Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kartini: Perempuan, Keputusan Emosional, dan Gelitik Genetika

21 April 2024   19:35 Diperbarui: 22 April 2024   21:37 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RA Kartini dan adik-adiknya (WIKIMEDIA COMMONS/GPL FDL via KOMPAS.com)

Kartini telah mendobrak arus dominasi dan hereditas dikotomi tugas domestikasi perempuan di masa purba.

"Karena perubahan tidak dapat dilakukan sendiri". Begitulah petikan dialog kakak Kartini dalam film Habis Gelap Terbitlah Terang.

Salah satu momentum yang selalu saya tunggu di bulan April adalah peringatan hari Kartini. Begitu banyak perempuan menunjukkan jati dirinya. Baik dengan mengenakan warna-warni baju adat, atau mengulas senyum cantik di balik aktivitas profesional mereka satu per satu.

Saya bukan termasuk esjewe feminisme. Hanya saya termasuk perempuan yang selalu tertarik pada pemikiran-pemikiran Kartini.

Andai saja Kartini dan para pahlawan pejuang kesetaraan hak perempuan dan anak-anak melihat geliat perempuan kekinian, mungkin mereka pun ikut mengurai senyum paling idealis; senyum paling mewah. 

Ya, sebuah transisi budaya tradisional kepada era yang lebih kontemporer telah mengubah wajah kaum perempuan. Terlepas dari masih tertatihnya kepercayaan publik atas stigma sosial yang masih melekat pada perempuan. 

Tak mampu dihindari, ketika kognisi manusia semakin hari semakin berkembang, manusia telah melewati episode demi episode dari alur evolusi budaya dan kognisi yang berjalan. Entah apakah kita tersadar ataupun tidak, saat ini kita benar-benar berada dalam masa revolusi industri besar-besaran.

Pemikiran dan karya yang tak kalah epik menerobos merasuki kesadaran bahwa entropi hanya mampu diminimalisir dengan berjalannya kehidupan.

Di masa inilah perempuan mulai merambah dunia yang pada masa terdahulu didominasi oleh pelaku-pelaku glorifikasi patriarki. 

Perempuan tanpa ragu merobek narasi lawas tanpa harus kehilangan titik waras. Perempuan secara anggun bergerak dari area dapur, kasur, maupun pupur (bedak) menuju mimpi-mimpi yang sempat terkubur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun