Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Reformasi, Gerak Politik Mahasiswa Serta "Post" Milenial

15 Mei 2019   11:20 Diperbarui: 19 Mei 2019   10:54 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya kira ini berhubungan dengan sistem dan iklim politik di Indonesia. Carut marut politik tidak memberikan ruang pada millenial untuk bergerak. Sistem dan iklim politik Indonesia terlalu rumit dan berakar kuat pada aspek aspek yang bisa dikatakan 'terbelakang' dari kaca mata millennial. Cara berpikir yang stagnan, perilaku yang korup, gaya bahasa dan tubuh yang membosankan dari para politisi tidak menarik Millennials.

Kita bisa lihat dari munculnya caleg millenial dan millenial yang duduk di partai progresif PSI. Juga terdapat catatan gerak milenial yang melakukan perubahan dalam area sosial dan lingkungan.

Melati dan Isabel Wijsen melakukan kampanye "Bye Bye Plastic Bags" di Bali pada 2013. Gerakan ini menjadi besar dan akhirnya melobi bandara Bali untuk mengurangi penggunaan kantong plastic. Hal ini mendorong pemerintah Indonesia untuk menargetkan bebas plastik pada 2021. 

Kita ingat Greta Thunberg memimpin demo di luar parlemen Swedia untuk mendorong pemerintah lebih perduli pada persoalan perubahan iklim. Greta Thunberg yang memimpin demo di Swedia mengatakan ia melakukan itu karena orang lain tidak perduli lagi pada persoalan masyarakat.

Politisi tidak mau berpikir soal perubahan iklim padahal kita dalam krisis. Ini sebagian dari gerakan millenial di seluruh dunia untuk memperjuangkan berbagai agenda keadilan dan kesetaraan, lingkungan dan ekonomi. Millenials berpikir soal inovasi dan teknologi. Apakah ini dipahami politisi gaek? Tidak!

Kita juga melihat adanya gerakan sosial yang serius yang terlah terjadi di berbagai negara.  Terdapat paling tidak 30 orang muda yang telah melakukan gerakan dan perubahan yang ditampilkan oleh entitymag.com. Mereka adalah anak muda di bawah 17 tahun yang merubah dunia.

Di kalangan kampus di Indonesia, kita melihat millenials aktif dalam proses diskusi dan pengembangan model model yang baru di bidang ekonomi, bisnis, dan juga sosial dan lingkungan. Ini bisa dilihat dari terbangunnya bisnis di antara milenials, juga penelitian penelitian, forum diskusi lintas profesi dan pendidikan. Jadi, Millenials tidak tertarik pada politik praktis tetapi bekerja pada isu isu sosial, ekonomi dan lingkungan yang nyata dalam agenda yang mereka pilih. 

Memang ini bukan tanpa tantangan. Di beberapa universitas dicatat pula pemahaman yang tidak progresif. Atau bahkan radikal. Mereka bahkan cukup rasis dalam pandangannya. Perkembangan ini cukup meresahkan.  Ini sempat disinyalir dari suatu survai atas pandangan mahasiswa di 7 universitas negeri. Ini ada dalam.pustaka artikel ini. Studi dari Setara Institut menunjukkan bahwa radikalisme telah masuk dalam lembaga pendidikan, mulai dari Taman Kanak Kanak sampai Perguruan Tinggi secara sistematis. Bahkan lulusan perguruan tinggi yang radikal telah masuk ke DPR, di lembaga pemerintah, di lembaga swasta.  Ini mengerikan. 

Untuk itu kita perlu merekognisi keberadaan millenial sebagai kelompok yang tidak homogen. Terdapat yang liberal dan 'kekirian' yang nyata. Mereka juga patriotik. Dan bukan tidak mungkin bahwa mereka lebih relijius dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Saya menengok apa yang ada di antara generasi anak saya, dan mereka mencerminkan apa yang saya kemukakan di atas. Mereka sangat menolak rasisme. Mereka sangat tidak menyukai kebutaan sosial akan realitas adanya LGBT. Mereka menolah hoaks. Sejatinya mereka adalah generasi yang lebih 'kiri' dari 'kiri'. Lebih sosialis dari generasi baby boomers, para aktivis 'people power' 1998. 

Di sisi lain, terdapat kelompok yang telah disemangati dengan benih radikalisme di antara lapisan tertentu. Ini tantangan bagi kita semua. 

Jadi, kita perlu akui adanya keberagaman di antara Millenials. Dan, Millenia memiliki perjuangan politiknya sendiri. Yang sesuai dengan konteks di mana mereka berada. Semoga peristiwa reformasi 1998 makin dikenal luas sebagai perjuangan untuk nilai nilai demokrasi yang beragam, untuk mendukung Pancasila. Kita semua menolak lupa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun