Suku Suku Baru dalam Masyarakat Sipil IndonesiaÂ
Sempat muncul persepsi bahwa media sosial (medsos) lebih bising daripada realitas politik yang ada. Ini tidak bisa dipersalahkan, karena politisi yang menjadi corong politik di media arus utama dan media sosial tetap kencang dalam membangun persepsi.
Di tengah suasana penantian masa pelantikan Presiden terpilih Jokowi dan paripurna DPR masa kerja 2014-2019, terjadilah isu pansel pimpinan KPK yang dianggap bermasalah dan revisi UU KPK, yang dilakukan tanpa konsultasi publik. Polemik muncul dan suku bertambah karena teepecah. Bahkan, Cebong juga terbelah. Pro revisi dan jintra revisi UU KPK.Â
Polarisasi terus berlanjut, terutama karena adanya sentimen radikalisme yang dianggap ada dalam tubuh KPK. Beberapa 'buzzer' pendukung pemerintah dan DPR menggunakan sentimen itu untuk melemahkan KPK.
Isu revisi UU KPK sebenarnya bisa membuat masyarakat sipil bersatu. Tetapi tidak. Polarisasi makin tajam.
Dan, masyarakat sipil terpana ketika Prabowo diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Mereka mempertanyakan tentang relevansi hiruk pikuk di tingkat masyarakat, sementara elit politijkberdamai. Tapi, bukan berarti polarisasi berhenti. Suku suku tetap bersahutan. Bergerombol.Â
Jadi, sebetulnya ada apa di masyarakat sipil kita?
Apakah masyarakat sipil sadar bahwa pembentukan suku suku baru tak menguntungkan demokrasi di tengah pelemahan gerakan anti korupsi dan pelanggaran HAM.
Sejarah Suku Baru di Dunia
Di masa pembentukan demokrasi di Atena, reformasi di kalangan masyarakat sipil membentuk apa yang disebut "phylai"atau suku. Ini adalah bentukan dari kekuatan aristrokrasi. Kala itu, keanggotaan suku membutuhkan pendaftaran berdasar peran peran lama yang diturunkan, maupun peran barunya.
Terdapat suku the Boule (senat). Namun terdapat kompetisi di antara pasukan perang, kelompok seni, kelompok olahragawan yang ada di wilayah itu. Terdapat suku suku yang punya 'previledge' karena akses yang lebih besar pada sumber daya tertentu, seperti tanah.