan UGM sampai Gedung FKT hampir tiap 25 meter ada Raka dan Rakanita berpakaian planel tanda senior dari FKT.

Kabar kekerasan fisik dan mental di FKT melebihi rata-rata fakultas di UGM sampai ke telinga Anies Rasyid Baswedan selaku Ketua Senat UGM. Saat mengunjungi FKT, Anies diterima oleh Gadang Pamungkas, ketua BEM FKT, Rimbawanto, ketua Senat FKT dan Marwoto. Mereka berdialog. Ada informasi bahwa suasana dialog agak panas, karena Marwoto tidak mau dicampuri oleh Senat Universitas.

"Ini urusan internal kami. Saya siap bertanggungjawab jika ada apa-apa di sini," kata Ketua panitia OSPEK FKT.

Akhirnya, OSPEK Universitas dan Fakultas sebentar lagi akan berakhir. Suasana 5 hari yang tegang dan mencekam tiba-tiba mencair. Para Raka dan Rakanita yang sebelumya teriak-teriak penuh kebengisan berubah 180 derjat jadi baik dan murah senyum.

OSPEK 1992 ditutup oleh Dr. Ir. Agus Setyarso, "OSPEK yang Anda ikuti selama 5 hari ini menggambarkan betapa beratnya tugas rimbawan kelak jika sudah bekerja di dunia kehutanan. Jadi aku pesan sama Gadang, Rimawanto, dan Marwoto untuk mengajari bagaimana menghadapi dunia kehutanan masa depan yang sangat keras itu di OSPEK ini," kata Pembantu Dekan III (Bidang Alumni dan kemahasiswaan).

Dibalik kesadisan para senior, ternyata ada beberapa cerita lucu yang dialami teman-temanku. Misalnya Arin yang berparas cantik sekelompok denganku yang Nampak sekali jadi incaran para senior yang garang itu dikata-katain, "Kamu tu sebagai rimbawan gak usah dandan terlalu menor. Kalau ke hutan ditaksir monyet kapok tuh!!!" Kamipun menahan tawa takut dihukum senior. Dari jauhpun para Raka dan Rakanita menahan ketawa juga tapi mereka harus Jaim dengan kita.

Cerita lucu yang lain, Gunar yang seharusnya mematuhi untuk memotong rambut pada hari pertama tetap memilih gondrong. Ketika mau dihukum dia lari keluar Kampus dan menyetop bis kota pulang ke kos dan sampai hari terakhir tidak ikut OSPEK. Hal ini juga diakui AG. Heru, asli orang Bantul, pada hari pertama ikut sampai selesai, sedangkan hari selanjutnya sampai hari terakhir memilih tidak ke kampus dan malah tidur di rumah.

Mendengar cerita Gunar dan AG. Heru tersebut Si Oka dari Semarang nyeletuk, "asssuuuuuuu....Ngertio ngono aku yo melok mulih cah. Hahahahaha."

"Hooh, asemik, ternyata do turu ngomah to?" Tambah Picus sambil mecucu.

Setelah penutupan oleh PD III, para Raka dan Rakanita membaur dengan para Gamawan dan Gamanita yang telah digojlok habis-habisan selama 3 hari di FKT. Kami baru tahu nama-nama Raka yang super galak seperti Joshua dengan suara khas yang melengking. Hardi Silaen yang logat Bataknya sangat kental, dan Reza yang berposter tinggi besar dan bermuka seram.

Sesampainya di kos pada hari penutupan OSPEK, aku rebahkan tubuhku di kasur. Badanku sangat pliket dan berbau penguk karena belum mandi tapi serasa di surge saat kepala bertemu bantal. Gimana tidak, seminggu lebih mengikuti penataran P4 dilanjut dengan OSPEK dengan tugas bejibun dan harus diselesaikan sampe larut malam tentu kurang tidur. Pagi-pagi harus ke kampus untuk digojlok tanpa ampun membuat tulang-tulang rusukku seperti lepas dari badan yang lemah letih dan tidak bertena.

Jam 2 aku ngelilir dan sadar belum sholat isyak. Ku kuatkan mata yang masih berat ini untuk terbuka dengan menyebut nama-Nya. Habis ngisyak aku pun terkapar lagi melanjutkan tidurku. Ngelilir yang kedua ketika azhan subuh berkumandang. Ku tarik selimut lagi setelahnya dan terbangun pukul 09.00 karena perut sudah melilit minta sarapan.

Menjaga sholat 5 waktu ini adalah pesan ibuku waktu akan berangkat ke Joga setelah ada kepastian diterima di SMAN 7 Jogja. "Neng kono koe gak ono sedulur. Welingku ming sitok, jaga sholat 5 wektumu yo le."

Kampus UGM pada era 90-an saat aku masuk, masih terasa sebagai kampus kerakyatan. Jika waktu itu ada survey tentang tingkat perekonomian para orang tua mahasiswa se-UGM, bisa jadi hasilnya mayoritas dalam katagori menengah ke bawah.

Semester awal kosku di Karanggayam bersama 4 teman seangkatanku. Teman-teman kos sepakat dan sepersetujuan pak kos dinamai "Jejaka 22." Nomor 22 itu diambil dari nomor rumah di pinggir jalan kampung yang menghubungkan Jalan Kaliurang di Barat dan Gejayan di Timur.

Kosku ini sebangunan dengan rumah pak kos yang terpisahkan tembok. Ada 7 kamar yang disekat triplek yang masing-masing berukuran 2 x 2,5 meter. Karena disekat triplek, tiap aktifitas tetangga kamar bisa terdengar oleh sebelahnya seperti mendengkur, suara radio, dan suara-suara yang lainya, apalagi di malam yang sunyi. Kamar mandi hanya ada 2, sehingga tiap mandi pagi dan sore selalu antri.

Dari 7 kamar, 5 kamar diisi oleh teman-teman angkatanku, sedangkan 2 yang lain dari Fakultas Sospol dan Teknologi Pertanian. Semester I sampai IV kami masih runtang-runtung karena belum penjurusan. Semester 5, aku, Ruslandi, Maman, dan Sugeng masuk jurusan Manageman Hutan sedangkan Yayan ke Budidaya Hutan.

Dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di kota-kota lain di Jawa, biaya hidup di Jogja masih relatif murah. Demikian juga dengan SPP dan biaya lain-lain seperti praktikum, praktek lapangan masih relatif terjangkau karena ada subsidi dari pemerintah maupun alumni. Uang pangkal pun tidak ada, seingatku cuman bayar uang jaket almamater, biaya penataran P4 dan OSPEK.

Sebagai gambaran, SPPku Rp. 120.000/semester, kos juga masih dapat yang Rp. 100.000-an/tahun. Selain angkringan di malam hari, warung makan Sederhana yang terletak di utara Selokan Mataram untuk makan pagi dan siang juga cukup terjangkau. Nasi sepiring dengan lauk sayur pake telor dadar dan minum es teh, cuman Rp. 500.

Biaya hidup yang relatif murah ini tentu berlaku bagi mahasiswa kebanyakan yang orang tuanya tergolong kelas menegah. Jika suka nonton film di bioskop apalagi kalau sudah berani pacaran, tentu itung-itungan tadi tidaklah berlaku.

Saat malam minggu setelah OSPEK, tepatnya jam 10-an malam aku dengar dari kamarnya Sugeng terdengar suara radio RRI Jogja sedang siaran wayang kulit. Aku yang masih sulit tidur mendodok kamar Sugeng dan ternyata dia juga masih terjaga.

Bersambung......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun