Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Reformasi, Gerak Politik Mahasiswa Serta "Post" Milenial

15 Mei 2019   11:20 Diperbarui: 19 Mei 2019   10:54 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu Mengenang Gerakan Reformasi 1998
Minggu ini kita diingatkan kembali pada peristiwa 21 tahun yang lalu. Pergolakan jelang reformasi di tahun 1998.

Ribuan massa dan mahasiswa naik ke atas gedung MPR/DPRRI untuk meminta negara menurunkan Suharto dan menegakkan demokrasi. Ini untuk merespons krisis ekonomi dan politik nasional serta berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia dan adanya teror berupa perkosaan masal terhadap perempuan etnis Cina sebagai puncaknya. 

Sebetulnya, peristiwa Mei 1998 satu contoh penting dari beberapa contoh keberhasilan masyarakat sipil dan mahasiswa melakukan tekanan kepada negara dan masyarakat agar melakukan perubahan mendasar.

Kita tidak lupa akan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang menemukan 1.217 orang tewas, 31 orang hilang, ribuan asset dan property dibakar, dirusak dan dijarah. Sementara itu, Komnas Perempuan menemukan terjadinya 85 kasus kekerasan seksual, 52 di antarnya perkosaan dan 'gang rape' pada perempuan etnis Tionghoa. Kita tidak lupa rasa takut itu. Kita tidak lupa rasa sakit itu. Kita tidak lupa rasa marah itu.

Indonesia intuk Kemanusiaan Instagram
Indonesia intuk Kemanusiaan Instagram
Peristiwa yang terjadi antara 13 sampai 19 Mei 1998 itu seharusnyalah menjadi penanda perjuangan kita bahwa korban harus mendapat keadilan dan pemulihan.

Bila kemudian pada periode itu diakhiri dengan 'people power', wajarlah bila itu terjadi. Memang sudah keterlaluan. 

Lalu, bila kemudian belakangan ini muncul ajakan untuk adakan 'people power' dan utamanya mempertanyakan peran politik mahasiswa/mahasiswi serta generasi 'post' milenial, rasanya kita salah mengajukan pertanyaan. Pertanyaan itu jadi salah tempat dan waktu serta salah konteks.

Saya menduga 'awarenes' mahasiswa/mahasiswi tentang peristiwa reformasi 1998 terbatas. Mereka belum tentu kenal. Sementara itu, kalangan millenials masih kanak kanak ketika reformasi terjadi. Mungkin mereka ingat potongan potongan tentang kerusuhan dan terbakarnya pusat pembelanjaan. Namun mereka tak paham sepenuhnya dengan apa yang terjadi. 

Apakah Anak Kampus dan Milenial Indonesia Tidak Perduli Politik? 
Majalah TIME pada 2013 memberikan label kepada generasi milenial sebagai "The Me Me Me Generation". Menurut TIME, Millenial dinilai sebagai generasi yang individualistik, sangat bergantung pada teknologi, dan apatis terhadap politik.

CSIS dan Litbang Kompas juga menyampaikan bahwa hanya 2,3% dari generasi milenial yang tertarik dengan isu sosial-politik. Salah satu isu yang paling tidak diminati oleh generasi milenial. Litbang Kompas juga menunjukkan hanya 11% dari generasi milenial yang mau menjadi anggota partai politik.

No! Bukan itu. Saya punya pemikirkan berbeda. Survei survei di atas perlu analisis konteks yag sesuai. Saya melihat, milenal Indonesia adalah generasi dengan pandangan politik yang berbeda dengan generasi sebelumnya, utamanya 'baby boomers'. Mereka adalah generasi pertama dari generasi asli digital 'digital native'. 

Mereka lebih berpendidikan dari generasi sebelumnya, tetapi masih menghadapi tantangan norma dan nilai nilai yang menghambat mereka, seperti diskriminasi pada kelompok disabilitas, diskriminasi gender, diskriminasi pada kelompok minoritas, di samping menghadapi isu jurang kesenjangan yang melebar. 

Mereka punya mimpi untuk meraih cita cita dan perubahan. Ini konsisten dengan studi dari Karl Mannheim tentang generasi milenial dunia dan khususnya Amerika terkait pandangan politik mereka.

Memang suatu kenyataan bahwa generasi millennial yang masuk kategori orang dewasa muda kurang terwakili dalam dunia aktivis politik di Indonesia. Wajarlah bila gerak mereka dalam pergerakan sosial politik seakan tak nampak. Di sini kita definisikan milenials adalah mereka yang terlahir sekita tahun 1980.

Apa yang terjadi sebetulnya bukan karena generasi milenial 'cuek', egois, narsistik atau tak perduli pada soal politik, tetapi justru karena mereka melihat konteks mereka bergerak, apakah relevan untuk mereka atau tidak. Ingatlah, mereka adalah kelompok yang lebih berpendidikan. Kita tidak bisa harapkan mereka akan sekedar 'adu grubyuk', sekedar ikut ikutan tanpa berpikir.

Generasi Milenial sangat paham internet dan dunia digital sehingga mereka tahu bedanya mana yang perlu mereka perjuangkan. Juga, karena mereka lebih terpelajar, mereka ingin lepas dari persoalan 'uwel uwelan' politik di negeri ini. Habis energi bagi mereka. Mereka saat ini dalam perjuangan mencari pekerjaan dan bersaing di dunia kerja. Bukan untuk adu politik layaknya generasi sisa 'baby boomers'.

Milenial sangat akrab dengan persoalan perbedaan etnis dan ras dibandingkan dengan generasi sebelumnya, sehingga mereka secara natural melawan bentuk diskriminasi.

Bila kita bandingkan dengan generasi 'baby boomers', aktivis biasanya adalah kelompok terdidik dari kalangan menengah. Mereka adalah yang menyadari bentuk diskriminasi dan ketidakadilan di Indonesia dan membela kelompok yang lebih lemah.

Milenial secara kritis akan menilai karakteristik sosial dari pemimpin dan aktivis yang ada di sekitar mereka, juga organisasi apa yang strategis untuk mereka jadikan kendaraan politik dan suara mereka. Di artikel saya terdahulu, saya sempat menyampaikan kekecewaan millenials, termasuk anak saya, ketika Romi tertangkap tangan oleh KPK. Pasalnya Romi akrab dengan millenials. Namun, uniknya Millenials tidak hanya melihat pada satu tokoh saja. 

Ini kembali lagi mengingatkan saya pada apa yang dikatakan oleh Mannheim bahwa tidak semua generasi akan merespons dengan prinsip formatif yang sama pada peristiwa tertentu. Ini tentu berhubungan dengan seberapa mereka melihat getaran isu berikut konektivitas dengan konteks mereka saat ini. 

Terdapat konsolidasi politik dalam diri mereka, yang mungkin tidak dipahami oleh generasi 'baby boomers'. Jadi, bila generasi reforman 1998 mengharap ada dukungan milenial untuk lakukan 'people' power' seperti masa 1998, saya rasa ini dilandasi pada ignoransi masalah dan konteks jaman.

Di tengah pandangan bahwa generasi milenial adalah generasi yang apatis terhadap politik, dunia justru sedang mengalami naik daunnya politik anak muda atau politik milenial terlepas dari apapun pandangan politik yang mereka yakini. Ini juga disampaikan Tsamara Amany Alatas. 

Saya kira ini berhubungan dengan sistem dan iklim politik di Indonesia. Carut marut politik tidak memberikan ruang pada millenial untuk bergerak. Sistem dan iklim politik Indonesia terlalu rumit dan berakar kuat pada aspek aspek yang bisa dikatakan 'terbelakang' dari kaca mata millennial. Cara berpikir yang stagnan, perilaku yang korup, gaya bahasa dan tubuh yang membosankan dari para politisi tidak menarik Millennials.

Kita bisa lihat dari munculnya caleg millenial dan millenial yang duduk di partai progresif PSI. Juga terdapat catatan gerak milenial yang melakukan perubahan dalam area sosial dan lingkungan.

Melati dan Isabel Wijsen melakukan kampanye "Bye Bye Plastic Bags" di Bali pada 2013. Gerakan ini menjadi besar dan akhirnya melobi bandara Bali untuk mengurangi penggunaan kantong plastic. Hal ini mendorong pemerintah Indonesia untuk menargetkan bebas plastik pada 2021. 

Kita ingat Greta Thunberg memimpin demo di luar parlemen Swedia untuk mendorong pemerintah lebih perduli pada persoalan perubahan iklim. Greta Thunberg yang memimpin demo di Swedia mengatakan ia melakukan itu karena orang lain tidak perduli lagi pada persoalan masyarakat.

Politisi tidak mau berpikir soal perubahan iklim padahal kita dalam krisis. Ini sebagian dari gerakan millenial di seluruh dunia untuk memperjuangkan berbagai agenda keadilan dan kesetaraan, lingkungan dan ekonomi. Millenials berpikir soal inovasi dan teknologi. Apakah ini dipahami politisi gaek? Tidak!

Kita juga melihat adanya gerakan sosial yang serius yang terlah terjadi di berbagai negara.  Terdapat paling tidak 30 orang muda yang telah melakukan gerakan dan perubahan yang ditampilkan oleh entitymag.com. Mereka adalah anak muda di bawah 17 tahun yang merubah dunia.

Di kalangan kampus di Indonesia, kita melihat millenials aktif dalam proses diskusi dan pengembangan model model yang baru di bidang ekonomi, bisnis, dan juga sosial dan lingkungan. Ini bisa dilihat dari terbangunnya bisnis di antara milenials, juga penelitian penelitian, forum diskusi lintas profesi dan pendidikan. Jadi, Millenials tidak tertarik pada politik praktis tetapi bekerja pada isu isu sosial, ekonomi dan lingkungan yang nyata dalam agenda yang mereka pilih. 

Memang ini bukan tanpa tantangan. Di beberapa universitas dicatat pula pemahaman yang tidak progresif. Atau bahkan radikal. Mereka bahkan cukup rasis dalam pandangannya. Perkembangan ini cukup meresahkan.  Ini sempat disinyalir dari suatu survai atas pandangan mahasiswa di 7 universitas negeri. Ini ada dalam.pustaka artikel ini. Studi dari Setara Institut menunjukkan bahwa radikalisme telah masuk dalam lembaga pendidikan, mulai dari Taman Kanak Kanak sampai Perguruan Tinggi secara sistematis. Bahkan lulusan perguruan tinggi yang radikal telah masuk ke DPR, di lembaga pemerintah, di lembaga swasta.  Ini mengerikan. 

Untuk itu kita perlu merekognisi keberadaan millenial sebagai kelompok yang tidak homogen. Terdapat yang liberal dan 'kekirian' yang nyata. Mereka juga patriotik. Dan bukan tidak mungkin bahwa mereka lebih relijius dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Saya menengok apa yang ada di antara generasi anak saya, dan mereka mencerminkan apa yang saya kemukakan di atas. Mereka sangat menolak rasisme. Mereka sangat tidak menyukai kebutaan sosial akan realitas adanya LGBT. Mereka menolah hoaks. Sejatinya mereka adalah generasi yang lebih 'kiri' dari 'kiri'. Lebih sosialis dari generasi baby boomers, para aktivis 'people power' 1998. 

Di sisi lain, terdapat kelompok yang telah disemangati dengan benih radikalisme di antara lapisan tertentu. Ini tantangan bagi kita semua. 

Jadi, kita perlu akui adanya keberagaman di antara Millenials. Dan, Millenia memiliki perjuangan politiknya sendiri. Yang sesuai dengan konteks di mana mereka berada. Semoga peristiwa reformasi 1998 makin dikenal luas sebagai perjuangan untuk nilai nilai demokrasi yang beragam, untuk mendukung Pancasila. Kita semua menolak lupa. 

Pustaka : 1: Gerakan Politik Milenial; 2) Radikalisme di Kampus; 3) Millenials and politics 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun