Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Layanan Kesehatan Jiwa: Jangankan Papua, Jakarta pun Belum Memadai

8 Oktober 2019   20:14 Diperbarui: 12 Oktober 2022   14:40 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hingga kini masih sedikit sekali yang telah dilakukan oleh negara kepada warga negara dengan persoalan kesehatan jiwa. (Pixabay)

Kesehatan Jiwa di Papua

Saya sering berjalan kaki dalam setiap kali lakukan kerja lapang di wilayah Papua dan Papua Barat. 

Di tengah perjalanan, saya beberapa kali menemukan perempuan berbicara sendirian atau melakukan hal-hal yang tak biasa. 

Di wilayah dekat pasar Yotefa di Jayapura, saya juga bertemu dengan dua perempuan yang alami sakit kejiwaan dan berjalan dalam pakaian yang sangat terbatas. Bahkan, bisa diakatakan ia tidak berpakaian.

Sayangnya, publikasi Profil Kesehatan Papua yang terakhir, yaitu untuk tahun 2016 tidak memuat data formal jumlah kunjungan pasien sakit jiwa ke rumah sakit jiwa Abepura.

Namun demikian, data dari RSJ Abepura dirilis Cendrawasih Online pada awal 2019 menunjukkan bahwa pasien rawat inap dan rawat jalan dari Kota Jayapura di RSJ Abepura adalah 3.914 di tahun 2017. 

Sementara pasien dari Kabupaten Jayapura adalah 1,023. Sejumlah 6.007 orang pasien berasal dari 34 kabupaten di Provinsi Papua di tahun yang sama. Di antara jumlah tersebut, pasien skizofrenia mencapai 3.174 orang. 

Lama dan tingginya intensitas konflik yang terjadi antara masyarakat Papua dengan negara serta tingginya kasus kekerasan kekerasan terhadap perempuan karena konflik di dalam rumah tangga dan di publik berkontribusi pada tingginya kasus kesehatan jiwa perempuan Papua.

Sementara itu studi global yang memasukkan Indonesia dan beberapa wilayah Indonesia Timur, termasuk Papua juga menunjukkan korelasi positif antara tingginya kasus perempuan yang kehilangan anak karena kematian bayi ataupun keguguran dengan kesehatan jiwa. Ini merupakan indikasi yang perlu diwaspadai. 

Terkait dampak konflik yang baru saja terjadi di Papua, Liputan6 menuliskan bahwa walau suasana di berbagai wilayah Papua bisa dikatakan lebih kondusif, dilaporkan bahwa pemulihan dari trauma dirasa tetap diperlukan.

dokpri
dokpri

Seorang dokter spesialis jiwa yang bertugas di RSUD Schoolo Keyen, Papua Barat melaporkan bahwa terdapat persoalan kejiwaan ditemui di antara korban dari kerusuhan. Pemilih ruko yang dijarah dan dibakar, misalnya, ditemukan memiliki keluhan dan trauma (Liputan6, 7 Oktober 2019).

Untuk menangani warga Papua yang memiliki trauma dan keluhan kejiwaan, pendekatan yang dilakukan perlu menggunakan aspek budaya.

Persoalan yang kompleks terkait sebab musabab konflik tidak yang tak mudah dipahami membingungkan warga. Ditambah, terminilogi "pendatang" dan "orang asli" makin mengemuka akhir-akhir ini. 

Ini tentu membuat persoalan makin kompleks. Padahal, baik pendatang maupun orang asli Papua sama-sama menjadi korban ketika terjadi konflik. 

Namun kecurigaan bahwa orang asli Papua tidak akan mendapatkan pelayanan yang sama baiknya dengan apa yang didapat oleh orang mendatang menjadi kekhawatiran warga Papua. Ini dipahami karena kebanyakan tenaga medis memang pendatang. 

dokpri
dokpri
Persoalan yang nyata adalah ketersediaan rumah sakit jiwa dan aksesibilitasnya. Ini merupakan tantangan bagi warga di kedua provinsi karena hanya ada satu RSJ yaitu yang berada di Abepura. 

Apalagi, suatu studi tentang layanan kesehatan jiwa dari desa Wutung yang berada di perbatasan provinsi Papua dengan PNG menunjukkan lebih dekat untuk mengakses RS jiwa Dian Harapan di Abepura daripada ke RS Vanimo do PNG. 

Ini tentu memuat RSJ di Abepura menampung banyak tambahan pasien dari PNG. Dalam hal ini, transportasi adalah tantangan yang utama warga Papua untuk mendapat layanan kesehatan jiwa.

Diberitakan pula bahwa daya tampung RS Jiwa Abepura tidaklah memadai. Jumlah tempat tidur yang 104 unit tidak mampu menjawab kebutuhan yang ada. Oleh karenanya, dilaporkan bahwa terdapat pula pasien yang terpaksa dirawat harus tidur di lantai yang diberi alas kasur. (Papua Antara News, 12 Febuari 2019). 

Jadi, pasien dari kabupaten-kabupaten di Papua memang harus dikirim ke RS di Abepura karena puskesmas yang ada tidak memiliki layanan untuk kesehatan jiwa.

Tidak heran bila ditemukan cukup banyak masyarakat penyandang masalah kesehatan jiwa menggelandang di jalanan.

Karena persoalan daya tampung inilah, maka anggota keluarga yang sakit dan tidak bisa dirawat di Rumah Sakit terpaksa dirawat oleh keluarga di rumah. Ini tentu menuntut pengetahuan dasar tentang kesehatan jiwa di antara keluarga yang mendukung.

Pasien Makin Meningkat Jumlahnya, Fasilitas dan Layanan Terbatas

kemenkes
kemenkes

Data jumlah rumah sakit jiwa dan jumlah tempat tidur untuk pasien kesehatan jiwa di Indonesia menunjukkan kenaikan sejak 2015 sampai tahun 2017, namun angka itu menurun pada 2018. Ini tentu menjadi pertanyaan mengingat jumlah pasien dengan persoalan kesehatan jiwa meningkat. 

World Health Organization (WHO) pada tahun 2016 mencatat data global bahwa terdapat sekitar 35 juta orang yang mengalami depresi, 60 juta orang dengan gangguan bipolar, 21 juta orang dengan Skizofrenia, dan 47,5 juta orang dengan demensia.

Namun, data dari World Economic Forum (8 November 2018) mencatat lebih tinggi. Disebutkan bahwa, satu di antara empat penduduk dunia memiliki persoalan kesehatan jiwa.

Dengan hitungan ini, maka terdapat sekitar 45 juta warga dunia punya persoalan kesehatan jiwa mental disorder. Sementara kasus depresi mencapai angka 300 juta, persoalan schizophrenia mencapai 21 juta, dan Alzheimer sebanyak 50 juta. 

Diestimasikan, satu orang bunuh diri setiap 40 detik. Ini persoalan serius. 

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat penderita gangguan jiwa di Indonesia adalah sebesar 7 per mil rumah tangga. Artinya di antara 1.000 rumah tangga terdapat 7 rumah tangga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa atau sekitar 45.000. 

Angka ini diduga under reported, yang diduga masih adanya pelabelan negatif dan bahkan diskriminasi pada mereka dengan kasus kesehatan jiwa yang berat. Keluarga seringkali menutupi kondisi kesehatan anggota keluarga.

kemenkes
kemenkes

Persoalan terbatasnya rumah sakit dengan layanan kesehatan jiwa memang kritikal. Ini nampak dari data di atas. 

Kerugian suatu bangsa dengan persoalan kesehatan jiwa adalah tinggi. World Economic Forum mencatat bahwa selain tingkat kematian yang 20 tahun lebih muda, potensi tidak bekarja, disamping biaya pengobatannya dicatat lebih tinggi dari persoalan kesehatan karena kanker, diabetes maupun persoalan kesehatan lain. 

Diperkirakan kerugian dunia adalah 4% dari Pendapatan Domestik Bruto atau sekitar US $4 6 tiliun per tahun di tahun 2030. Ini tentu tanggung jawab negara untuk memikirkannya. Ini bukan beban, tetapi tanggung jawab.

Kesehatan jiwa adalah tanggung jawab pemerintah dan warga. Pemerintah perlu lebih serius untuk tidak mendorong atau membiarkan adanya stereotip, pelabelan negatif dan juga diskriminasi. 

Masyarakat juga perlu mendidik dirinya untuk mampu menerima anggota warga yang memiliki persoalan kesehatan jiwa sebagai bagian dari warga Indonesia yang punya hak sama.

Walaupun terdapat standard minimum pelayanan kesehatan jiwa yang diatur Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan, pemahaman masyarakat tentang keberadaan SPM ini terbatas. 

Tentu pertanyaan akan diajukan kepada pemerintah, apakah telah memadai memberikan informasi dan memastikan implementasi SPM terjadi di dalam layanan kesehatan jiwa yang ada.

Di bawah ini adalah sedikit catatan dari kajian cepat tentang kondisi layanan kesehatan jiwa yang kami lakukan:

  1. Kejelasan cakupan kesehatan jiwa dalam BPJS belum jelas dan belum diketahui masyarakat. Kalaupun bila jawabannya ada, namun bagaimana implementasi dapat dilakukan dengan perspektif hak asasi manusia yang memanusiakan manusia masih belum dapat dipastikan;
  2. Warga yang memiliki persoalan kesehatan jiwa berat seperti schichophrenia mengatakan bahwa perawatan yang menggunakan kejut listrik (ICT) dianggap tidak manusiawi.
    Seringkali kelompok schichophrenia sangat takut dirawat karena hal itu. Memang studi menunjukkan bahwa kemajuan teknologi pengobatan kesehatan jiwa sangatlah lambat. 
  3. Bangunan rumah sakit dan ruang rawat RSJ seringkali lebih mirip penjara daripada rumah sakit. 
  4. Hampir tidak ada rumah sakit yang mau menyediakan ambulans bagi mereka dengan persoalan kesehatan jiwa. Ini misalnya didasari pengalaman di masa yang lalu, di mana pasien yang tantrum dan agresif merusak peralatan kesehatan.
    Hal ini menyebabkan pasien dengan persoalan kesehatan jiwa menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari keluarga. Ini tentu tidak mudah. 

Data aplikasi keluarga sehat per 3 Oktober 2018 secara nasional menunjukkan bahwa prosentase cakupan kunjungan adalah sebesar 26,80% dengan jumlah keluarga yang di kunjungi sebesar 17.651.605, sementara penderita gangguan jiwa berat yang di obati sebesar 17,08% (Pendekatan Indikator Sehat Keluarga Sehat, 2018).

Adalah suatu realitas bahwa dampak dari gangguan jiwa yang tidak dikenali dan tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan disabilitas dan bisa menurunkan produktivitas masyarakat dan beban biaya cukup besar. 

Apalagi bila pemerintah belum mampu mendorong adanya keterbukaan lembaga pendidikan dan perusahaan yang bisa menerima warga yang memiliki persoalan kesehatan jiwa sebagai bagian dari

Profil Kesehatan 2018 mendefinisikan orang dengan masalah kejiwaan disingkat ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko gangguan jiwa. 

Sementara orang dengan gagguan jiwa di singkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. (Profil Kesehatan Indonesia 2018 hal 260). 

Gangguan jiwa dapat pula disebabkan oleh berbagai faktor seperti aktor biologis, faktor genetik, ketidakseimbangan zat di otak akibat cedera otak, penyakit pada otak dan penyalahgunaan narkoba, kecelakaan di kepala, dan sebagainya. 

Selain itu terdapat faktor psikologis seperti tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan, kepribadian kurang matang, trauma psikologis, konflik batin. 

Faktor lainnya adalah faktor sosial seperti masalah hubungan dalam keluarga, konflik dengan orang lain, masalah ekonomi, pekerjaan dan tekanan dari lingkungan sekitar, trauma pasca bencana dan lain lain.

Tentu saja diperlukan upaya pencegahan, pengelolaan melalui upaya promotif, preventif, kuratif serta rehabilitatif. Artinya. Diperlukan upaya kesehatan yang komprehensif. Ini tentu menunut adanya perlibatan serta tanggung jawab bersama.

 Apa yang Bisa Dilakukan? 
Para ahli sering mengatakan bahwa studi dan layanan kesehatan jiwa sering tidak dianggap sebagai layanan yang "seksi" dibandingkan dengan studi dan layanan kesehatan untuk HIV/AIDs, sehingga warga yang memiliki persoalan kesehatan jiwa sering harus berjuang sendiri dan hanya dengan bertumpu pada dukungan keluarga. 

Sedikit sekali yang telah dilakukan oleh negara kepada warga negara dengan persoalan kesehatan jiwa.

Yang memprihatinkan, studi global menunjukkan bahwa pengobatan sebesar US $ 1 bisa membuat warga dengan persoalan kejiwaan berkontribusi sebesar US $ 4 kepada ekonomi. Padahal sekitar 76 sampai 85% warga dengan persolaan kesehatan jiwa tidak diobat. Artinya, ini hal yang serius.

Negara berkembang seperti Indonesia rata-rata hanya mengalokasikan 0,5% dari anggaran kesehatan untuk kesehatan jiwa. Ini angka yang super kecil.

Kita sebagai bagian dari warga yang menghormati Hak Asasi Manusia hendaknya turut serta mendukung anggota keluarga dan anggota masyarakat yang memiliki persoalan kesehatan jiwa untuk mendapatkan haknya. 

Terdapat beberapa hal utama yang perlu menjadi pertimbangan yang diusulan berbagai studi, termasuk the World Economic Forum.

  • Semua aspek kesehatan pasti melibatkan persoalan kesehatan jiwa. Jadi, bila terdapat pasien dengan persoalan kesehatan, perlu pula diperhatikan apakah secara psikhologis mereka terpengaruh dari sakitnya. 
  • Jalin kerja sama di tingkat masyarakat, nasional dan global untuk mendorong perbaikan kebijakan dan layanan kesehatan jiwa;
  • Dorong kebijakan yang lebih baik yang memanfaatkan teknologi dan pendataan lebih baik untuk mendeteksi dan mendiagnosis warga dengan persoalan kesehatan jiwa.
  • Perbaiki akses layanan kesehatan mental, baik rumah sakit, SDM dan pbat maupun terapi. Ini artinya kecukupan Rumah Sakit dan jumlah tempat tidur disamping obat perlu disertai dengan harga layanan yang terjangkau. BPJS mestinya juga mempermudah layanan dan cakupan pada kesehatan jiwa. Sudah pasti, layanan asuransi swasta tidak menyediakan ini.

Ini bisa dilakukan bila kita semua punya komitmen.

Semoga peringatan Hari Kesehatan Dunia 2019 tidak hanya menjadi slogan belaka. Apakah ini juga menjadi agenda pemerintahan kita yang baru? Seharusnya iya. Dan, kalaupun tidak, ya itu pertanda bahwa memang kita belum mampu menjalankan pemenuhan hak asasi secara baik. Itu harus ktia akui, bukan? 

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun