Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Kartini, Perempuan Jawa Progresif, dan Liberal yang Tak Kunjung Kita Kenal

21 April 2019   01:52 Diperbarui: 17 September 2019   17:49 2785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
R.A Kartini | Sumber: tribunnews.com

Ia melawan ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang ada di antara orang Hindia/Indonesia dan orang-orang Belanda. Ia sangat kecewa ketika menemukan peraturan baru yang mengatur pendidikan orang Indonesia, sehingga hanya keluarga aristokrat yang dapat mengirim anaknya ke sekolah berkualitas.

Sementara, anak orang kebanyakan hanya bisa sekolah 'Sekolah Ongko Loro' yang mengajarkan baca tulis dasar saja. Ini ia ketahui ketika pemerintah Belanda meminta para bupati di Jawa, termasuk ayahanda Kartini untuk menetapkan persyaratan agar anak yang diterima di sekolah dasar Belanda adalah mereka yang telah fasih berbahasa Belanda.

"Adalah gila untuk meminta anak umur 6 tahun untuk bisa fasih berbahasa Belanda untuk lolos dan memasuki sekolah dasar dengan standard Belanda, dan pada saat yang sama anak anak itu harus belajar bahasa ibunya".

Kartini memahami betapa sulitnya anak anak Hindia bisa lolos ke pendidikan berstandard Belanda itu.

Ia membayangkan betapa anak anak di Belanda dapat belajar dan memiliki buku-buku yang sangat beragam, di luar buku pelajaran.

Kartini ekspresikan hal ini dalam suratnya kepada Ms Van Koln di tahun 1902.

Perempuan Berkemajuan Cikal Bakal Pergerakan Nasional yang Putus Sebelum Berkembang
Rasanya sedih membaca bahwa Kartini sebetulnya sangat bersemangat dengan menempuh pendidikan dengan beasiswanya ke Belanda. Ini ada pada surat Kartini kepada Ms Ovink Soer, pada 1990:

"Saya akan menempuh pendidikan saya di Belanda, karena Belanda akan mempersiapkan dan memberikan ilmu untuk peran dan tanggung jawab yang telah saya tentukan. "

Ini nampaknya menakutkan bagi pemerintah Belanda dan politisi di Belanda. Belanda takut bahwa bila seorang Kartini jadi berangkat sekolah ke Belanda, kemerdekaan Indonesia menjadi makin dekat 'gara-gara' perempuan Indie yang memberontak, yaitu Kartini.

Niatnya melanjutkan pendidikannya ke Belanda rontok dengan diterimanya lamaran Bupati Rembang untuk menjadikannya sebagai istri kedua.

Saya tak dapat membayangkan kesedihan Kartini yang harus menghentikan mimpinya. Ia akhirnya memberikan haknya untuk menempuh pendidikan di Belanda kepada seseorang yang akhirnya kita kenal sebagai H Agus Salim. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun