Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Konflik Apapun Soal Papua, Perempuan dan Anak Paling Menderita

30 Agustus 2019   12:04 Diperbarui: 7 Maret 2022   06:44 7931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Anak-anak pengungsi Nduga di sekolah darurat di Wamena (bbc.com)

Hak sipil masyarakat, khususnya perempuan dan anak masih rendah. Di 2004 hanya sekitar 27% anak anak punya akte kelahiran. Sayangnya, angka cakupan sulit dipantau karena tiadanya data. 

Padahal ini adalah sebagai bagian dari hak sipil yang harus diperjuangkan untuk anak anak Papua dan Papua Barat agar mereka menjadi bagian Nusantara. Seharusnya tidak perlu lagi birokrasi yang ribet. Semua anak Indonesia diberikan Akte Kelahiran tanpa syarat. 

Pembiaran Perdagangan Miras.
Pembiaran distribusi dan konsumsi miras adalah persoalan yang dihadapi keluarga dan perempuan. Di dalam keluarga, konsumsi miras biasanya merupakan bagian dari upaya membangun kembali romantisme laki-laki sebagai 'hero' yang di masa lalu memiliki peran untuk berperang. Namun, karena pendekatan pembangunan belum/tidak memberikan opsi kepada laki laki Papua untuk mengganti peran lamanya, maka miras menjadi solusi yang berakibat banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak muncul. 

Pada diskusi nasional eksploratif "Rencana Aksi Membangun Papua Damai" yang difasilitasi LIPI pada 17 Februari 2015, Komnas Perempuan menyampaikan hasil temuannya di 28 kabupaten di kedua Propinsi. Miras merupakan pemicu terjadinya kekerasan terhadap Perempuan. Ini dituliskan dalam "Anyam Noken Kehidupan. Papua Tanah Damai". 

Perempuan Papua melaporkan bahwa miras menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga dan juga perkelahian dan konflik antar kampong. Hal ini diakui oleh institusi yang bekejra di Papua, Polda dan Kodam Cendrawasih, dan masyarakat sipil yang berpartisipasi dalam konssultasi tersebut.

Beberapa kota dan kabupaten telah membuat Perda anti miras, tetapi distributor miras dan konsumen masih banyak. Tidak ada pula tindakan tegas dari pemerintah maupun aparat kepolisian.

Perempuan, Konflik dan Kekerasan serta Budaya
Bentuk kekerasan lain yang dialami perempuan adalah adanya sanksi perkawinan adat. Bila dalam lima tahun perempuan tidak mempunyai anak, maka ia dikembalikan kepada orangtuanya dengan denda babi sejumlah nilai mahar yang telah diberikan ketika menikah dulu.

Di masa tahun 2000 an (atau bahkan sampai saat ini) masih tercatat adanya adat 'iki palek' dari suku Dani. Adat ini menuntut perempuan memotong jarinya bila mereka mengalami kehilangan karena kematian suami, anak , orangtuanya. 

Pemotongan jari ini untuk menunjukkan kesedihan perempuan. Namun demikian, adat ini membuat perempuan wilayah ini tidak bisa menenun lagi, padahal menenun kain adalah pekerjaan utamanya. Beberapa media masih menuliskan kasus ini sampai dengan Juni tahun 2019.

Konflik antara mama-mama dengan negara dan/atau aparat. Konflik ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Konflik antara petugas pasar yang mewakili aparat pemerintah dengan mama-mama karena mama mama Papua dianggap liar mengakses area pasar sering terjadi. 

Padahal persoalan tidak mampunya Pemda mendesain pasar yang sesuai kebutuhan mama-mama Papua yang memilih di lantai tinimbang di los pasar seperti di Jawa. Juga tidak adilnya akses pada fasilitas pasar yang menjadi pemicu. Konflik di pasar ini tidak berhenti di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun