Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Per-Buzzer-an dan Suku-suku Baru di Masyarakat Sipil

12 Oktober 2019   11:00 Diperbarui: 13 Oktober 2019   22:11 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : alvemiaonline.com

Per'buzzer'an Sebagai Sektor yang Trennya Masih Meningkat 

Revisi UU KPK mampu membuat dinamika berbeda di masyarakat sipil Indonesia.

Saya, warga sipil pengguna media sosial yang libur 8 bulan dari Facebook pun kembali menelusuri platform ini.

Dan, saya terpana.  

Riuh rendah itu begitu beragamnya. Gamang kita mencatat sisi kualitas maupun kuantitas dari postingan yang ada. 

Apalagi bila postingan dihubungkan dengan latar belakang pendidikan pemilik akun. Kadang kadang membuat kening berkerut.

Soal Denny Siregar, sudahlah, tidak usah kita bahas lagi. Saya telah menulis tentangnya beberapa minggu yang lalu. Analisanya soal Taliban di dalam KPK sempat 'ditelan' mentah mentah dan hidup hidup di kalangan publik. 

Lalu, pada akhirnya publikpun menilai bahwa buzzer jenis ini adalah masuk golongan istimewa. Apalagi bila kemudian dianggap punya akses data lebih dini dari info POLRI dan juga kebal hukum ketika infonya ternyata dinyatakan tidak valid.  

Yang menarik, bermunculan banyak unggahan dari kawan, baik mantan aktivis 98 maupun yang masih aktif menjadi aktivis, yang lulusan SMA maupun lulusan S3, yang tulisan dan komentarnya merupa buzzer atau influencer.

Saya bukan hendak mengecilkan kualitas buzzer. Namun ada ciri ciri buzzer yang bisa diamati. Mereka sering nampak terperangkap pada kegairahan politik praktis, gunakan bahasa bombastis dan provokatif, dan juga kadang tak menyertakan analisis dan data yang memadai.  

"Twisting" ide dan perspektif kadang ditemukan. Padahal mungkin  terdapat aspek yang sebetulnya telah jelas posisinya. 

Akibatnya, ditemukan pandangan yang 'keluar' dari prinsip, konsep, praktek maupun bukti empiris tentang nilai yang dipertahankan dalam berdemokrasi dan tata kelola yang bertanggung jawab. Misalnya, bagian dari masyarakat sipil mengamini proses revisi undang undang KPK yang dilakukan senyap tanpa konsultasi publik. 

Juga, alasan menjaga NKRI dimunculkan tanpa penjelasan. NKRI penting sekali, namun ini tidak bisa hanya sebatas norma. Ini jadi mirip jaman ketika nenek ingatkan saya ketika pergi bersama teman lawan jenis "Jangan hamil. Ati ati. Jangan hamil". Itu bisa berulang dikatakan setiap saat saya pergi. Bayangkan rasanya. Dan bila kalimat yang sama diucapkan di jaman now kepada millenial, mereka mungkin lelah dan mual. Mereka mungkin akan lebih paham dan nyaman dengan cara penyampaian yang berbeda. Ini sama dengan bicara soal NKRI. Kita semua sepakat, NKRI itu penting. 

Hal yang menggelitik terkait pandangan di masyarakat sipil kita adalah ketika seorang mantan aktivis 98 yang bergelar S3 lulusan hukum salah satu negara Eropa dengan keras mem'bully' gerakan mahasiswa yang berdemo menolak revisi UU KPK. Ia mengomentari setiap gerak mahasiswa, termasuk  detil substansi yang muncul dalam wawancara BEM beberapa universitas di media televisi.  Juga, ia melecehkan soal tuntutan masyarakat pada penerbitan Perppu. Lucunya, komentar yang ia tulis berbeda betul dengan apa yang ada sebagai fakta. Ada apa ya? Apakah ia influencer? Atau buzzer? 

Buzzer memang tugasnya mengundang kerumunan. Kerumunan ini, sayangnya, bukan hanya sekedar membangun opini, tapi juga sering makin mendorong polarisasi

Coba kita cermati tanggapan pimpinan redaksi Tempo tentang buzzer yabg belakangan menyerang Tempo. 


Majalah Tempo disebut sebagai Tempo Taliban karena dianggap membela KPK. Tempo menjelaskan bahwa sebagai sebagai media, mereka menyoroti gerakan korupsi yang melemah karena KPK sebagai lembaga yang dipercaya publik untuk mengemban mandat anti korupsi digembosi secara bersama oleh DPR dan pemerintah melalui revisi UU KPK. t

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifl mengatakan bahwa buzzer yang mendengung pada umumnya anonim. Mereka tidak gunakan identitas aslinya. Ini dianggap sulit dari sisi pertanggungjawaban ketika apa yang disampaikan memuat informasi yang salah atau memelintir fakta. 

Memang buzzer bekerja berdasarkan jumlah kerumunan. Mereka menarge jumlah 'like' maupun 'retweet'. Kerumunan itupun punya topik dan pandangan berbagai.

Ketika buzzer dipakai oleh penguasa, baik itu pemerintah ataupun parlemen, maka persoalan muncul. Gerak pemerintah dan parlemen yang seharusnya kita pantau akuntabilitasnya menjadi tidak jelas. 

Sering kita temukan buzzer menyerang media yang meliput pemberitaan terkait seorang tokoh pemerintah atau politik tertentu, yang disebut oleh Arif Zulkifli sebagai ' to kill the messanger' atau membunuh pengirim pesan dan bukan membunuh pesannya. Juga, buzzer mendorong komentar publik pada atribusi dan bukan pada isu. 

Kita bisa baca artikel di Reuter di bulan Maret 2019 terkait akun 'Janda' di media sosial yang seakan merepresentasikan perempuan tanpa suami yang setiap hari mendengung untuk mendukung salah satu paslon pilpres pada masa Pemilu 2019. 

Uniknya, pemilik akun 'Janda' adalah seorang laki laki 'single', bekerja untuk mempengaruhi sekitar sejuta audiense seminggu melalui konten. 

Pemilik akun ini bekerja di ladang media sosial FB dan Twitter dan mengatakan bahwa cara kerjanya di area abu abu dilindungi hukum. Dia tidak melakukan hal illegal. Adalah legal memiliki akun dengan identitas palsu. Tetapi memuat berita palsu adalah illegal. Namun, ini sulit dikendalikan.Dan,  buzzer memang bekerja untuk berbagai pihak. 

Buzzer sendiri adalah entitas netral. Bisa baik maupun kurang baik, tergantung dari konten yang diangkatnya. 

Studi menunjukkan bahwa isu yang diangkat buzzer seringkali juga jadi pengungkit materi media arus utama untuk meningkatkan posisi isu menjadi viral. Oleh karenanya, sering kali ini menenggelamkan isu utama yang ada di masyarakat karena popularitas dan banyaknya isu yang ada di media. 

Ironisnya, kelompok yang terpengaruh buzzer menganggap normal apa yang seharusnya tak normal. Dukungan pada kader partai PDIP yang berlaku tidak sopan dan menyebut "sesat" pada Prof Dr Emil Salim di acara Mata Najwa hanyalah satu contoh.  Apakah demokrasi  beradab kita sudah mati?!.

Padahal jelas jelas Prof Emil Salim berkata soal korupsi yang menggila di ranah politik di hampir semua lapisan. Dan ini berdasar hasil studi "Democracy for Sale :  Elections, Clientelism, and the State in Indonesia oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot" terbitan Cornell University pada 2019

Persoalan "clientelism" yang ditengarai oleh adanya "tim sukses" yang merupakan tim adhoc yang ada di tiap kandidat, baik calon anggota parlemen dan eksekutif membuat sulitnya memotong hukum timbal balik yang berpotensi mengeksploitasi relasi  dan kuasa. 

Mestinya, buku ini  jadi bacaan kita selaku masyarakat sipil. Buku ini saya sertakan pada Pustaka.  

Suku Suku Baru di dalam Proses Politik 

The New Yorker menyebut adanya kelahiran suku suku baru di masa kampanye Trump. Suku ini bukan dalam hal ideologi, partai, kelompok kepercayaan. 

Suku suku ini bukan kelompok yang memperjuangkan politik tertentu, tetapi mereka hanya butuh loyalitas yang pada umumnya untuk membangun perasaan aman. 

Suku suku ini dilabeli atribut, bukan pemikiran. Artinya, berpikir dan bertanya kritis bukan jadi bagian utama dari suku suku ini.

Mereka juga akan ‘menghukum’ anda bila anda mempertanyakan. Mereka tak segan menjadikan anda sebagai suku lain yang perlu diberi jarak. Biasanya, suku suku ini merasa memiliki kedekatan dan "previledge" pada sayap politik dan atribut tertentu.

Ini ada di A New Report Offers Insights Into Tribalism in the Age of Trump” ditulis oleh George Packer (12 Oktober 2018).

Pengalaman Amerika ini menjadikan politik di Amerika sangat berbasis kesukuan. Tren ini bukan baru tetapi makin meningkat dan makin intensif di masa Trump.

Mungkinkah kita perlu melihat pengalaman ini? Apakah suku suku terbentuk di antara kita dan kita tidak mau saling berdialog?.  Apakah suku suku itu  memberi jarak dengan suku lain dan memilih berbicara di antara anggota suku yang sama, yang diasumsikan punya ‘nilai’,  ‘pilihan’ dan 'strata' yang sama? .  Apakah suku itu dibentuk bukan lagi atas nilai nilai benar dan salah, tetapi pada kepentingan dan tujuan tertentu, dan seringkali karena fanatisme pada atribut tertentu?

By ‘nationalism’ I mean first of all the habit of assuming that human beings can be classified like insects and that whole blocks of millions or tens of millions of people can be confidently labelled ‘good’ or ‘bad’.  But secondly ­– and this is much more important – I mean the habit of identifying oneself with a single nation or other unit, placing it beyond good and evil and recognizing no other duty than that of advancing its interests (Nationalism Notes, George Orwell). 

Untuk kasus Indonesia, mungkin ini menjadi lebih menarik, terutama bila kita melihat dinamika suku suku baru ada di antara masyarakat sipil.

Adakah 'suku' yang merasa lebih setara dibandingkan dengan 'suku' yang lain?. Apakah mereka merasa lebih punya klaim untuk membicarakan isu itu dibandingkan dengan suku lain?.  Mungkinkag mereka merasa berasal dari 'trah' suku unggulan dibanding dengan suku lain? . 

Saya kuatir ini memang terjadi. Bisa dicek di FB kita. Ada berapa kerumunan dan bicara soal apa. 

Ini jadi memang mirip dengan apa yang juga ada di George Orwel yang ditulis dalam "the Animal Farm" soal 'binatang berkaki empat yang lebih setara dibanding binatang kaki empat yang lain" pada konteks pasca Perang Dunia kedua dan perang dingin. Namun, tampaknya masih relevan juga di masa kini. 

Apa yang kita bisa pelajari dari pengalaman itu?

Munculnya Suku Suku Baru dan Dampaknya pada Masyarakat Sipil 

Di tahun 1998, masyarakat sipil kita bersatu melawan kepemimpinan Suharto, sang pemimpin otoriter.

Namun, masyarakat sipil  kita di masa kini telah terbelah menjadi suku suku baru oleh politik. 

Sejak pemilu 2014, terdapat kubu yang mendukung Jokowi dan juga kubu yang mendukung Prabowo.

Pemilu 2014 dimenangkan oleh Jokowi, terutama karena Jokowi menunjukkan penolakan atas kolusi antara pemegang kekuasaan dengan pebisnis. Sementara, Prabowo dianggap masih membawa nilai nilai Orde Baru. Hati para aktivis HAM dimenangkan dengan demokrasi dan melawan sifat otoriter yang diwariskan Prabowo. Jadi, isu polarisasi pada 2014 tampak jelas. 

Di satu sisi, kelompok kelas menengah yang semula berjarak dengan politik, saat itu turut serta dalam komentar politik melalui media sosial. Ini kemajuan. Di sisi lain, apa yang terjadi lebih mirip penggalangan masa di media sosial, tanpa diskusi substansial.

Perbedaan pendapat mengerucut dalam polarisasi. Bahkan, dicatat banyak keluarga ataupun perkawinan yang terpecah karena polarisasi yang ada.

Lalu muncullah polarisasi Pilkada Jakarta 2017. Isu Islam- non Islam, juga pribumi - cina menjadi gorengan yang mengemuka. Ahli media sosial Merlyna Lim menyebut dinamika Pilkada 2017 sebagai kebebasan membenci ''freedom of hate'. 

Walau debat Pilpres 2019 warga dicatat tidak terlalu menarik,  namun, fanatisme untuk mendukung masing masing Capres sangatlah tinggi. Terjadilah suku 'cebong' sebagai pendukung Jokowi dan suku 'kampret' sebagai pendukung Prabowo. 

Sampai dengan sebelum pemilu di bulan April 2019, kita semua dan juga warga dunia mungkin heran. Bagaimana mungkin warga yang terbelah keras itu  tetap dalam suasana damai.

Namun, di bulan Mei 2019 situasi menghangat jelang pengumuman hasil pemilu oleh KPU dan pecahlah apa yang dianggap sebagai demonstrasi yang berbuntut kerusuhan pada 22 Mei 2019.

Kemenangan Jokowi dan Maruf Amin pada Pilpres 2019 dipastikan oleh KPU. Ini diikuti oleh peristiwa romantik Jokowi dan Prabowo di MRT, dan peristiwa Megawati dan Prabowo dalam 'nasi goreng' bersama.  Warganet mungkin sempat gagu. 

Sempat muncul persepsi bahwa adalah medsos yang lebih bising daripada realitas politik yang ada. Persepsi ini tidak bisa dipersalahkan, karena politisi yang menjadi corong politik di media arus utama dan media sosial tetap kencang dalam membangun persepsi. 

Di tengah suasana penantian masa pelantikan Presiden terpilih Jokowi dan paripurna DPR masa kerja 2014-2019, terjadilah isu pansel pimpinan KPK yang dianggap bermasalah tidak dan revisi UU KPK yang dilakukan tanpa konsultasi. Polemik muncul.  

Polarisasi terus berlanjut, dan bahkan memuncak dengan adanya sentimen radikalisme yang dianggap ada dalam tubuh KPK. Beberapa 'buzzer' pendukung pemerintah dan DPR punya kecenderungan menggunakan sentimen pada radikalisme untuk menjadi pintu masuk pada pelemahan KPK.

Isu revisi UU KPK mampu membuat publik melakukan tanggapan. Pada saat yang sama isu revisi UU KPK juga membuka mata kita akan adanya polarisasi yang makin tajam.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pembentukan suku suku baru menguntungkan demokrasi kita ?

Gerakan demokrasi yang anti korupsi, yang transparan, dan menjunjung HAM tampaknya makin tergerus oleh perilaku kita selaku masyarakat sipil. 

Sampai kapan kita harus percaya bahwa pelanggaran HAM, pelanggaran prinsip demokrasi dan menggembosi lembaga anti surah kita lakukan demi dan atas nama NKRI?. NKRI penting sekali, dan seharusnya terintegrasi dalam prinsip prinsip demokrasi. Namun, kesatuan dan NKRI yang mana yang kita bela, bila kita sebagai masyarakat sipil membiarkan dipecah belah oleh politik para pemegang kuasa yang memporak porandakan demokrasi kita?  

*) Refleksi diri jelang peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018.

Pustaka : SatuDuaTiga, Empat, LimaEnam, Tujuh, Delapan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun